Aku tak bisa memahami mengapa kasih harus dipatahkan atas nama sebuah keyakinan. Katanya kasih itu sabar, yang kuhadapi adalah kemarahan penuh emosi. Katanya kasih itu murah hati, yang kudapati adalah pemaksaan kehendak. Katanya kasih itu tidak cemburu, yang kutemui adalah sikap iri hati. Katanya kasih itu tidak memegahkan diri, yang kuhadapi kecongkakan seakan kebenaran hanya milik pribadi.
Ya,. kasih yang semakin subur harus dikorbankan demi Ayah. Aku tak mengerti, mengapa tali kasih itu dulu bersemi. Bukan aku tak menyadari akan rintangan yang akan kuhadapi, namun aku pun tak kuasa menghambat bertumbuhnya kasih itu hingga keadaannya saat ini.
M. Ichsan kukenal sejak di bangku kuliah. Ia mahasiswa rantauan yang tekun. Ia tidak sombong dengan kepandaiannya dan kekayaan orangtuanya. Perkenalan pertama berkembang, hingga tumbuh benih kasih di antara aku dan dia. Sampai saatnya ia menyatakan I love you, dan kemudian ingin meminangku. Beda keyakinan baginya tidak masalah. Kasih lebih utama daripada masalah perbedaan. Menurut dia, substansi sebuah keyakinan adalah kasih. Keyakinan tanpa kasih adalah munafik. Hakikat dan perwujudan keyakinan itu adalah kasih. Itulah sebabnya, ia tak mau menumpas kasih yang telah bersemi sekian lama dalam dua keyakinan yang berbeda.
 "Jadi, Watik tetap ingin meneruskan hubunganmu dengan Ichsan?"  tanya ibuku suatu malam.
"Watik tak bisa mengingkari hatiku sendiri, Bu," Â jawabku. "Dalam waktu dekat, Mas Ichsan akan meminangku. Mas Ichsan orangnya baik, tidak fanatik, tekun beribadah sesuai keyakinannya. Jujur, rendah hati, dan sabar. Secara ekonomi juga sudah mapan."
"Ibu tahu, nak," potong Ibu. "Tapi bagaimana dengan ayahmu? Ibu tak bisa membayangkan sikap ayahmu bila Ichsan datang nanti. Ayahmu itu keras, tak mau dipermalukan."
"Aduh Bu, apakah aku mempermalukan Ayah?" Â tanyaku..
"Ayahmu akan merasa gagal mendidik anak bila punya menantu tidak seiman," jawab Ibu. "Ayah adalah orang yang disegani di paroki[1]. Ayah termasuk sebagai katekis[2] lama, katekis senior. Sampai menjelang pensiun ini ayahmu masih bersemangat mengajar ke kring-kring[3], bahkan ke paroki lain. Kalau ternyata anaknya ..."
 "Ternyata anaknya apa, Bu?" aku memotong. "Jadi, Ibu sependapat dengan ayah? Ibu tak bisa memahami, bagaimana kasih itu tumbuh dengan sendirinya? Apakah demi sebuah keyakinan, kasih harus dikorbankan? Jadi, apabila kita berkata kasih itu sabar, murah hati, tidak cemburu, dan tidak sombong, apakah itu hanya omong kosong, Bu?"
 "Cinta kasih tidak terbatas pada hubungan pria wanita saja, nak," kata Ibu lagi. "Kasih kepada sesama, kepada semua manusia, bahkan kepada seluruh alam ciptaan."
 "Juga kepada Mas Ichsan, Bu?" aku menyela. "Bila aku memutuskan kasihku kepada Mas Ichsan, bukankah itu tidak adil? Dan aku harus mengingkari suara hatiku sendiri?"