Wanita dengan dua anak itu sering terlihat ngobrol bersama petugas retribusi di pintu masuk terminal. Kali lain ia berjalan menyusur pinggiran jalan tanpa trotoar di sekitar terminal. Kadang kelihatan berteduh di depan toko. Dan saat-saat tertentu ia datang ke kantorku. (Sebelum covid, aku ngantor di sebuah yayasan sosial) Ya, ia selalu bersama dua orang anak laki-laki.
Suatu hari wanita dengan dua anak itu datang dan curhat kepadaku. Ia gelisah ketika akan mendaftarkan anaknya masuk sekolah. Ia Tanya, bagaimana mendapatkan akta lahir.
Gampang itu Ita, kataku. Aku memanggilnya Ita, tentu bukan nama sebenarnya. Datang saja ke kantor Dukcapil. Gratis.
Itu masalahnya, Pakde, ia memanggilku Pakde. Aku tak punya akta kawin. Kan harus ada akta kawin?
Memangnya akta kawinmu di mana? Apakah digadai? Aku meledeknya.
Ita bercerita panjang lebar tentang kisah perkawinannya.
Setamat kuliah, (kuragu apakah tamat beneran) Ita bekerja di sebuah perusahaan. Ia tidak menceritakan kerja bagian apa. Ketika itu, Ita sudah janda tanpa cerai, ditinggalkan suaminya begitu saja. Ia sering diledek temannya, tampang seperti itu apakah masih laku kawin. Laki-laki mana yang mau dengan janda seperti kamu, begitu Ita bercerita.
Ita tak bisa tahan dengan ejekan itu. Awas ya, aku akan buat lakimu takluk padaku, begitu ia mengancam kawannya, yang memang sudah bersuami.
Singkat kata, rayuan Ita sangat manjur. Ia berhasil merebut hati suami kawannya itu dan menikah secara siri. Ia disewakan sebuah rumah tempat tinggal. Setiap bulan ia memperoleh jatah belanja yang cukup. Hingga Ita hamil dan kemudian menyatakan berhenti bekerja. Sampai punya anak dua, Ita masih rutin memperoleh jatah belanja dari suami sirinya.
Ketika anaknya yang kedua berusia kira-kira 2 tahun, jatah dari suami mulai tersendat. Kadang diberikan terlambat. Kadang diberikan separoh dari biasanya. Hingga akhirnya macet sama sekali. Tak pernah diberi jatah belanja bulanan. Ita berusaha mencari suaminya itu, tak juga ketemu. Tak juga di tempatnya bekerja. Yang ia dapati hanyalah senyum sinis dan ungkapan kepuasan dari kawan yang dulu mengejeknya, yang tak lain adalah istri dari suami siri Ita.