Mohon tunggu...
F. Sugeng Mujiono
F. Sugeng Mujiono Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kali Bendo, The Lost World

17 April 2021   17:51 Diperbarui: 17 April 2021   19:09 651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pancuran itu sudah tidak ada, tinggal dinding pembatas di antara semak (Dok. pribadi)

Ya, hanya dipisah dinding batu setinggi kira-kira 1 meter. Namun pria dan wanita mandi dengan santai tanpa rasa risih dan malu. Mereka sungguh menikmati guyuran air jernih mengalir di seluruh bagian tubuhnya.

Wanita biasanya membungkus diri dengan kain ala kadarnya, kemudian menggosok/menyikat cucian di atas dinding pembatas, sambil melirik kaum pria yang sedang mandi. Sesekali membenahi kainnya yang mengendor, sesekali juga kainnya melotrok. melorot tidak terasa.

Sementara kaum pria mandi dengan melepas seluruh pembungkus badannya. Tangan kiri nggegem (menggenggam) 'burung'nya agar tidak kelihatan, tangan kanan menggosok-gosok dan membersihkan daki di seluruh badan. Kadang tangan kanan menggantikan tugas tangan kiri, kadang pula genggamannya terlepas sama sekali dan 'burung'nya berayun diterpa air pancuran. Guyuran air pancuran begitu menyegarkan, menghalau rasa pegal, lelah. dan malu.

Hanya ada dua buah pancuran. Sementara yang ingin mandi dan cuci cukup banyak. Pagi dan sore mereka berduyun, membawa ember penuh pakaian untuk dicuci, sabun batangan cap tangan salaman, sikat gigi yang sudah dioles odol, dan berkalung handuk. Mereka dengan tertib antre menunggu giliran.

Ya, hanya ada dua buah pancuran Kali Bendo, sementara yang butuh mandi banyak. Mereka antre dengan tertib tanpa nomor, tetapi mereka tahu gilirannya, tidak saling mendahului.

Di hari-hari tertentu, terutama pagi hari, Kali Bendo diramaikan dengan hilir mudik pedagang bambu. Jalan setapak menurun dari Desa Pojok menuju Kali Bendo itu tersambung ke bawah menuju Sungai Progo. Di ujung jalan setapak itu, tepatnya di pinggir Sungai Progo, ada sebuah halte, tempat perhentian penyeberangan. Di sanalah beberapa rangkaian bambu berhenti sejenak, setelah terhanyut dan menyeberang dari Kulon Progo.

Para pedagang bambu menyusun batang-batang bambu sepanjang 4 -- 6 meter menjadi semacam rakit. Kemudian disunggi menuju pinggir Progo, tepatnya di sekitar praon (tempat perahu rakit) Sayangan. Pria-pria berotot yang tanpa baju itu cucul katok, melepas celananya, mengikatkan celana itu di atas kepala agar tidak basah. Sambil nggegem 'burung'nya, pria-pria berotot itu mendorong rakit bambu ke tengah sungai. Tanpa berpakaian selembar pun, mereka naik dan duduk di atas rakit itu. Rakit hanyut sejauh kira-kira 1 kilometer, sampailah di seberang sungai, tepatnya di Ngisor Bendo, sebuah halte tempat mereka berhenti sejenak. Di tempat itu, mereka turun dari rakit. Sambil kembali nggegem 'burung'nya, mereka meminggirkan rakit bambu itu, untuk selanjutnya mengenakan kembali celana hitam bertali yang ada di atas kepala mereka.

Rakit bambu disunggi lagi, meniti jalan setapak menanjak, terjal berbatu, licin, dan berkelok. Sampai di lurung (lorong) datar dan lurus ke arah timur, berbelok ke arah selatan, kembali ke timur, menuju Lapangan Kebonagung. Di sanalah transaksi bambu berlangsung bersama beberapa jenis dagangan yang lain.

Dua buah batu besar dengan diameter sekitar 1 meter, teronggok di jalan setapak itu. Satu buah terletak persis di depan pancuran Kali Bendo, satu lagi di bagian sebelah bawah. Begitu besarnya kedua batu itu hingga menutup lebih dari separoh lebar jalan. Bagi para pria perkasa yang menyunggi rakit bambu, kedua batu itu cukup merepotkan. Karena sangat dekat dengan tikungan menanjak yang terjal, sehingga ujung bambu yang disungginya sering nyangkut di batu tersebut. Tetapi bagi sebagian pejalan, batu itu merupakan tempat melepas lelah setelah berhasil mencapai separoh tanjakan. Dengan bersandar sejenak pada batu tersebut, rasa lelah berkurang, untuk bisa melanjutkan perjuangan mencapai puncak tanjakan yang masih tersisa.

Konon, kedua batu besar itu ada yang 'penunggunya'. Di saat-saat tertentu, atau pada saat ada keluarga punya hajat, sebuah sajen (sesaji) diletakkan di atas batu besar itu dan juga di atas dinding pembatas pancuran. Sajen terbuat dari pelepah/tangkai daun pisang atau debok, dibentuk menjadi bujur sangkar kira-kira 15 -- 20 senti meter persegi bak nampan. Dua serpih bambu ditusukkan menyilang pada keempat sisinya. Dengan dialasi daun pisang, nampan debok itu diisi dengan tumpeng nasi kecil, sebuah takir berisi pento, peyek gereh, sekerat jengkol dan irisan kol. Sebuah takir yang lain berisi tumis tempe yang agak pedas. Dilengkapi dengan irisan daun pandan wangi dan beberapa helai kembang, dan sekeping uang.

Sajen itu menjadi incaran anak-anak pada saat itu. Tumpeng kecil dan kelengkapannya merupakan santapan yang sangat lezat. Mengetahui ada warga yang punya hajat, anak-anak sudah menantikan kapan sajen itu diantar ke Bendo. Begitu pengantar pergi, langsung sikat. Mereka berbagi, walau mungkin hanya mendapatkan satu buah pentho, atau secuil peyek, atau sesuap nasi, mereka sangat senang dan menikmati.  Tinggallah daun pisang, debog, dan kembangnya yang tetap berada di atas batu atau dinding pembatas itu, sampai mongering.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun