Aku, Sara, tertidur pulas sampai pagi setelah bergumul semalaman bersama Tobia. Ketika kami bangun, suara riuh penuh sukacita terdengar dari segala penjuru rumah. Di beranda depan, di dapur, di pekarangan belakang dan samping.
Seorang sahaya (budak perempuan) bercerita kepadaku, bahwa ayahku segera menyelenggarakan pesta perkawinan selama empat belas hari. Dan rupanya sahaya itu telah menyelusup ke kamarku ketika aku masih pulas dalam pelukan Tobia.Â
Atas suruhan ayah dan ibuku ia memastikan agar Tobia segera dikuburkan sebelum fajar.Â
Namun sahaya itu mendapati Tobia dan aku masih bernafas, maka segera ia mengabarkannya kepada ayah dan ibuku. Bersukarialah ayah dan ibu mendengar kabar itu.Â
Kemudian ayah mengucap syukur dan puji kepada Sang Pencipta. Dengan berseri-seri sahaya itu menirukan doa ayahku, Terpujilah Engkau ya Tuhan, karena aku telah Engkau gembirakan. Terpujilah Engkau, karena kedua anak tunggal itu telah Engkau kasihani. Berilah mereka perlindungan, dan biarlah mereka meneruskan hidup dengan senang dan belas kasihMu.
Ayah menyuruh beberapa bujangnya (budak laki-laki) untuk segera menimbun lubang yang disediakan bagi Tobia sebelum fajar tiba, tanpa jasad pun. Kemudian ia pergi ke kandang, memilih dua ekor lembu jantan yang paling tambun, dan empat ekor domba yang gemuk. Ia memerintahkan bujang-bujang yang lain untuk memotong lembu dan domba itu, dan menyajikan hidangan yang paling lezat.
Dan ibu memilih gandum yang terbagus. Ia menyuruh sahaya-sahayanya untuk membuat roti sebanyak-banyaknya. Pesta pernikahan akan segera diselenggarakan selama empat belas hari dengan tamu-tamu terhormat. Begitulah cerita sahaya itu kepadaku.
Sementara itu, begitu bangun, Tobia memanggil pemuda yang sedari kemarin bersama dia. Aku dengar ia menyebut nama Azarya. Kulihat mereka terlibat dalam perbincangan yang serius.Â
Tobia menyerahkan sebuah gulungan. Kemudian terlihat mereka saling mengucap perpisahan. Dan pemuda yang dipanggil Azarya itu pergi disertai empat orang bujang dan dua ekor unta.
Pesta berlangsung dengan penuh sukacita. Pada malam yang kedua, pemuda yang dipanggil Azarya itu datang kembali bersama seseorang seumuran ayahku. Begitu hangat ayahku menyambut dan memberi salam, nampaknya mereka sudah saling kenal. Orang itu nampak meneteskan air mata kegembiraan. Kemudian ia memberi salam kepada Tobia, dan air matanya semakin menderas.Â
Katanya, Terpujilah Tuhan, karena aku telah melihat gambaran saudaraku sendiri pada dirimu.Â