Konsep kesempurnaan Allah yang terdapat dalam agama, terutama agama-agama abrahamik, seringdigambarkan dengan melekatkan predikat-predikat ke-maha-an. Kemahaan Allah tersebut mau menunjukkan Allah adalah suatu ada, Zat, yang telah penuh dalam dirinya sendiri. Allah tidak membutuhkan sesuatu yang berada di luar dirinya dalam mencapai kesempurnaanNya. Ia lengkap, utuh, tidak bergantung pada yang lain. Ia mengatasi dan melampaui ruang dan waktu, ada sejak keabadian, kekal. Ada distingsi yang jelas antara pencipta dan ciptaan. Pencipta tidak membutuhkan ciptaan, sementara ciptaan sangat bergantung kepada penciptaNya. Pandangan konvensional tersebut juga mengartikan Allah sebagai penguasa takdir, penentu terjadinya segala sesuatu. Bahwa tidak ada segala sesuatu yang terjadi di luar kehendaknya. Segala sesuatu yang berproses terjadi atas ijinnya. Aspek transendensi Allah jauh lebih ditekankan daripada aspek imanensinya.
Memahami Allah dalam kesempurnaanNya tersebutbisa jadi merupakan sesuatu yang dilematis, sebab penggambaran tersebut menggunakan bahasa dan konsepsi berpikir manusia yang terbatas. Penggunaan satu bahasa (baca: cara berpikir) untuk menggambarkan Allah selalu tidak lengkap, dan menimbulkan celah bagi pertanyaan baru bila ditinjau menggunakan bahasa atau cara berpikir yang berbeda. Sebagai contoh, penggambaran Allah secara konvensional sebagaimana digambarkan dalam alinea pembuka di atas, akan mudah menjerumuskan kita untuk menggambarkannya sebagai sesuatu yang statis dan tertutup. Allah juga dapat menjadi penguasa yang sewenang-wenang yang senantiasa menuntut sembah dari ciptaanNya. Allah juga akan mudah dicap sebagai yang tidak adil terutama ketika manusia mengalami penderitaan dan kemalangan. Konsep yang demikian bisa jadi membuat manusia terjebak dalam kebingungan teologis sebagaimana terungkap dalam pernyataan Epikurus (341-270 SM): “…Atau Tuhan mau menghapuskan keburukan, tetapi tidak mampu; atau sebenarnya ia mampu, tetapi tidak mau; atau ia tidak mampu dan tidak mau. Jikalau ia mau, tetapi tidak mampu, ia lemah…. Jikalau ia mampu, tetapi tidak mau, dia jahat…. Tetapi, jikalau Tuhan mampu dan mau menghapuskan kejahatan, … lantas bagaimana kejahatan ada di dunia?” (dalam Lee Strobel, The Case for Faith, Zondervan, 2000:25)
Terhadap situasi dilematis ini, mungkin kita bisa sedikit bisa menghibur diri dengan mengatakan bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah misteri yang tidak mampu dipahami oleh manusia pada saat sekarang ini. Atau, bahwa setiap keburukan dan kemalangan senantiasa memiliki makna dan maksud bagi perbaikan dan kebaikan manusia itu sendiri. Atau juga, bahwa semuanya itu adalah ujian iman dari Allah; mereka yang berhasil mempertahankan imannya di tengah cobaan akan mendapatkan ganjarannya berupa surga. Bagi sebagian orang kata-kata ini bisa jadi sudah cukup memuaskan dan dapat menggeser kuriositas Epikurus di atas. Namun, bagi kebanyakan manusia modern, penjelasan seperti ini dapat dianggap sebagai pelarian semata. Konsep kemahakuasaan dan kekuasaan Allah yang koersif, ditambah lagi dengan penjelasan tentang keburukan manusia yang dianggap sebagai bentuk pelarian ini bisa jadi merupakan alasan kemerosotan agama. Beberapa pemikir atheis seperti JP Sartre bahkan berpendapat manusia baru benar bebas ketika mampu menghapus atau ‘membunuh’ Allah dari pikirannya; ketika tidak ada lagi figure yang mengawasi gerak-geriknya.
Penggambaran tentang Allah, karenanya, mesti menggunakan cara baca (berpikir) yang tidak kaku dan konstan. Salah satu cara baca untuk memahami konsep ke-Allah-an adalah sebagaimana yang ditawarkan dalam Filsafat Proses yang dikembangkan Alfred North Whitehead (1861-1947) dan Charles Hartshorne (1897-2000). Whitehead tidak mencoba mencari figur Allah sebagaimana yang diwahyukan dalam agama-agama, tetapi keAllahan yang hadir dalam proses berfilsafat. Untuk lebih memahami cara baca filsafat proses tentang ke-Allahan, perlu digambarkan dahulu secara garis besar intisari Filsafat Proses Whitehead.
Metafisika Whitehead melihat apa saja yang ada, termasuk Allah, sebagai satuan-satuan aktual (actual entities). Satuan aktual di sini dipahami sebagai peristiwa pengalaman, suatu proses organis yang aktif dan bergiat mewujudkan dirinya berbekalkan masa lalu yang secara objektif diwarisinya. Satuan aktual itu sendiri tidak dimengerti sebagai benda. Satuan aktual merupakan kejadian atau peristiwa (event), dan rentetan kejadian dalam sebuah kumpulan akan menjadi benda. Satuan aktual hadir oleh apa yang disebut Whitehead sebagai kreativitas (creatifity). Kreativitas bukanlah sebuah entitas atau pengada, melainkan sebuah prinsip universal dari kegiatan mencipta. Kreativitaslah yang memungkinkan hadirnya satuan-satuan aktual. Sebagaimana dikatakan sebelumnya, Allah sendiri juga adalah satuan aktual. Namun, berbeda dengan satuan aktual lain, Allah merupakan perwujudan pertama dari kreativitas, sekaligus menjadi dasar yang pertama kali memberikan datum (informasi) bagi terwujudnya satuan aktual lain. Lalu bagaiamanakah hubungan antar satuan dan apa yang memberikan identitas bagi setiap satuan aktual?
Setiap satuan aktual saling berhubungan dengan satuan aktual lain dalam kegiatan prehensi-memprehensi. Prehensi (prehension) berasal dari kata latin prehendere, berarti mengambil, memegang, mencengkam, menangkap. Setiap satuan aktual senantiasa memprehensi datum atau informasi dari satuan aktual (peristiwa), dan juga dapat diprehensi datumnya oleh satuan aktual lain. Ini tidak berarti semua datum yang dimiliki oleh sebuah satuan aktual dicerap seluruhnya oleh satuan aktual lain. Satuan aktual senantiasa mencerap informasi atau unsur-unsur positif (prehensi positif) dan membuang unsur-unsur negative (prehensi negatif) dalam perjalanan perwujudan diri sesuai dengan cita-cita dirinya (subjective aim). Cita-cita diri setiap satuan aktual tersebut diperoleh melalui pencerapan (prehensi) konseptual yang diperoleh dari Allah. Cita-cita diri akan menjadi pembimbing dan penentu bagi subyek dalam proses pemenuhan diri melalui relasi yang ditentukannya sendiri (berprehensi) dengan satuan-satuan aktual lain. Satuan aktual yang telah berhasil mengalami pemenuhan diri akan memiliki identitas (individualitas/personalitas) dan jati diri.
Dengan demikian terlihat bahwa yang menjadi kata kunci bagi Filsafat Proses adalah perubahan, menjadi, relasi. Segala yang ada sedang berada dalam proses perubahan, sedang menjadi, sedang berjalan menuju pemenuhan diri.
Allah dalam Filsafat Proses
Untuk lebih menjelaskan Allah sebagai satuan aktual yang berbeda dari satuan aktual lain, Whitehead menyebutkan dua hakikat Allah: hakikat awali dan hakikat akhiri. Dalam metafisikanya, jelas terlihat bahwa Whitehead tidak menafikan Allah sebagai sumber dari segala sesuatu sebagaimana dogma teologis agama (abrahamik). Dalam hakikat awali, Allah hadir sebagai pencipta, sumber dari segala yang ada. Ia ada sejak keabadian, kekal, dan keberadaanNya tidak bergantung pada yang lain. Allah merupakan pencipta bagi segala sesuatu. Namun, penciptaan dalam filsafat proses bukanlah sesuatu yang ex nihilo, penghadiran dari ketiadaan, sebagaimana yang diungkapkan Thomas Aquinas. Allah menjadi pencipta karena Ia menjadi sumber pencerapan (prehensi) konseptual bagi setiap satuan aktual dalam mewujudkan diri. Allah juga bukanlah pencipta tunggal, sebab setiap yang ada juga memberikan sumbangan bagi terjadinya sesuatu. Segala yang ada adalah juga sebagai co-creator. Keberadaan mengandaikan daya penciptaan, to be is to create, demikian ungkap Hartshorne. Adanya sesuatu, entah itu mahluk hidup atau benda mati memiliki daya cipta yang dapat mempengaruhi terbentuknya sesuatu yang lain.
Dalam hakikat akhirinya, Allah juga sama seperti ada-ada (satuan aktual) yang lainnya. Allah juga sedang berproses dan mengalami perubahan sebagai akibat relasinya dengan ciptaannya. Dengan demikian, Whitehead coba menghapus distingsi yang tegas antara Pencipta dan ciptaan. Betul bahwa Allah menciptakan dunia, namun dunia juga sedang mencipta (membentuk) Allah. Kesempurnaan Allah bukanlah sesuatu yang ada sejak keabadian, tetapi terletak dalam kemampuannya berproses dan menampung setiap sumbangan dari segala yang ada. Allah adalah pengada yang tunduk kepada hasil ciptaannya sendiri. Dalam hakikat akhirinya, ia seolah terlibat dalam ruang dan waktu serta berproses di dalamnya. Allah bukanlah aktualitas murni (actus purus) yang bebas dari kemungkinan dan potensialitas. Analogi sederhananya, Allah bagaikan ahli hukum yang membuat hukum dan kemudian tunduk kepada hukum tersebut.
Konsekuensi
Konsepsi Allah dalam filsafat proses melahirkan beberapa konsekuensi berkaitan dengan kemahakuasaan Allah. Pertama, Allah bukanlah Allah yang Maha Tahu, yang sudah mengetahui dan menentukan apa yang akan terjadi di masa depan. Segala sesuatu yang terjadi dalam universum merupakan hasil relasi antar segala yang ada. Bagaimana setiap yang ada mengambil sumbangan, informasi (datum) dari lingkungan di sekitarnya, dan bagaimana yang ada tersebut mampu memberikan sumbangan bagi lingkungannya, itulah yang menentukan apa yang akan terjadi.
Konsekuensi ini mungkin ada kaitannya dengan takdir. Bahwa segala yang terjadi pada diri kita merupakan hasil dari relasi kita dengan lingkungan dan bagaimana kita mengambil manfaat dari relasi tersebut. Lingkungan tidak saja menawarkan sesuatu yang baik dan positif, tetapi juga mengandung yang negatif. Keteguhan dan kesetiaan untuk berpegang pada subjective aim, cita-cita diri, kebaikan yang berasal dari Allah, akan memungkinkan kita untuk senantiasa mencerap (memprehensi) hal-hal positif dan membuang hal-hal yang negatif. Dengan demikian, takdir bukan lagi suatu harga mati pada setiap mahluk yang sudah ditentukan sejak keabadian. Senantiasa terbuka kemungkinan bagi setiap yang ada untuk mengaktualisasi diri dalam pelbagai kemungkinan. Singkatnya, setiap yang ada bertanggungjawab atas nasibnya sendiri. Karena itu, mengambinghitamkan setiap kemalangan diri sendiri pada Allah atau sesuatu yang lain, menjadi tidak tepat menurut kamus filsafat proses. Tidak ada yang tahu tentang nasib kita ke depan.
Konsekuensi kedua, menyangkut kebaikan Allah. Filsasfat Proses berhasil keluar diri dari jebakan pertanyaan teologis Epikurus tentang kemahakuasaan dan kebaikan Allah. Apakah betul Allah tidak baik dengan membiarkan kejahatan terjadi di dunia. Sebelumnya, kebingungan Epikurus tersebut telah coba dijawab Thomas Aquinas dengan mengartikan kata mencintai. Menurut Thomas, mencintai berarti menghendaki sesuatu yang baik bagi pribadi yang dicintai. Cinta Allah tidak pertama-tama ditunjukkan dengan menghalau setiap kemalangan atau keburukan di dunia, tetapi dengan menghendaki kebaikan bagi segenap ciptaan-Nya. Filsafat Proses coba memberikan arti yang lebih luas dari cinta dan kebaikan Allah. Mencintai diidentikkan dengan keterlibatan, solidaritas, sensitivitas Allah terhadap setiap pengalaman hidup manusia. Ia adalah Allah yang menampung setiap sukacita ataupun kemalangan manusia. Dalam kata-kata Whitehead sendiri, Allah adalah “the great companion—the fellow-sufferer who understands” (Whitehead 1978, 351). Atau, menurut Hartshorne, Allah itu “infinitely subtle and appropriate sensitivity, rejoices in all our joys and sorrows in all our sorrows” (Hartshorne 1948, 54).
Konsepsi keAllahan dalam Filsafat Proses tidak serta merta bermaksud mengganggu kemapanan dogma agama atau mendirikan sebuah agama baru, tetapi lebih pada upaya untuk membaca dogma tentang Allah dalam perspektif baru. Kemahakuasaan Allah tidak sedang diruntuhkan, tetapi coba diberi interpretasi baru sembari menjawab persoalan dan kebingungan yang mungkin timbul akibat status quo cara baca konvensional. Transendensi Allah, Allah yang akbar dan jauh, diimbangi dengan konsepsi Allah yang imanen, Allah akrab, yang senantiasa hadir dan bergelut bersama manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya. Whitehead sendiri melihat kekakuan penafsiran dogma, dan penekanan yang berlebihan pada aspek transendensi Allah sebagai salah satu penyebab kemerosotan agama di jaman modern ini.
Tentu, mesti disadari bahwa cara baca Filsafat Proses tentang Allah bukanlah satu-satunya cara baca dan yang paling sempurna. Tetap juga ada kelemahan, dan masih pula dibutuhkan cara baca lain yang dapat memperkaya perspektif kita dalam memahami kemahakuasaan dan kebaikan Allah. Mengikuti alur berpikir metafisika Filsafat Proses, kita tidak perlu mengambil atau mencerap segala sesuatu yang ditawarkan oleh perspektif berpikir ini. Ada hal yang dapat kita ambil dan pelajari dan ada juga yang tidak perlu kita ikuti. Setiap manusia telah dibekali dengan subjective aim dan kemampuan berpikir untuk mencari, menemukan, dan memahami Allah secara benar.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H