Perubahan teknologi telah mengubah banyak sekali kebiasaan di dalam masyarakat dan mempengaruhi hampir seluruh bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang komunikasi.Â
Kebiasaan, pola, serta medium komunikasi masyarakat (massa) ikut berubah sejalan dengan kemajuan teknologi. Saat ini, dunia berada di era media baru (new media) di mana salah satu cirinya adalah komunikasi manusia yang dijembatani oleh teknologi komputer, istilah yang digunakan untuk fenomena ini adalah Computer Mediated Communication (CMC).Â
Media sosial adalah salah satu contoh dampak kemajuan teknologi pada komunikasi secara umum. Kemunculan media sosial mengubah pola komunikasi baik lingkup interpersonal sampai yang lebih luas lagi, yakni massa.Â
Salah satu perubahan paling nyata karena adanya media sosial adalah masyarakat yang semakin aktif atau berkembang. Jika sebelumnya seorang individu atau masyarakat hanya bisa pasif dan menerima apa yang ditawarkan media massa lama (seperti koran, buku, televisi dan sebagainya), saat ini masyarakat dapat memberikan tanggapan terhadap berbagai isu atau topik yang sedang hangat diperbincangkan di dalam skala kecil (komunitas tertentu) atau skala besar (negara bahkan masyarakat dunia). Â
Model komunikasi massa dalam media sosial yang bersifat multi step yaitu memungkinkan sebuah informasi tersebar secara luas dalam waktu singkat karena digabungkan secara bersama-sama dan serentak oleh banyak orang.Â
Fenomena ini yang kemudian dikenal dengan viral. Berkaitan dengan fenomena viral tersebut, Jonah Berger and Katherine L. Milkman menyatakan bahwa sebuah konten yang merangsang perasaan positif (kebahagiaan) dan negatif (kemarahan) cenderung lebih cepat menjadi viral dibandingkan dengan konten-konten bermuatan kesedihan (Berger dan Milkman, 2011).
Media sosial dan fenomena viral di dalam masyarakat memiliki sisi positif dan negatif jika dilihat dari berbagai sudut pandang. Salah satu sisi positifnya adalah dapat meningkatkan solidaritas di dalam masyarakat, misalnya, ketika ada orang miskin yang dibantu lewat donasi oleh para warganet setelah viral di media sosial.Â
Selain itu, tentu masih banyak hal positif dengan adanya media sosial dan fenomena viral. Namun, terlepas dari semua sisi positifnya, media sosial dan fenomena viral memiliki sisi negatif, salah satunya adalah fenomena cancel culture.Â
Fenomena ini belum memiliki pengertian yang diterima secara luas secara akademis, tetapi secara sederhana. Cancel culture dapat diartikan sebagai 'pemboikotan' masyarakat terhadap seorang figur, perusahaan, brand, dan sebagainya. Biasanya cancel culture merupakan fenomena yang terjadi di dunia maya (media sosial) dan ditujukan kepada publik figur tertentu. Sebagai contoh, pada tahun 2020 muncul sebuah tagar #RIPJKRowling.Â
Tagar tersebut muncul untuk memboikot J. K. Rowling (penulis seri Harry Potter) karena warganet menganggap novel baru J. K. Rowling yang berjudul Troubled Blood mengandung unsur Transphobia atau kebencian kepada kelompok transgender (Dipna Videlia Putsanra, Tirto.id, 2020).Â
J. K. Rowling bukan satu-satunya publik figur yang mengalami cancel culture. Ada beberapa publik figur yang mendapat 'pemboikotan' dari publik karena opini, pandangan, atau pendapat pribadi yang dikemukakan.Â