Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Usul Saran mengatasi Akun Abal-Abalan

13 April 2015   23:06 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:08 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Saya tertarik pada salah satu artikel Kompasiana hari ini yang berjudul : "Gunakan BBM, Cara Oknum di Divisi Humas Mabes Polri untuk Sesatkan Publik". Secara pribadi, saya merasa setuju dengan pandangan penulis artikel tersebut yang melihat ketidaketisan lembaga sebesar Polri, dalam hal ini Divisi Humas, yang menggunakan media sosial dan BBM untuk menyerang lembaga negara lainnya, yaitu KPK. Terlepas dari benar tidaknya langkah lanjutan yang diambil yang diambil KPK untuk tetap memerkarakan Komjen Budi Gunawan, tetaplah tidak etis memovrokasi masyarakat luas dengan cara-cara atau kalimat sebagaimana tergambar dalam artikel tersebut. Namun saat ini, saya tidak hendak beradu argumen tentang etis tidaknya tindakan Divisi Humas tersebut, kalau memang benar lembaga tersebutlah yang menyebarkan isi pesan tersebut (yang terus terang saya sangsikan). Saya merasa lebih tertarik dan terdorong untuk menulis komentar singkat ini, setelah membaca kurang lebih sepuluh (10) komentator pertama dari artikel tersebut.

Ketertarikan saya pertama-tama karena komentar-komentar tersebut berbeda dengan ekspetasi saya saat membaca isi artikel. Awalnya saya mengira, sebagian besar komentator akan setuju dengan penulis artikel. Kalau ada yang tidak setuju, paling satu di antara sepuluh. Kenyataannya, bisa dikatakan 90 persen komentar awal tersebut tidak sependapat dengan si penulis artikel, yang menurut saya telah menyuarakan pandangan mayoritas publik rakyat Indonesia. Para komentator tersebut justru mendukung ketidaketisan cara berkomunikasi "Divisi Humas Mabes Polri" tersebut.

Rasa-rasanya ada yang salah di sini. Ataukah saya yang telah kehilangan akal sehat dan common sense, atau para komentator tersebut adalah komentator abal-abalan. Yang saya maksudkan dengan komentator abal-abalan adalah komentator yang baru membuat akun kemarin sore, dengan tujuan hanya untuk memborbardir suatu artikel tertentu demi mempengaruhi opini khayalak pembaca. Ciri paling kentara dari akun abal-abalan tersebut, adalah baru saja dibuat dan tidak ada artikel yang pernah ditulisnya. Tentu, tidak bisa dengan serta kita menggenalisir bahwa akun yang baru dibuat dan tidak membuat artikel apapun sebagai akun abal-abalan. Namun, ketika akun-akun yang baru dibuat dan tidak mempunyai artikel apapun di kolom profilnya tersebut bersama-sama menghiasi sebagian besar isi komentar dalam sebuah artikel, dan hampir secara berturut-turut, saya rasa cukup berdasar bila kita menyurigainya sebagai akun abal-abalan.

Ketika saya coba mengklik secara acak lima dari sepuluh komentator awal tersebut, sekedar membuktikan kecurigaan saya, dan ternyata betul: kesemuanya baru dibuat di tahun 2015 ini, dan tanpa artikel! Malas jadinya untuk membaca komentar-komentar selanjutnya, sebab toh pasti juga telah dibombardir para komentator abal-abalan. Para komentator abal-abal ini kalau bukan hanya satu orang dengan banyak akun, maka mereka adalah banyak orang yang telah dikoordinir secara khusus.

Sayang rasanya bilanya Kompasiana tercinta semakin banyak diisi dengan serbuan komentator  dari akun abal-abalan. Pandangan-pandangan bernas dari para Kompasianers tercinta akhirnya menjadi terpinggirkan oleh komentar-komentar sampah yang kehilangan daya kritis dan common sense. Ujung-ujungnya, Kompasiana sulit lagi tampil sebagai media yang informatif edukatif yang mencerahkan, tetapi malah membodohi masyarakat. Tentu, kita semua, para penikmati Kompasiana, tidak ingin hal itu terjadi.

Fenomena akun abal-abalan tersebut bukan baru terjadi sekarang. Dan bukan eksklusif hanya terjadi di Kompasiana. Beberapa situs serupa mengalaminya juga. Namun, hendaknya fenomena ini tidak kita jadikan sebagai kelaziman dan kemudian tidak berupaya sama sekali untuk mengatasinya. Kompasiana akan semakin menjadi jurnalisme warga yang berprestise dan menjadi pilihan banyak orang ketika betul-betul diisi dengan artikel dan komentar yang bernas dan apa adanya. Kompasiana tetap akan menarik bila tidak menjadi alat politik sekelompok kecil orang untuk memborbardir dan memengaruhi massa dengan ide-ide konyolnya. Rasanya tidak menarik berargumen dengan sekian banyak orang, yang kita "tahu" sebenarnya hanya satu orang.

Berikut beberapa usul saran saya kepada para admin Kompasiana untuk membatasi para komentator di Kompasiana. Pertama, yang dapat membuat komentar hendaknya akun yang telah berumur tertentu. Tiga bulan misalnya. Atau hanya akun yang telah menghasilkan paling kurang tiga artikel yang dapat membuat komentar. Kedua, kompasianer hendaknya diberi tenggat waktu tertentu untuk memverifikasi data dirinya. Yang tidak berniat memverifikasi dirinya, agar akunnya dibekukan saja. Verifikasi user memang telah dilakukan oleh admin Kompasiana, namun sepertinya tidak ada tindak lanjut apa-apa, dan tidak ada pembedaan apa-apa dengan yang tidak memverifikasi akun selain ada tidaknya tanda centang. Ketiga, akun-akun yang terindikasi abal-abalan oleh admin hendaknya langsung dibekukan saja tanpa menunggu laporan dari pembaca Kompasiana. Saya kira admin dapat langsung mengetahui mana yang akun asli dan mana yang abal-abalan.

Sekian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun