Mohon tunggu...
Samuel F Djetul
Samuel F Djetul Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi_UMBY

Suka nulis aja.!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyelisik Sejarah, Budaya, dan Sosial-Ekonomi Orang Tionghoa di Kepulauan Aru

3 Februari 2025   14:45 Diperbarui: 3 Februari 2025   14:45 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Etnis Tionghoa di Dobo Persiapan Imlek di Gereja Lahai-Roi/Hok Im Tong (sumber: https://www.rri.co.id/daerah/1285419/etnis-tionghoa-di-dobo-persiapan-

Berabad-abad yang lalu, Kepulauan Aru telah banyak disinggahi oleh bangsa-bangsa pendatang. Dobo menjadi pelabuhan yang bisa dikatakan cukup merekam bagaimana jejak-jejak dan riuhnya interaksi sosial kala itu. Dobo juga menjadi saksi bagaimana terjadinya kontak sosial antara penduduk lokal (orang Aru) dengan bangsa-bangsa pendatang. Salah satunya adalah dengan bangsa Tionghoa.

Kedatangan Orang Tionghoa di Kepulauan Aru

Sejarah kedatangan orang Tionghoa di Kepulauan Aru masih belum diketahui secara pasti. Namun, dalam artikel "Orang Cina di Aru" (2012) yang ditulis oleh Boy Alexander Darakay, sebagaimana dikutip dari penelitiannya Efilina Kissiya (2019), menjelaskan bahwa, kemungkinan kedatangan orang-orang Tionghoa ke Kepulauan Aru mulai terjadi pada zaman Dinasti Han (206 SM-24 M) yang mengabarkan pelayaran orang Tionghoa mencari mutiara ke Aru. 

Pada masa kolonial Belanda, terdapat hasil perhitungan penduduk (Proto Sensus) tahun 1694 yang menunjukkan jumlah penduduk di Kepulauan Aru sebanyak 4.487 jiwa. Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan, jumlah penduduk lokal ada 274 orang (5%), sedangkan penduduk pendatang ada 4.213 jiwa (95%). Sensus ini kemungkinan dilakukan hanya pada lingkup Dobo saja. Namun demikian, berdasarkan sensus tersebut juga, dapat dikatakan bahwa Dobo kala itu sudah sangat ramai oleh para bangsa pendatang.

Selanjutnya pada pertengahan abad ke-17, penduduk Aru dibagi ke dalam dua kategori yaitu, pertama, pegawai dan prajurit VOC, dan kedua, penduduk kota (Burger). Warga kota (Burger) kemudian dibagi lagi menjadi tiga golongan penduduk yakni, Belanda 25%, Cina 15%, dan pendatang dari Nusantara (inlander) 50% (Efilina Kissiya, 2019). Hal ini dapat menunjukkan bahwa keberadaan orang Tionghoa di Kepulauan Aru setidaknya mulai tercatat pada masa kolonial Belanda.

Sedangkan APC Sol MSC dalam buku "Sejarah Gereja Katolik di Kepulauan Aru" (2002), mengatakan bahwa, setelah Banda dan Kepulauan Aru ditinggalkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1806, orang-orang Tionghoa dan orang-orang Makassar kembali ke Kepulauan Aru untuk berdagang. Orang-orang Tionghoa tersebut adalah mereka yang berasal dari suku Hokkian di pesisir Selatan Tiongkok Daratan yang datang ke Kepulauan Aru untuk berburu hasil laut Aru, terutama kerang mutiara dan burung cendrawasih.

Pada masa kini, keberadaan orang Tionghoa di Kepulauan Aru masih dapat diketahui dari permukiman yang mereka bentuk---"Kampung Cina" di kota Dobo misalnya. Selain permukiman Kampung Cina, ada juga jejak-jejak seperti Gereja Hok Im Tong/Lahai-Roi, Kuburan Cina, dan lainnya.

Akulturasi dan Asimilasi Budaya Antara Orang Tionghoa dengan Orang Aru

Dalam setiap migrasi fisik oleh suatu etnik ke wilayah lain, tentu akan selalu diiringi juga dengan produk-produk kebudayaannya. Artinya keberagaman (heterogenitas) pada suatu masyarakat selalu diiringi dengan heterogenitas sebuah kebudayaan (Elifes T. Maspaitella, "Jejak Orang Tionghoa di Maluku"). Hal inilah yang kemudian menciptakan terjadinya proses-proses akulturasi dan asimilasi budaya antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain.

Kedatangan orang Tionghoa di Kepulauan Aru yang kemudian menetap, pada akhirnya juga menghasilkan akulturasi dan asimilasi budaya antara orang Tionghoa dengan penduduk lokal Aru itu sendiri. Salah satu kemungkinan akulturasi budaya orang Tionghoa dengan orang Aru adalah "Kora-Kora" (belang/perahu). Kora-Kora disinyalir sebagai hasil pertukaran teknologi transportasi oleh orang Tionghoa kepada orang Maluku---termasuk orang Aru (Elifes T. Maspaitella, "Jejak Orang Tionghoa di Maluku"). Selain Kora-Kora, kemungkinan Gong juga adalah hasil dari pertukaran barang dari orang Tionghoa kepada orang Aru, yang hingga kini menjadi alat pembayaran (harta/mahar) dalam perkawinan adat orang Aru. Hasil akulturasi lainnya yakni seperti, penggunaan koin, piring tua,  dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun