***
Hari Selasa, minggu kedua di bulan Februari. Aku berada di Bandung untuk mengikuti upacara wisuda. Sejak pagi tadi, aku banyak menerima ucapan dari teman-teman kampus.
Aku tertegun melihat para wisudawan berfoto ria bersama keluarga dan pasangan. Hatiku hampa, sebab tak bisa meluapkan kebahagiaan seperti mereka.
Ya, semua yang sudah terjadi tak perlu disesali. Kini aku benar-benar seorang diri. Aku berjalan gontai di atas rerumputan hijau. Di mana hanya ada aku di tempat ini. Senja menjadi saksi, bahwa hatiku merintih perih hari ini.
Berhenti di satu titik, tubuhku menghadap ke arahnya, berjongkok lalu memegang batu nisan yang bertuliskan nama 'Muhammad Arsyad Husain'. Kuusap nisannya dengan tangisku yang sedari tadi sudah pecah.
"Kak ... hari ini aku udah diwisuda. Skripsiku selesai karena bantuanmu juga," ucapku terisak sembari mengusap lembut nisannya.
Â
Pernikahanku dengan Kak Arsyad, tak berjalan lama. Hanya membutuhkan waktu satu tahun. Ia divonis mengidap kanker darah, sudah beberapa rumah sakit yang kami datangi, tapi hasilnya nihil. Semester tujuh ia pergi meninggalkanku. Meninggalkan semua janji yang kami bentuk bersama, meninggalkan jejaknya di kampus, meninggalkan semua kenangan indah yang harus kunikmati sendiri.
Kepergiannya membuatku mengurung diri sampai menunda skripsi. Kehadiranku kembali di kampus mengundang banyak reaksi. Ada yang iba dan juga sinis. Sinis karena aku menikahi lelaki berpenyakitan.
Tapi sungguh, sosok Arsyad adalah pria luar biasa. Bahkan aku beruntung karena pernah memilikinya seutuhnya. Banyak kesabaran yang ia ajarkan padaku, mengajarku apa arti ikhlas, mencintai setulus hati. Yang sampai detik inilah aku belum bisa membiarkan lelaki lain mengusik tempat Kak Arsyad di hatiku ... suamiku.
-Selesai-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H