Akhirnya hari yang saya tunggu-tunggu pun tiba juga. Hari raya Idul Adha, selalu saja ada yang menarik di hari tersebut. Selain sebelumnya ada malam takbiran, paginya Sholat Ied dan dilanjut menyembelih hewan kurban, ada satu hal lagi yang menarik bagi saya. Ya, Grebeg Besar yang rutin diadakan oleh Keraton Jogja setiap perayaan Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi. [caption id="attachment_73678" align="aligncenter" width="300" caption="paring dalem (keterangan ada di bawah / dok. arkan hendra)"][/caption] Mungkin tulisan ini sudah agak terlambat, karena sebenarnya saya juga tidak tahu apa yang akan saya ceritakan dari Grebeg Besar kemarin (17/11), sudah banyak tulisan saya tentang Grebeg. Selain itu sudah ada beberapa reportase dari teman-teman Canting tentang Grebeg kemarin, seperti di sini, di sini, dan di sini. Dan setiap upacara Grebeg urutannya selalu sama, meski begitu saya tak pernah bosan. Grebeg Besar kemarin termasuk spesial bagi saya, kalau di Grebeg Maulud lalu saya hanya berhasil 'mengkompori' satu orang Ika. Dengan bantuan adik saya Ines, di Grebeg Besar kemarin saya berhasil 'mengkompori' delapan orang. Saya tak menyangka, sebanyak itu anak Canting yang berminat. Setelah malam sebelumnya (16/11) saya menulis detail urutan Upacara Grebeg dan membagikan pada mereka (entah dibaca, entah tidak). Paginya kami, yang terdiri dari Ines, Lina Wija, Sigit, Ika, Sasha, Gugun, Panda, Hendra, Nova, dan saya sendiri memutuskan berkumpul di Magangan pukul 07.30 WIB. Seperti biasa, dari Magangan saya kemudian mengajak mereka ke Keben, dan kemudian ke Alun-alun Utara. Di sini kami sempat terpisah, ada sebagian yang langsung ke Masjid Gede Kauman untu ngrayah Gunungan. Kalau saya sendiri tak pernah ikut merayahnya. Seperti yang pernah beberapa kali saya ceritakan, saya tidak begitu tertarik pada gunungannya melainkan pada 10 bregada yang ada di upacara ini. [caption id="attachment_73675" align="aligncenter" width="300" caption="gunungan putri akan dibawa ke masjid gede kauman (dok. pribadi)"]
[/caption]
Oh iya, beberapa teman ada yang baru pertama kali menyaksikan Grebeg, meski begitu antusiasme antara yang sudah berkali-kali dan baru sekali menyaksikannya sama. Kami begitu semangat, tak peduli sengatan matahari dan teriakan dari dalam perut. Apalagi ketika mereka mendengar aba-aba yang digunakan
prajurit menggunakan bahasa Jawa, mereka begitu 'terpesona'. Contohnya saja,
leren ngaso....gyo!! maju telung jangkah...gyo!! madhep miring....gyo!! Dan sebagianya. [caption id="attachment_73670" align="aligncenter" width="300" caption="melipat dwaja saat pembubaran pasukan (dok. pribadi)"]
[/caption] Pukul 11.00, rombongan yang terpisah kembali bersama di
Pratjimosono. Sambil duduk-duduk kami menunggu
kondhuran prajurit. Inilah tempat favorit saya ketika menyaksikan Grebeg. Dan di tempat inilah momen yang paling saya tunggu-tunggu. Karena itulah saya mengajak teman-teman masuk ke tempat ini sebelum pulang, bagi saya ini merupakan tempat yang paling wajib disinggahi saat menyaksikan Grebeg. Di Pratji kami bisa bebas mengajak para prajurit untuk foto bersama. Tentunya setelah para prajurit tersebut membubarkan pasukannya. Dan akhirnya keinginan saya yang sempat tertunda, foto bersama prajurit
Dhaeng kesampaian. Tak hanya itu, foto bersama prajurit
Ketanggung,
Wirobrojo,
Bugis dan
Jogokaryo pun saya lakukan lagi (dulu sudah pernah). [caption id="attachment_73676" align="aligncenter" width="300" caption="akhirnya kesampaian foto bersama pak asep (dok. pribadi)"]
[/caption] [caption id="attachment_73677" align="aligncenter" width="300" caption="serius mendengarkan penjelasan pak triyono (dok.pribadi)"]
[/caption] Di Pratji juga lah saya dan teman-teman bebas
ngobrol atau bertanya-tanya pada prajurit. Semua prajurit yang kami temui ramah-ramah. Dari beberapa obrolan, para prajurit yang juga merupakan
abdi dalem Keraton ini memiliki profesi yang berbeda-beda, ada dosen, guru, laboratorian, dokter hewan, PNS, pensiunan, penjual es cendol, bahkan tukang tambal ban. Ketika menjadi prajurit semuanya sama, mereka mendapatkan gaji atau biasa disebut
paring dalem yang jumlahnya sama, Rp 3.000,00. Gaji para prajurit Keraton memang sedikit sekali, dan mungkin ada beberapa orang awam (memang ada) yang 'melecehkan' pihak Keraton. Mengapa 'tega' memberi gaji sejumlah itu? Mengapa sebuah pengabdian tidak mendapatkan penghargaan yang layak? Itulah pertanyan-pertanyaan yang sering muncul. Namun seharusnya kita bisa melihat dari sisi para
abdi dalem tersebeut. Mengapa mereka mau digaji dengan uang yang tak seberapa itu, dan mengapa mereka begitu setia pada kerajaan. Inilah yang patut kita teladani, mengabdi dengan tulus dan ikhlas, tanpa mengharap suatu imbalan.
Sepi ing pamrih, rame ing gawe... [caption id="attachment_73680" align="aligncenter" width="300" caption="sekali lagi...narsiss itu wajib (dok. elisabeth murni)"]
[/caption] [caption id="attachment_73679" align="aligncenter" width="300" caption="
canting ke grebeg (dok. elisabeth murni)"]
[/caption] Tuisan-tulisan lain saya tentang Grebeg: #
Dhaeng dan Bugis, Favoritku.... #
Tak Bisa Ngrayah Gunungan, Nongkrong di Pratjimosono pun Jadi #
Si Lombok Abang #
Prajurit Nyutro, Unik atau Seram?? Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya