Mohon tunggu...
shafira adlina
shafira adlina Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang Mamah Blogger, Asesor dan Fasilitator.

Jadilah pengubah keadaan dan bukan menjadi korban dari perubahan. Temui aku juga di https://www.ceritamamah.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Eutanasia Aktif Dalam Perspektif Islam dan Hukum di Indonesia

26 Januari 2014   06:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27 1387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13914153821361298157

Pendahuluan Kemajuan ilmu dan teknologi merupakan refleksi dari perkembangan dunia dan peradaban manusia yang semakin maju. Kemajuan ini membuat masyarakat semakin mudah mendapatkan informasi dari berbagai belahan dunia. Hal ini merupakan salah satu alasan mengapa pola pikir masyarakat semakin aktual, dinamis dan meluas. Dengan demikian, masyarakat semakin sering bersentuhan dengan nilai-nilai/norma-norma asing di luar kebiasaan komunitasnya. Kemudahan dalam mendapatkan informasi selain dapat mengubah pola pikir masyarakat juga dapat memunculkan paradigma baru. Salah satu contoh efek yang terjadi di Indonesia adalah kasus yang dialami oleh Panca Satrya Hasan Kusuma dan Rudi Hartono. Panca Satrya Hasan Kusuma adalah suami dari Agian Isna Nauli yang mengalami koma setelah satu hari paska operasi caesar putra bungsunya di RS Islam Bogor, Jawa Barat, Juli 2004.  Kondisi Nyonya Agian dari hari ke hari semakin memburuk dan berat badannya semakin menurun. Selain Panca tidak kuasa melihat penderitaan istrinya, biaya yang dikeluarkan untuk merawat dan mengobati Nyonya Agian tidaklah sedikit. Selama 54 hari, keluarga Agian telah menghabiskan sekitar Rp70.000.000,00 untuk biaya pengobatan Agian. Kedua alasan tersebut merupakan salah satu dorongan mengapa Panca mengajukan suntik mati atau eutanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta (PNJ) pada bulan September tahun 2004. Pada tahun 2005, masyarakat Indonesia kembali terkejut ketika Rudi Hartono menyusul tindakan Panca dengan mengajukan permohonan suntik mati untuk istrinya, Siti Zulaeha. Serupa dengan Agian, Siti Zulaeha mengalami koma setelah 3 hari menjalani operasi kandungan karena janin bayinya tumbuh di luar rahim. Namun, pada akhirnya kedua permintaan ini ditolak oleh PNJ. Kasus-kasus pengajuan eutanasia tersebut adalah bagian nyata yang hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), eutanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk (orang ataupun hewan) yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan. Eutanasia berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos, yang berarti “kematian”. Eutanasia juga dapat didefinisikan tindakan mengurangi rasa sakit atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal (mercy killing). Dalam praktik kedokteran, eutanasia terbagi menjadi dua yaitu eutanasia aktif dan eutanasia pasif. Eutanasia aktif adalah suatu tindakan dokter mempercepat proses kematian pasien dengan memberikan suntikan/obat ke dalam tubuh pasien tersebut.Alasan yang umum dikemukakan dokter ialah pengobatan yang diberikan kepada pasien tidak mengurangi keadaan sakitnya. Hal ini dikarenakan penyakit yang diderita memang sudah parah dan hanya akan memperpanjang penderitaan pasien. Eutanasia pasif (taisir al-maut al-munfa'il) adalah tindakan dokter yang menghentikan pemberian bantuan medis atau obat. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Misalnya menghentikan alat penompang kehidupan. Pembahasan Eutanasia menjadi isu yang kontroversial karena menimbulkan perdebatan panjang baik secara etika maupun dari sudut pandang agama. Tindakan eutanasia menimbulkan beberapa pertanyaan seperti : “Apakah anda akan membiarkan orang yang anda sayangi hidup dalam penderitaan yang tidak berkesudahan karena memiliki penyakit (kondisi terminal)? “Jika tindakan eutanasia dibenarkan, Apakah membunuh tidak lebih buruk daripada membiarkan meninggal?” Setiap negara di seluruh dunia mempunyai pandangan dan aturan yang berbeda mengenai masalah ini. Pandangan mereka didasari etika, moral, agama maupun hukum yang berlaku di setiap negara masing-masing. Di beberapa negara sekuler, tindakan ini dianggap legal seperti Swiss, Belgia dan Negara bagian Amerika serikat Oregon. Lain halnya dengan kebanyakan negara beragama, seperti Irlandia, Mexico, Malaysia dan Iran. Mereka memandang eutanasia sebagai suatu tindakan illegal. Bagaimana dengan Indonesia? Sampai saat Indonesia memang belum mengatur secara spesifik tentang peraturan eutanasia. Hal ini yang menyebabkan pandangan praktek eutanasia  menjadi samar-samar sehingga terjadi perdebatan panjang antara pihak yang pro dan kontra terhadap eutanasia. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, tentu setiap hukum ataupun aturan yang ada di Indonesia ini dipengaruhi oleh prespektif  Islam. Syariat Islam adalah hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Syariah Islam merupakan hukum dan aturan yang mampu mengatasi seluruh persoalan kehidupan di segala waktu dan tempat. Maka oleh penganut agama Islam Syariat Islam merupakan panduan seluruh permasalahan hidup dunia. Begitu pula masalah eutanasia yang termasuk dalam masalah yang terpengaruh dari dampak modernisasi. Ketika kita berbicara eutanasia, khususnya eutanasia aktif berarti berbicara mengenai pembunuhan, karena antara keduanya tidak dapat dipisahkan. Beberapa alasan logis yang cukup kuat dari pihak yang menyetujui tindakan eutanasia adalah penderitaan yang tidak berkesudahan. Seperti pada kasus Agian dan Siti Zulaeha, alasan utama suami mereka mengajukan suntik mati ke PNJ adalah belas kasihan karena tidak tega melihat kemunduran keadaan istri mereka. Pendukung tindakan eutanasia beranggapan bahwa eutanasia merupakan tindakan belas kasihan bukan hanya untuk penderita tetapi juga keluarganya karena biaya perawatan mereka yang tidak sedikit. Sebab lain mengapa eutanasia dilakukan adalah kemanusiaan. Hal ini berdasarkan bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri hidupnya. Dengan keadaan dirinya yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri hidupnya. Eutanasia aktif dilakukan dengan bantuan dokter atau tenaga ahli. Eutanasia dilakukan dengan tujuan untuk mengakhiri rasa sakit tak berkesudahan dan mengurangi rasa sakit ketika meninggal. Jika penyebab-penyebab eutanasia tersebut dianalisa hukum yang ada di Indonesia dan sesuai syariah Islam. Analisa yang didapat adalah tindakan eutanasia termasuk pembunuhan. Hal ini dikarenakan bagaimanapun dokter atau tenaga ahli didorong oleh rasa kasihan terhadap pasien untuk meringankan penderitaannya, memudahkan proses kematian merupakan termasuk ke dalam kategori pembunuhan. “Dan jangan kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, melainkan dengan suatu (alasan) yang benar”. (QS Al-An’am : 151 & Al-Israa : 33). Hal ini dikarenakan dokter yang membantu tindakan tersebut tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Tuhan Yang Menciptakannya. Pernyataan ini dipertegas oleh Ayat di atas menunjukkan bahwa sebagai ciptaanNya, kita diharamkan untuk saling membunuh kecuali dengan alasan yang benar. Tentu sebagai muslimin, benar dan tidaknya suatu hal kita harus merujuk pada Al Quran Nur Qarim dan Al Hadist. Aturan yang mengendalikan tindakan pembunuhan pun tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) antara lain Pasal 344. Pasal tersebut menyatakan bahwa barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Hal ini selaras dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Menkes/SK/X/1983 pasal 10 yang menyebutkan  bahwa setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi ‘hidup’ makhluk insan. Sesuai dengan keputusan menteri kesehatan tersebut, seorang dokter bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Hal yang menjadi dilema adalah antara eutanasia aktif dan pembunuhan sengaja terdapat perbedaan yang mendasar, meski secara teknis ada persamaan. Dalam pembunuhan sengaja, terdapat suatu maksud atau tujuan yang cenderung pada tindak kejahatan. Sedangkan dalam euthanasia aktif, pengakhiran hidup pasien dilakukan secara sengaja dan terencana. Namun pembunuhan ini dilakukan atas permintaan dan kehendak pasien kepada dokter atau tenaga ahli yang merawat dan maksud atau tujuan yang terdapat di dalamnya cenderung menolong karena meringankan beban yang diderita oleh pasien itu sendiri. Perbedaan yang mendasar itulah yang menyebabkan adanya ketidakjelasan kedudukan pelaku euthanasia dalam jarimah atau tindak pidana. Saat eutanasia diminta dilakukan, seolah kita dapat menentukan hidup dan mati kita. Dalam islam, hidup merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, selaras dengan apa yang disampaikan oleh KH. Masdar Farid Mas’udi, salah seorang ketua PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Beliau mengatakan bahwa  meskipun secara jelas atau lahiriah bahwa kita menguasai diri kita sendiri, tapi kita sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri kita sendiri. Untuk itu, kita harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan.  Setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya, karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat oleh manusia. Agama Islam sangat menghargai jiwa manusia. Walaupun hak seorang untuk hidup dan mati diakui oleh Islam, tetapi ia adalah anugerah Allah SWT. Sebagai makhluknya kita seharusnya untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifzh al nafs), hal ini dijelaskan pada firman Allah yang tertulis pada ayat ke 23 surat Al-Hijr dan ayat ke 66 surat Al Hajj. Umat muslim diwajibkan untuk menyerahkan  urusan kepada Allah Ta'ala, baik ibadah, hidup maupun mati. Hal ini dikarenakan sesuai dengan Surat Al-An’am  ayat ke 162, karena Allah SWT yang memberi kehidupan kepada manusia dan yang mencabutnya apabila telah tiba waktu yang telah ditetapkanNya. Pada tanggal 23 Oktober 2004, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang isinya pengharaman terhadap tindakan eutanasia. "Eutanasia, menurut fatwa kita tidak diperkenankan, karena itu kan melakukan pembunuhan." kata KH Ma`ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI  di Jakarta. Pada kasus Agian setelah kurang lebih 5 bulan dari pengajuan eutanasia ke PNJ dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya. Penderitaan dan cobaan merupakan bagian dari kehidupan yang telah Allah rencanakan. Ketika keadaan datang membuat kita merasa begitu kesakitan yang tidak berkesudahan. Hal itu merupakan cara Allah menghapus dosa-dosa kita. Hal itu sesuai apa yang Allah janjikan di salah satu hadis riwayat Bukhari jika kita bersabar. Penutup Untuk saat ini di Indonesia, jika kita melakukan eutanasia baik aktif maupun pasif dianggap melanggar hukum. Apalagi setelah ada fatwa yang mempertegas bahwa eutanasia itu diharamkan. Tetapi itu belum menjamin bahwa Indonesia tidak akan melegalkan praktik eutanasia ini. Yang perlu diingat adalah apabila tindakan eutanasia apabila dilegalkan dapat  disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. PUSTAKA

  1. Aramesh, Kiarash dan Heydar Shadi.2007. Euthanasia: An Islamic Ethical Perspective. Iran Journal of Allergy,Asthma and Immunology.6 (Suppl. 5): 35-38.
  2. Soekidjo, Notoatmojo.2010.Etika dan hukum kesehatan.Jakarta:Rineka cipta.
  3. Al-Quran dan Al-Hadist

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun