Lagi-lagi aku mendapat ide menulis setelah membaca tulisan atau komentar orang lain. Ketika membaca tanggapan Mas Hadi untuk komentarku di tulisannya yang berjudul Beli Tiket, Buang Pohon, dalam tanggapannya Mas Hadi mengatakan kalau selama ini masih menggunakan saputangan, bukan kertas tisu. Gara-gara saputangan itu aku jadi ingat dulu pernah membaca asal-usul saputangan di Majalah Intisari. Setelah membongkar buku-buku di rak, akhirnya kutemukan majalah itu, dan aku bagikan di sini. Saputangan sebenarnya sudah dalam syair karya Catullus (84-54 SM). Tak seperti sekarang, alat pengusap keringat kala itu terbuat dari jalinan rumput. Memasuki abad pertama sebelum masehi, barulah saputangan terbuat dari kain linen. Meski sederhana, hanya golongan masyarakat kelas atas yang mampu memilikinya. Karena itu, saputangan diperlakukan dengan sangat istimewa. [caption id="attachment_103420" align="alignright" width="300" caption="saputangan dari kain linen (en.wikipedia.com)"][/caption] Memasuki abad ke-14, banyak masyarakat Eropa yang menyadari saputangan sebagai bagian tak terpisahkan dari gaya busana. Terutama di Italia, tempat pertama kali ide saputangan muncul dari seorang wanita Venezia yang memotong-motong rami menjadi bentuk persegi dan menghiasinya sengan renda. Namun menurut Wikipedia, Raja Richards II dari Inggris lah yang menggunakan saputangan pertama kali di abad ke-14 juga. Saat itu saputangan bertambah fungsinya sebagai sarana bertutur sapa dengan cara melambai-lambaikannya. Sementara di gedung teater, saputangan dilambai-lambaikan untuk memberikan sambutan hangat untuk para pemainnya. Dari Italia, saputangan menyebrangi pegunungan Alpen menyebar ke seluruh Perancis. Para bangsawan di bawah Raja Henry II memiliki andil besar dalam penyebarannya. Saat itu bahkan bahan dasarnya sudah sangat mahal, berhiaskan renda dan bordir sedemikina rupa sehingga menarik dan terlihat mewah. Fungsinya menjadi agak berbeda ketika cerutu diperkenalkan di Eropa pada abad ke-17. Menghisap cerutu menjadi kebiasaan yang sangat elegan. Sayangnya, menghisap cerutu dapat meninggalkan noda coklat di hidung yang sangat mengganggu penampilan. Dari sinilah terjadi perkembangan, yaitu munculnya saputangan ukuran besar berwarna gelap yang umumnya digunakan kaum pria. Suatu hari di abad ke-18 di Versailles, Marie Antoinette menyatakan saputangan berbentuk persegi lebih tepat dan lebih mudah dibawa kemana-mana. Bahkan Louis XVI sampai mengeluarkan peraturan tentang persegi untuk semua saputangan yang dibuat di lingkungan istana. Baru di abad ke-19, saputangan sampai di Jerman. Namun baru beredar di lingkungan kerajaan dan kalangan bangsawan. Saputangan juga menjadi hadiah umum dari pria yang menaruh hati pada seorang wanita atau sebaliknya. Di abad ini juga, saputangan menjadi pelengkap wajib dalam gaya berbusana. [caption id="attachment_103419" align="alignleft" width="300" caption="saputangan kini (id.wikipedia.com)"][/caption] Saputangan kemudian menjadi barang universal. Ia pun menjadi sarana komunikasi yang menarik. Meletakkan saputangan di pipi berarti "aku cinta padamu". Membawa saputangan ke pipi kanan pertanda kita mengiyakan sesuatu, sedangkan ke kiri berarti menolak. Meletakkannya di dahi berarti "kita sedang diamatamati", dan jika diletakkan di bahu artinya "ikuti aku". Dan untuk para pria, bila seorang wanita meletakkkannnya di bibir sambil menatapmu, berbahagialah...karena wanita tersebut ingin berkenalan. Sepertinya itu semua baru terjadi kemarin. Dan baru kemarin juga sepertinya kita menyeka keringat, mengelap tangan, membersihkan mulut, membuang ingus, bahkan mengusap airmata menggunakan saputangan. Namun tiba-tiba benda itu mulai jarang digunakan, keberadaannya digantikan oleh kertas tisu yang praktis dan mudah di dapat. Semakin jarang orang yang menyimpan saputangan di tas atau saku bajunya. Ah, sayang sekali kau akhirnyasaputangan akhirnya harus menghilang. Bukankah ia ramah lingkungan? Karena bisa digunakan berkali-kali, bila sudah kotor bisa dicuci, dikeringkan, disetrika, dan dipakai kembali. *Sumber : Majalah Intisari, Wikipedia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H