Mohon tunggu...
F. Sugeng Mujiono
F. Sugeng Mujiono Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ita...

9 September 2023   08:55 Diperbarui: 9 September 2023   09:01 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wanita dengan dua anak itu sering terlihat ngobrol bersama petugas retribusi di pintu masuk terminal. Kali lain ia berjalan menyusur pinggiran jalan tanpa trotoar di sekitar terminal. Kadang kelihatan berteduh di depan toko. Dan saat-saat tertentu ia datang ke kantorku. (Sebelum covid, aku ngantor di sebuah yayasan sosial) Ya, ia selalu bersama dua orang anak laki-laki.

Suatu hari wanita dengan dua anak itu datang dan curhat kepadaku. Ia gelisah ketika akan mendaftarkan anaknya masuk sekolah. Ia Tanya, bagaimana mendapatkan akta lahir.

Gampang itu Ita, kataku. Aku memanggilnya Ita, tentu bukan nama sebenarnya. Datang saja ke kantor Dukcapil. Gratis.

Itu masalahnya, Pakde, ia memanggilku Pakde. Aku tak punya akta kawin. Kan harus ada akta kawin?

Memangnya akta kawinmu di mana? Apakah digadai? Aku meledeknya.

Ita bercerita panjang lebar tentang kisah perkawinannya.

Setamat kuliah, (kuragu apakah tamat beneran) Ita bekerja di sebuah perusahaan. Ia tidak menceritakan kerja bagian apa. Ketika itu, Ita sudah janda tanpa cerai, ditinggalkan suaminya begitu saja. Ia sering diledek temannya, tampang seperti itu apakah masih laku kawin. Laki-laki mana yang mau dengan janda seperti kamu, begitu Ita bercerita.

Ita tak bisa tahan dengan ejekan itu. Awas ya, aku akan buat lakimu takluk padaku, begitu ia mengancam kawannya, yang memang sudah bersuami.

Singkat kata, rayuan Ita sangat manjur. Ia berhasil merebut hati suami kawannya itu dan menikah secara siri. Ia disewakan sebuah rumah tempat tinggal. Setiap bulan ia memperoleh jatah belanja yang cukup. Hingga Ita hamil dan kemudian menyatakan berhenti bekerja. Sampai punya anak dua, Ita masih rutin memperoleh jatah belanja dari suami sirinya.

Ketika anaknya yang kedua berusia kira-kira 2 tahun, jatah dari suami mulai tersendat. Kadang diberikan terlambat. Kadang diberikan separoh dari biasanya. Hingga akhirnya macet sama sekali. Tak pernah diberi jatah belanja bulanan. Ita berusaha mencari suaminya itu, tak juga ketemu. Tak juga di tempatnya bekerja. Yang ia dapati hanyalah senyum sinis dan ungkapan kepuasan dari kawan yang dulu mengejeknya, yang tak lain adalah istri dari suami siri Ita.

Begitu Pakde, ceritanya, Ita mengakhiri kisahnya.

Kata petugas Dukcapil, akte lahir tetap bisa diperoleh, kataku. Hanya saja, tidak ada nama ayahnya. Hanya tercatat sebagai anak ibu.

Nanti kalau anakku ditanya nama ayahnya, jawab apa?

Aku tidak menjawab pertanyaan itu. semestinya, sebagai orang yang lulus kuliahan ia tahu tentang peraturan dan hukum yang berlaku. Maka aku pun tidak berusaha menjelaskan panjang lebar.

Seperti biasa, kedua anaknya mulai merengek, tidak betah menunggu ibunya ngobrol berlama-lama. Dan setelah kuulurkan sepotong roti yang selalu tersedia di mejaku, Ita pergi menggandeng anak itu dan menggendong yang kecil. Seperti biasa juga, ia berjalan tanpa arah di sekitar kota, tentu saja sambil membawa kegelisahan yang ia ceritakan.

Jambi, 09 September 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun