"ah sudahlah...," begitu sering aku menghibur diri ketika ekspetasiku tidak sesuai realitas. memaksakan sesuatu yg di luar kontrol, pikirku, hanya akan berujung pada kekecewaan, atau lebih buruk lagi: depresi.Â
"Toh, semuanya hanya sementara dan akan berlalu. hidupku sendiri hanya sementara dan fana. apa gunamya memaksakan segala sesuatu sesuai kemauanku bila pada saatnya semuanya tak akan berbekas," sambungku lagi.Â
apalagi aku sering diingatkan akan salah satu esensi manusia sebagai hewan sosial yang selalu ada dan hidup bersama yg lain. memaksakan idealisme sendiri hanyalah bentuk pengingkaran terhadap esensi itu.Â
beberapa kali aku mulai menghindari debat yang lebih panjang. jika lawan bicara kelihatan begitu yakin dan percaya dengan pikirannya sendiri, biasanya aku lalu diam dan menyetujui saja pendapatnya itu. meski dalam pikiranku, aku tetap tidak setuju. lebih baik tetap menjaga relasi dan dianggap kalah debat daripada mempertontonkan ego yg mau menang sendiri.Â
ah, sudahlah... biarlah keyakinan dan idealismeku kusimpan untuk diri sendiri. tidak perlu lagi memaksakan kebenaran versiku pada yg lain. sebab bisa saja aku pun salah dan tertipu oleh realitas yg terlihat terang dan jelas, clare et distancte.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H