Dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan kemajuan teknologi yang sangat masif, kekuatan media (baik traditional media maupun new media) juga semakin berpengaruh karena semakin banyak individu yang dapat mengakses informasi secara real time.Â
Setiap harinya kita hidup ditengah-tengah arus informasi yang sangat deras, sumber media yang cenderung bias terhadap suatu isu, dan kemudian membuat keputusan berdasarkan informasi yang kita pilih untuk diterima dan diyakini.
Beberapa minggu yang lalu, media sosial khususnya Twitter dihebohkan dengan berita mengenai "Aisha Weddings".Â
Aisha Weddings, merupakan Wedding Organizer yang secara terang-terangan mempromosikan poligami dan pernikahan dibawah umur atas nama syariat Islam melalui iklan banner maupun website.Â
Kasus ini pun menjadi viral, memancing kritik dari banyak pihak. Namun, setelah ditelisik lebih jauh, ternyata Aisha Weddings ini tidak jelas asal-usulnya.Â
Tidak ada pihak dari Aisha Weddings yang dapat dikontak --hal yang aneh mengingat tentunya setiap bisnis beriklan agar dikenal dan menarik konsumen. Banyak pihak akhirnya menyimpulkan bahwa Aisha Weddings hanyalah sebuah "konten fiktif", yang secara sengaja disebarluaskan untuk memancing keributan dan keresahan para netizen.Â
Aisha Weddings bukanlah yang pertama. Sebelumnya juga ada kasus narasi "Klepon tidak Islami" yang memiliki pola persebaran yang sama, cenderung menyinggung hal sensitif seperti agama.Â
Siapa yang membuat dan apa tujuannya pun tidak ada yang tahu pasti. Tidak sedikit yang mengaitkan hal ini dengan keberadaan buzzer-buzzer politik yang semakin menjamur. Apapun itu, mereka berhasil memprovokasi masyarakat, walaupun hanya untuk waktu yang singkat.
Terlepas dari nuansa politik yang melekat terhadap isu-isu tersebut, saya menyadari satu hal: betapa mudahnya emosi dan perspektif kita dikontrol sedemikian rupa demi mencapai kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu.Â
Anda mungkin masih ingat dengan kasus bullying Audrey, yang sangat heboh tidak hanya di Indonesia namun juga dunia Internasional. Bullying, bagaimanapun bentuknya tentu tidak dapat dibenarkan.Â
Namun, yang ingin saya highlight adalah ketika kemudian terungkapnya beberapa fakta yang tidak sesuai dengan pengakuan Audrey menunjukan betapa misinformsi ataupun disinformasi sangat mudah tersebar dan dipercayai oleh masyarakat.