Foto 1^: Pemandangan di Dlepih, Kahyangan
BAHASA cinta melampaui batas nalar manusia. Sang Maha Kuasa dengan alam pun memperlihatkan pada setiap manusia dengan cara yang lebih luar biasa. Saya mendapatkannya, tepat di depan mata saya. Hari itu, Minggu 28 Oktober 2012, di pelataran parkir Kahyangan, Dlepih, Tirtomoyo, Wonogiri. Walaupun tempat ini dekat dengan daerah asal saya, tetapi baru kali ini juga saya menapaki jejak petilasan Panembahan Senopati. Ini pun karena saya mengikuti acara Spiritual Odissey yang diadakan CV Lakutama. Pengalaman baru bagi saya.
Datang pagi hari dengan dua rombongan bus dan tiga kendaraan mini bus, kami disuguhi udara yang segar dan suara alam yang menenteramkan. Tentu saja, fokus saya lebih pada alam dan berbagai artefak peninggalan. Mulai dari tekstur alam yang berbatu hingga tempat-tempat yang konon merupakan tempat menyepi Panembahan Senopati. Perjalanan sampai ke telaga di puncak pegunungan Kahyangan. Saya mengagumi pesona alam disana.
Foto 2 ^: Pohon tua rindang menyejukkan
Foto 3 ^: Tulisan Jawa di salah satu Gua di Kahyangan
Foto 4Â ^: Tulisan Jawa di salah satu prasasti di Kahyangan
Sampai di bawah, saya sibuk dengan upaya menghilangkan rasa haus dan lapar. Rupanya telah disediakan makanan khas desa berupa sayur lombok hijau, ikan goreng, telur dan tempe. Hidangan yang membangkitkan selera walaupun bagi lidah saya terasa begitu pedas. Herannya, saya tidak sakit perut seperti jika menyantap makanan pedas sebelumnya.
Di tengah-tengah saya menikmati makan itulah, pemandangan yang sampai sekarang saya ingat dengan jelas. Seorang laki-laki dewasa dengan seorang anak kecil. Dugaan saya laki-laki dewasa itu adalah bapak dari anak kecil itu. Mereka sesekali bercakap, berangkulan mesra, dan saling bicara dengan tatapan mata. Si Bapak tampaknya bercerita dengan serius pada anaknya. Lama pemandangan ini saya nikmati.
Setelah dengan seksama saya amati, Bapak ini rupanya berkebutuhan khusus. Ya, Bapak itu tuna daksa. Bahkan dalam kategori fisik, Bapak ini tuna daksa ganda. Tentu saja, pertama kali yang saya rasakan adalah perasaan trenyuh. Perasaan empati. Sampai pulang saya masih ragu apakah saya akan memberi sedikit kelebihan rejeki saya. Tapi niat itu sampai saya pergi meninggalkan pelataran parkir Kahyangan itu tidak terlaksana. Saya ragu apakah Bapak itu tidak akan tersinggung jika saya berbagi rejeki padanya. Baru setelah rombongan mulai beranjak pergi, semakin jelas bahwa Bapak itu bekerja sebagai tukang parkir.
Ah, bahkan yang mempunyai ‘kelebihan’ seperti Bapak itu saja mau bekerja keras. Tentunya yang lebih menggedor hati saya adalah rasa cinta kasih yang bisa mewujud ke dalam berbagai hal-hal sederhana di depan mata kita. Wujud yang begitu tulus tanpa kepura-puraan. Pesan yang sempurna pada saya. Pesan yang musti disebarluaskan pada seluruh makhluk hidup di alam semesta. Rahayu. []
sumber gambar: dok. pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H