Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sampai Kapan NTT Harus Terisolasi?

5 Februari 2014   13:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:08 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan berita baru lagi bagi rakyat NTT kelas miskin jika pada musim hujan yang disertai badai seperti sekarang ini transportasi laut akan macet total. Ferry kecil yang biasanya rutin melayani penumpang seminggu sekali dipastikan tidak berlayar, menunggu entah sampai kapan badai dan gelombang laut reda. Bisa dalam hitungan minggu, bahkan bulan. Pergerakan orang, barang, dan jasa antar pulau tentu saja terganggu, kalau tidak mau dikatakan macet total. Bisa saja menggunakan transportasi udara yang juga terbatas namun masih cukup rutin, tetapi itu sama saja dengan dengan mempercepat degradasi dari ekonomi kelas lemah lembut kepada ekonomi kelas ngos-ngosan.

Tentu rakyat ekonomi lemah NTT tidak bisa berbuat banyak. Rakyat mesti memaklumi berhentinya pelayaran akibat cuaca buruk, sebab toh keselamatannya yang menjadi taruhannya. Rakyat pasrah menerima kondisi ini sebab memang demikianlah kondisi ferry yang sebenarnya hanya cocok untuk melayani pelayaran selat dan sungai. Terlalu beresiko memaksakan ferry-ferry kecil tersebut menyeberangi laut sawu yang cukup ganas.

Keterbatasan perhubungan laut seperti ini bahkan sudah dianggap wajar, baik oleh rakyat maupun pemerintah NTT. Wajar karena cuaca ekstrem seperti sekarangsudah menjadi acara rutin tahunan.  Wajar karena antar pulau NTT hanya pantas dilayani ferry, bukannya kapal besar yang tahan dalam segala cuaca. Dan wajar juga karena seolah sudah menjadi takdir NTT untuk selalu menjadi yang terbelakang dan tertinggal. Berhadapan dengan dua kewajaran terakhir yang tidak wajar tersebut, tentu saja akan menjadikan NTT tetap yang terbelakang. Kalau memang kewajaran - kewajaran seperti ini yang ada dalam bawah sadar orang NTT, maka dengan berat hati penulis mesti menerima dan mengakui kebenaran jargon kepanjangan provinsi tercinta ini: Nasib Tidak Tentu, atau Nanti Tuhan Tolong.

Terus terang, sering timbul pertanyaan, rasa kurang mengerti dan kebingungan mengenai latar belakang rasa wajar rakyat dan pemerintah berhadapan dengan kondisi yang mengakibatkan keterisolasian ini. Seolah tidak ada pertanyaan kenapa perhubungan dan transportasi laut NTT amat bergantung pada cuaca, dan bagaimana jalan keluarnya. Apakah sikap wajar yang tidak wajar itu justru lahir dari keputusasaan, atau sebaliknya dari rasapuas? Putus asa karena mengharapkan keberadaan sebuah kapal besar yang khusus melayani NTT secara rutin dalam berbagai musim bak mengharapkan sebuah mujizat langit. Ataukah puas, karena toh masih ada pesawat dan kapal besar dari Jawa yang dua minggu sekali menyinggahi NTT.

Transportasi laut, yang sering terhambat cuaca dan keterbatasan kemampuan ferry, hanyalah merupakan satu contoh di antara dua keterbatasan moda transportasi lainnya, yaitu darat dan udara, yang menjadi penyebab utama keterisolasian NTT.  Keterisolasian merupakan penyakit utama yang menyebabkan ekonomi rakyat seperti penderita tbc manahun. Bagaimana perekonomian NTT dapat bertumbuh sehat kalau pergerakan atau arus orang,  barang, dan jasa sering terhambat dan tidak lancar?

Jelas keterisolasian NTT merupakan suatu ketidakwajaran. Tidak wajar karena keterisolasian NTT bukan terutama karena kesulitan alam yang tidak bisa diatasi seperti yang dihadapi di Papua, tetapi lebih karena ketidakpedulian pejabat pemerintah, baik di pusat maupun provinsi. Para pejabat lebih banyak menyibukkan dengan diri untuk menjaga dan mengejar kekuasaan.  Pelayanan kepada masyarakat lebih banyak bermuatan politis dan berkutat pada hal-hal rutinitas atau pelayanan administratif. Program pengembangan ekonomi rakyat (anggur merah) tidak diimbangi dengan program lain yang dapat memecahkan kebuntuan kelancaran keluar masuk komoditas unggulan masyarakat. Penulis sendiri juga tidak tahu apakah masih ada yang namanya Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal di Republik ini, sebab hampir tidak pernah terdengar program nyata kementerian tersebut di kabupaten penulis yang juga tergolong tertinggal. Rakyat lebih banyak berjilbaku dengan keterbatasan yang ada, hanya untuk bisa survive. Tidak ada mimpi, pikiran, apalagi ambisi dari para petani, pedagang, nelayan di NTT untuk menyaingi tingkat ekonomi rekan seprofesinya di tanah Jawa.

Mendekati tujuh puluh tahun Indonesia merdeka, NTT masih tetap terisolasi dan menikmati kue pembangunan transportasi yang begitu kecil. Ketika di pulau Jawa sedang direncanakan pembangunan Jembatan Selat Sunda dan pengadaan kereta api super cepat produksi Jepang yang menghubungkan Jakarta-Surabaya, warga NTT masih saja berwacana mengenai lancar tidaknya pelayaran ferry mingguan. Ketika Medan sudah bisa berbangga dengan Bandar Udara Kuala Namu yang berkelas internasional tersebut, Kupang masih cukup puas dengan Bandar Udara Eltari-nya yang hanya terdiri dari satu ruang tunggu keberangkatan. Ketika Bali boleh menyombongkan diri dengan jalan tol baru yang megah dan unik, NTT masih cukup senang dengan pembukaan dan pengerasan jalan ke beberapa kecamatan terpencil.

Data Bapenas menunjukkan bahwa Indeks PertumbuhanManusia (IPM) NTT Tahun 2012 masih sangat rendah, jauh di bawah standar nasional dan berada di urutan tiga terbawah sebelum Papua dan NTB. Demikian pun indicator pembangunan yang diukur berdasarkan IPM, tingkat kemiskinan, pertumbuhan ekonomi,dan angka pengangguran, yang masih sangat rendah. (http://kupang.tribunnews.com/2014/01/24/ipm-ntt-tiga-terbawah-di-indonesia).

Bisa jadi rasa ketidakwajaran penulis terhadap keterisolasian NTT ini dianggap berlebihan. Anggapan tersebut biasanya muncul setelah membandingkan NTT dengan provinsi di Indonesia Timur lain seperti NTB, Papua, dan Maluku. Seolah ada kebanggaan bahwa bagaiamanapun miskin, terisolasi dan terbelakangnya NTT, (mungkin) masih lebih terisolasi ketiga provinsi tersebut. Tidak berada di nomor buntut, sudah merupakan prestasi besar bagi provinsi ini.

Sebenarnya kalau tetap mati-matian memaksakan untuk hanya membandingkan dengan NTB, Papua, dan Maluku, penulis juga mesti jujur mengatakan masih banyak aspek di NTT yang kalah dengan ketiga provinsi tersebut. Setidaknya, masyarakat di daerah-daerah tersebut memiliki kesadaran dan ketidaknyamanan atas ketertinggalannya. Isu ketertinggalan selalu dijadikan alasan untuk terus ngotot meminta kue pembangunan yang lebih besar kepada pemerintah pusat. Papua sudah sedikit berhasil dengan memperoleh otonomi khusus. Demikianpun dengan NTB, yang industri pariwisatanya memperlihatkan geliat menakjubkan. Sementara pemerintah dan masyarakat NTT masih belum juga menunjukkan tanda-tanda kegenitannya.

Tentu sayang kalau rakyat dan pemerintah provinsi NTT tetap berpuas diri dengan 'prestasinya' ini dan merasa rendah diri untuk bersaing dengan provinsi lain di Indonesia Barat. Sayang,  bila hanya merasa wajar dibandingkan dengan provinsi - provinsi terbelakang lain. Dan sayang juga, bila pemimpin wilayah hanya lebih sibuk dengan pelayanan rutin birokrasi dan kepentingan politis sesaat.

NTT masih belum punya blueprint pembangunan yang jelas, terarah, dan transformatif,  baik untuk jangka menegah maupun panjang. Ganti pemimpin, ganti program. Yang lama selalu dilihat sebagai yang usang dan tidak perlu dilanjutkan. Keberhasilan pemimpin dinilai berdasarkan banyaknya program yang ditelurkan, bukan terutama pada eksekusi dan pengawasan program di lapangan. Keterserapan anggaran dijadikan tolok ukur, meski pemanfaatannya tidak jelas dan asal-asalan. Keterisolasian bisa jadi merupakan dewa penolong untuk lepas dari pantauan institusi pengawasan pusat dan incaran LSM yang anti KKN.

Semoga saja di tahun politik ini, dan tahun-tahun ke depan, terpilih pemimpin negara dan pemimpin provinsi yang cukup 'gila', revolusioner,  dan punya hati untuk membongkar keterisolasian NTT

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun