Mohon tunggu...
Shaaiary
Shaaiary Mohon Tunggu... Penulis - Just friend.

Logophile.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerita di Ujung Senja

18 Juni 2020   21:05 Diperbarui: 18 Juni 2020   21:01 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selepas sarapan, aku menyambar tas yang kuletakkan di atas meja . Bergegas menuju kampus untuk memenuhi tugas-tugas yang mendera. Dikejar deadline untuk segera meng-eksekusi skripsi yang sempat tertunda selama satu tahun.

Aku menelusuri koridor kampus dengan langkah berat juga dikelilingi rasa bingung. Tatapan beberapa mahasiswa lain menyorot ke arahku. Ada yang menatapku sinis, dan juga iba.

"Hilya ... yang sabar, ya," ucap Dinda sembari mengusap bahuku.

Aku hanya tersenyum lalu mengangguk.

Sambil menunggu dosen pembimbingku. Kuraih buku diary milikku. Puisi-puisi cintanya yang ia berikan untukku masih tertulis indah di atas kertas berwarnakan pink itu. Tawaku lepas saat mengingat waktu ia diam-diam mengambil diary kosongku dan mengembalikannya dengan kertas yang tak lagi kosong. Genggaman tangannya masih bisa kurasakan saat ia menarikku ke dalam kelas agar aku tak berkeliaran di taman belakang kampus.

Banyak hal kualami selama hampir dua tahun berada dalam lingkungan Lembaga Dakwah Kampus terutama memenuhi amanah yang pernah kami ikat bersama. Menyibukkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat, agar hatiku bisa kembali pulih.

"Hilya!" panggil salah seorang yang suaranya tak asing.

Aku menoleh. Lelaki itu sudah berada di sampingku.

"Ngapain di taman sendirian?" tanya Dayat tanpa menatapku.

"Nggak apa-apa."

"Mengenang lagi? Kapan bisa ikhlas?"

Aku hanya diam tak memerdulikannya.

"Kapan kamu mau buka hati, Ya'? Berhenti merenungi memori yang udah lewat," ucapnya serius.

Hatiku gusar mendengar ucapannya, wajahku seketika memanas jika harus disuruh melupakan ia yang kucintai. Dayat memang selalu mengejarku, mengusikku, agar aku bisa menyukainya. Namun sungguh, tak ada ruang di hatiku untuknya.

"Aku akan terus menunggu." Dayat menatapku sembari meyakinkan.

Tak memerdulikan ucapannya, aku bangkit dan bergegas meninggalkannya. Berusaha menahan isak tangis agar di setiap langkah tak kubayangkan lagi ada dia ... Arsyad.

Sepulang kampus, aku menuju perpustakaan kecil yang tak jauh dari kampusku. Menyentuh lembut satu per satu buku yang tersusun rapi di dalam rak.

Bruk!
 
Tak sengaja kujatuhkan beberapa buku, dengan cepat kupungut satu per satu. Seketika tangan lembut menyentuh kepala tanganku. Aku menoleh ke depan.

"Kak Arsyad!" Mataku membulat menatapnya.

Ia hanya tersenyum, lalu membantuku memungut beberapa buku yang berserakan.

"Lain kali, megang buku harus fokus. Ngayal mulu!" ledeknya

Aku hanya diam menatapnya. Kubiarkan rasa bahagia menyeruak di dalam dada. Tak percaya ia ada di sini. Hatiku dibuat tak karuan karena kehadirannya.

"Hilya!" panggilan seorang wanita yang membuatku menoleh cepat.

Tapi hanya beberapa detik saja aku berbalik, setelah itu aku kembali menoleh ke arah Kak Arsyad. Namun, ia hilang sekejap mata. Ia hilang bersama angin.

"Ya', kok diem di sini? Dipanggilin juga malah dikacangin,"  ucap Bu Nia si penjaga perpustakaan yang sudah berdiri di sampingku.

"Cepetan pinjem bukunya, ibu mau tutup nih," ujarnya kemudian.

Aku mengangguk pelan. Tak terasa ada setitik air membasahi pipiku. Kenapa kehadiran Kak Arsyad begitu nyata di sini. Apakah karena perpustakaan ini adalah tempat kami setiap hari menghabiskan waktu? Setiap sudut ruangan ini adalah kenangan milikku dengannya.

Hatiku perih. Sungguh, aku merindukannya. Merindukan saat ia menegurku tatkala aku terdengar bising saat membaca buku, membantuku memungut buku saat aku tak sengaja menjatuhkannya dari rak, juga ikut tertawa pelan bersama kala penjaga perpustakaan menegur akibat bosan melihat wajah kami berdua.

Kurebahkan tubuhku di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar lalu perlahan memejamkan mata. Membiarkan hal-hal indah melayang dan meng-hipnotis pikiranku.

Dering ponsel memekik hebat, kuraih teleponku lalu menempelkannya ke telinga.

"Hilya, kamu di mana? Kerjaanku udah selesai. Jalan, yuk!" ucap seorang pria dari ujung lain telepon.

"Tapi ... Kak Arsyad yang traktir, kan?" tanyaku sembari menahan tawa.

"Emang kapan kakak suruh kamu bayar?" cetusnya.

Entah kenapa hatiku selalu berdesir kala bersamanya. Genggaman hangat tangannya memecahkan dingin yang menyeruak malam ini. Kami makan malam berdua di salah satu Resto di pinggir kota.

"Kok ga ke kampus tadi, Kak?" tanyaku menyelidik.

"Lagi sibuk. Kenapa? Nyariin, ya? Pasti cuma sibuk duduk di taman. Yakaaan?" tuduhnya.

"Ih apaan, sih. Nggaklah," tungkasku sambil mengerucutkan bibir.

Senyumnya begitu menyejukkan hati saat ia membelai lembut jilbab yang kukenakan. Setelah makan malam, aku dan Kak Arsyad masih menghabiskan malam bersama.

Kami berjalan beriringan sambil menggenggam tangan satu sama lain. Tempat favoritku dengan Kak Arsyad adalah taman di tengah kota yang ramai dikunjungi oleh orang-orang kala malam menampakkan wujudnya. Bagaimana tidak, air mancur dengan hiasan lampu warna warni mengindahkan tiap sudut taman ini.
 
Kebersamaan kami tak bisa lagi kuutarakan. Tak ingin kulepaskan tangannya, berharap penuh agar aku dan dia selamanya bisa seperti ini. Kami duduk di salah satu kursi di pinggir kolam ikan. Kusandarkan kepalaku di bahunya. Genggaman tangannya begitu menentramkan jiwa.

"Dik," ucapnya lirih.

"Hmm?"

"Aku sayang kamu. Sangat!"

Suara hujan yang begitu deras sontak membuyarkan lamunanku di atas ranjang.

Entah mengapa di setiap pikiran maupun lamunanku bisa kubayangkan jelas kenanganku dengan Kak Arsyad. Detail tanpa cacat. Seketika hatiku meronta meminta semuanya dikembalikan seperti semula.

***

Hari Selasa, minggu kedua di bulan Februari. Aku berada di Bandung untuk mengikuti upacara wisuda. Sejak pagi tadi, aku banyak menerima ucapan dari teman-teman kampus.

Aku tertegun melihat para wisudawan berfoto ria bersama keluarga dan pasangan. Hatiku hampa, sebab tak bisa meluapkan kebahagiaan seperti mereka.

Ya, semua yang sudah terjadi tak perlu disesali. Kini aku benar-benar seorang diri. Aku berjalan gontai di atas rerumputan hijau. Di mana hanya ada aku di tempat ini. Senja menjadi saksi, bahwa hatiku merintih perih hari ini.

Berhenti di satu titik, tubuhku menghadap ke arahnya, berjongkok lalu memegang batu nisan yang bertuliskan nama 'Muhammad Arsyad Husain'. Kuusap nisannya dengan tangisku yang sedari tadi sudah pecah.

"Kak ... hari ini aku udah diwisuda. Skripsiku selesai karena bantuanmu juga," ucapku terisak sembari mengusap lembut nisannya.
 
Pernikahanku dengan Kak Arsyad, tak berjalan lama. Hanya membutuhkan waktu satu tahun. Ia divonis mengidap kanker darah, sudah beberapa rumah sakit yang kami datangi, tapi hasilnya nihil. Semester tujuh ia pergi meninggalkanku. Meninggalkan semua janji yang kami bentuk bersama, meninggalkan jejaknya di kampus, meninggalkan semua kenangan indah yang harus kunikmati sendiri.

Kepergiannya membuatku mengurung diri sampai menunda skripsi. Kehadiranku kembali di kampus mengundang banyak reaksi. Ada yang iba dan juga sinis. Sinis karena aku menikahi lelaki berpenyakitan.

Tapi sungguh, sosok Arsyad adalah pria luar biasa. Bahkan aku beruntung karena pernah memilikinya seutuhnya. Banyak kesabaran yang ia ajarkan padaku, mengajarku apa arti ikhlas, mencintai setulus hati. Yang sampai detik inilah aku belum bisa membiarkan lelaki lain mengusik tempat Kak Arsyad di hatiku ... suamiku.

-Selesai-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun