Apa yang terlintas di pikiran saat mendengar kata Jogja atau Yogyakarta? Perasaan rindu? Keinginan pulang? Atau malah angkringan?Â
Kalau kata penyair Joko Pinurbo, ketiga-tiganya. Iya, "Jogja terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan."Â
Tak bisa dipungkiri, bagi yang pernah ke Jogja atau orang Jogja yang merantau, rasa rindu dan (ingin) pulang akan terus ada. Sementara bagi yang menetap, akan memunculkan perasaan cinta tanpa akhir untuk Jogja, seperti dalam penggalan lirik lagunya Katon Bagaskara--bukan Yogyakarta lho, ya.
Jogja memang semenarik itu. Dan kali ini, saya akan berbagi cerita dari dolan heritage Jumat pekan lalu (21/2) bersama teman-teman Kompasianer Jogja yang menyusuri kawasan nol kilometer.Â
Dengan dipandu oleh Yulia Sujarwo, kompasianer yang sehari-harinya berprofesi sebagai tour guide dan penulis novel, kami sedikit menguak satu-per satu sejarah bangunan-bangunan Belanda yang dari dulu hingga kini masih tetap berfungsi.
Titik nol kilometer merupakan jantungnya Yogyakarta sejak awal Keraton Yogyakarta berdiri pada abad ke-18. Kawasan ini tak pernah lepas dari sejarah panjang, kawasan ini juga menjadi saksi bisu banyaknya peristiwa penting yang telah terjadi dan yang akan terus berlangsung hingga peradaban terhenti.Â
Istilah nol kilometer sendiri mulai banyak beredar ketika Sri Sultan HB IX menjadi raja.
Tepat di tengah persimpangan dari 4 jalan yang diyakini merupakan titik nol kilometer Kota Yogya atau biasa disebut perempatan kantor pos besar, pernah dibangun sebuah kolam berbentuk lingkaran yang makin cantik dengan adanya air mancur.Â
Namun karena lama-kelamaan keberadaan kolam tersebut justru dimanfaatkan oleh para gelandangan untuk cuci-jemur sandangan dan bahkan untuk mandi, akhirnya Sri Sultan HB IX menginstruksikan untuk memusnahkan air mancur tersebut pada awal 1980-an.