Ingat Mukidi? Sebuah nama yang berulang diviralkan, kemudian menghilang. Ada kalanya muncul lagi, dan menghilang lagi.
Nama yang menggambarkan seseorang dengan bermacam karakter dan perannya. Yang terlintas dalam benak, Mukidi adalah sosok yang sederhana, sangat sederhana. Tidak neko-neko, nrimo. Bahkan ia tak marah dengan cerita-cerita rekaan tentang dia. Ia tidak mensomasi, tidak menuntut. Tidak merasa namanya dicemarkan. Ia pun tak peduli dengan hiruk pikuknya jaman now yang milenial. Ia tak suka tampil, tak suka difoto. Ia merasa tak ada yang perlu ditampilkan dari dirinya. Tampang dan polah bukanlah camera-face. Posisi, jabatan, ekonomi tak ada yang bisa dibanggakan. Apa yang perlu diselfikan? Apa pula perlunya menuntut dan mensomasi, begitu katanya. Dan inilah rekaan tentang Mukidi.
Berkat kegagalannya dalam studi dan bekerja, Mukidi harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Anaknya yang pertama saja lahir sebelum ia kawin. Lha kok bisa? Haha... tak perlu dibahas, semua tahu jawabnya. Dan memang, nama Mukidi tidak tercetak pada akta lahir anak pertamanya.
Ya, tulangnya harus dibanting-banting hingga remuk redam. Dan kini, tulang itu tinggal terbalut kulit yang berkerut-kerut. Bila bergerak pating keriut seperti gerobak bakso yang didorong di jalan terjal. Â Sendi-sendinya sudah keropos bahkan ada yang lepas. Giginya pun tinggal tonggak-tonggak. Bila makan, goal-gaul sulit mengunyah. Bila sempat tersenyum, spontan tangannya terangkat menutup mulut. Namun dalam sehari, belum tentu ia sempat tersenyum, apalagi tertawa. Tak ada bahan untuk tersenyum. Sikon tak memberinya kesempatan untuk tersenyum dan tertawa. Tubuhnya membungkuk, nampak lebih tua dari usianya.
Anaknya nderendel sampai sembilan. Kok dak kabe, kata orang. Gimana mau kabe? Kabe kan perlu duit. Untuk makan harian saja sulit. Kabe A kok ya dak tahan. Lagi pula, apabila si titit mulai rewel, wah tahu sendiri. Apa maunya harus dituruti. Habis, pondoknya yang sempit tak cukup penerangan. Tak ada listrik. Tak ada hiburan, tak ada teve. Mau iseng di luaran, wah tak mungkin. Dosa, katanya.
Mukidi tetap bersyukur. Kesembilan anaknya sudah mandiri semua, walaupun tulang mereka juga harus dibanting-banting seperti bapak ibunya. Mereka tak ada yang berdasi, namun mereka tak lagi merepoti. Ada yang kerja jaga malam, ada yang tukang parkir, ada yang buruh pabrik. Ada pula yang jadi prt dan art. Yang bungsu nampaknya paling mujur, bisa kerja kantoran. Hampir saja ia berangkat sebagai tkw, tapi beruntung  segera ada panggilan kerja kantor untuknya.
Mukidi sempat tersenyum ketika anak-anaknya menunjukkan cerita-cerita tentang dirinya. Tetapi ia berkilah, itu Mukidi yang lain.
Tapi anaknya Sembilan, Pak. kata anaknya lagi.
Banyak  yang anaknya sembilan.
Katanya giginya ompong, Pak.
Banyak Mukidi yang ompong.