Mohon tunggu...
Sg Wibowo
Sg Wibowo Mohon Tunggu... -

seperti rumput teki...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mau Tahu Pemilu Legislatif 2014? Belajarlah dari Kelompok Pencopet

7 Mei 2014   19:29 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:45 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13994403891244606804

HASIL Pemilu Legislatif 9 April 2014 kemarin begitu mengejutkan. Semua di luar hasil prediksi lembaga survey yang lalu lalang menjelang Pemilu. Dari sekian banyak yang terkaget-kaget, mungkin hanya teman saya yang tidak kaget. Dia sudah jauh-jauh hari mengatakan bahwa hasilnya tidak akan seperti yang dilansir lembaga survey. Menurutnya untuk pemilihan kepala daerah atau bahkan tingkat desa saja pihak petahana mampu mengambil “keuntungan” masak setingkat kepala pemerintahan tidak bisa.

Begitu hasil hitung cepat semua lembaga selesai pada 9 April 2014 waktu itu, teman saya langsung mengirim pesan pendek: “kamu mustinya belajar dari kelompok pencopet untuk tahu bagaimana proses politik yang terjadi pada Pemilu ini.” Pesan pendek itu tidak segera saya jawab, tentu saja karena saya yang sejak awal begitu yakin dengan hasil survey menjadi tidak punya argumen yang tepat untuk menjawab-balik pesan pendek teman saya ini.

Di waktu senggang antara proses rekapitulasi surat suara di beberapa tingkat akhirnya saya putuskan untuk bertemu dengan teman saya itu. Tanpa perlu pembuka ini itu teman saya dengan segera bercerita tentang analisanya mengenai apa yang terjadi. Ada tiga hal yang menjadi fokus pelaku politik menjelang Pemilu 9 April 2014 yang lalu.

Fokus pertama adalah persoalan daftar pemilih. Tentu saja ini menjadi fokus bagi sebagian besar pelaku politik karena berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, persoalan mendasar ada di daftar pemilih ini. Tentu saja ini terkait isu penggelembungan suara dan juga penghilangan hak suara konstituen partai politik tertentu. Sedemikian besarnya energi dan waktu dialokasikan oleh partai (pelaku) politik untuk mengawasi ini. Apalagi ada kehendak besar dari semua pihak untuk meningkatkan partisipasi warga masyarakat untuk memberikan suaranya dalam Pemilu. Ditambah lagi dengan kesibukan upaya mobilisasi pemilih dengan adanya Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). Beberapa calon legislatif (caleg) sedemikian keras mendulang suara dari warga luar daerah yang bisa dipindahkan hak memilihnya di daerah pemilihan caleh tersebut berasal.

Persoalan logistik pemilu menjadi fokus kedua. Semua pihak berupaya memastikan agar logistik pemilu selesai sesuai tahapan. Logistik ini bukan saja karena memastikan pemilu berlangsung sesuai jadwal yang ditetapkan tetapi juga terkait bagaimana lalu lintas logistik sehingga tidak ada peluang untuk ‘memainkan’ logistik terutama surat suara dan formulir C1. Kedua jenis barang ini bahkan mendapat perhatian serius agar tetap aman. Untuk formulir C1 bahkan diberi hologram agar tidak ada upaya membuat formulir palsu.

Di tengah hiruk pikuk sedemikian itu, pelaku politik lain semakin sibuk dengan sengketa antara PDI Perjuangan dan Partai Gerindra terkait perjanjian Batutulis. Sengketa kedua partai politik ini tentu saja menjadi sorotan banyak pihak karena keduanya dianggap akan mendulang suara yang sangat besar. Sengketa semakin riuh dengan tempik sorak sorai karena PDI Perjuangan mencalonkan Joko Widodo sebagai calon presiden (capres). Betapa kegaduhan itu bisa dilihat saling serang antara PDI Perjuangan dengan Gerindra. Sibuk apakah partai politik lain? Sibuk mengipasi sengketa kedua partai politik itu. Tentu saja selain PKS yang sibuk menyehatkan partainya akibat hempasan kasus korupsi import daging sapi. Kenapa PKS dibikin sibuk di internal mereka? Harus dipahami (mungkin) hanya PKS yang punya struktur organisasi dan kader yang paling mumpuni dan daya tahan luar biasa dalam melakukan pencermatan atas suatu hal. Berbahaya jika PKS tahu tapi tidak dilibatkan dalam upaya ini. Sementara jika pun dilibatkan, PKS pasti minta jatah yang sangat besar.

Pertanyaannya kemanakah partai politik lain yang tergabung dalam koalisi pemerintahan SBY pada waktu itu? Kemanakah Demokrat (SBY) pada waktu itu? Demokrat sedemikian tenang. Banyak pihak lupa bahwa air tenanglah yang menghanyutkan. Sangat tidak cerdas jika kemudian Demokrat tidak melakukan apa-apa. Akhirnya Konvensi Demokrat sebagai media untuk menjadi etalase yang tampak bagi pengunjung gerai Demokrat. Konvensi yang sedemikian sepi peminat itu menjadi ‘karya’ yang sengaja ditampilkan untuk dinilai: “Demokrat sepi peminat. Jadi tidak perlu dihitung sebagai lawan yang memadai.”

Apa daya rupanya hasil pemungutan suara 9 April 2014 memberikan hasil di luar perkiraan banyak pihak. Ternyata PDI Perjuangan tidak menang besar sehingga bisa mengajukan calon presiden sendiri tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lain. Suara Partai Demokrat juga tidak terjun bebas seperti hasil survey. Begitu pun dengan PKS ternyata masih bisa dapat gerbong ke senayan. Partai-partai yang tergabung dalam koalisi (Sekber) pun ternyata tidak ‘mendapat’ hukuman dari rakyat. Mereka masih mendapatkan suara yang lumayan bahkan bukan di urutan yang paling buncit. Ini seperti mengamini apa yang dikatakan Presiden SBY pada 10 Maret 2014: "Bacaan saya, kecuali dalam 1,5 bulan ada peristiwa yang dramatis, no single political party yang akan sangat dominan.” Bahkan ditegaskannya: "Jadi jangan dibayangkan ada parpol mencapai 30 persen kemudian nomor dua 20 persen, ketiga 5 persen. Seperti itu tidak saya lihat. I'am maybe wrong, lihat saja nanti." (Lihat: http://news.detik.com/read/2014/03/10/213945/2521586/10/prediksi-sby-tidak-ada-partai-sangat-dominan-di-pemilu-2014). Bukankah SBY sedemikian luar biasa?

Kesadaran selalu datang terlambat. Setelah berminggu-minggu dari hari pemungutan suara, orang baru mencium ada aroma tidak sedap dari pemilu legislatif kali ini. Bagaimana tidak wajarnya, tentu kita harus membiarkan para pelakunya yang bertanding untuk membuktikannya dengan aturan main yang sudah ditentukan. Tulisan ini pun tentu hanyalah spekulasi atas potongan-potongan peristiwa politik yang berlangsung lantas disandingkan dengan teknik mencopet yang pernah saya tonton dalam sebuah video yang diunggah di Youtube.

Dalam video tersebut tampak secara bertahap bagaimana proses terambilnya barang dari pemiliknya ke tangan pencopet (Lihat: http://www.youtube.com/watch?v=669ty8zH4vE). Mungkin begitulah proses Pemilu 9 April 2014. Sampai sekarang pun tetap saja belum banyak yang sadar.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun