Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Akhirnya, Selamat Jalan buat KPK

17 Februari 2015   02:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:04 644
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemelut penetapan tersangka atas Budi Gunawan seperti akan segera berakhir dengan dimenangkannya gugatan praperadilan oleh pemohon Budi Gunawan. Apa yang ditakuti banyak orang bahwa Hakim tunggal PN Jakarta Sarpin Rizaldi benar terbukti! Gugatan BG diterima, dan seluruh eksepsi KPK ditolak. Sprindik penetapan tersangka korupsi BG dinyatakan tidak sah. Konsekuensinya jelas, BG terbebas dari jerat hukum yang sudah terpasang di lehernya.

Soal kuat tidaknya dasarnya putusan Hakim Sarpin yang memenangkan BG tentu dapat diperdebatkan oleh banyak pakar hukum dan tata negara. Pembahasan tentang hal itu pada akhirnya hanya membuang energi yang tidak sedikit, yang tidak menghasilkan apa-apa juga. Toh palu hakim telah diketuk, suka tidak suka harus kita taati. Yang patut kita sesali dan bahkan tangisi bersama adalah bagaimana efek putusan tersebut terhadap pemeberantasan korupsi di Indonesia ke depan.

Bahwa setelah putusan kemenangan praperadilan  BG akan diikuti dengan banyak tindakan praperadilan sejenis dari para (tersangka) koruptor, tentu tidak dapat kita sangkal. Koruptor akan jauh lebih berani lagi, yang perlu dipersiapkan hanyalah pengacara handal yang cerdik mencari celah hukum untuk mempraperadilkan KPK begitu status tersangkanya keluar. Tidak perlu menunggu sampai harus ditahan, sebagaimana yang tertulis dalam KUHAP. Ternyata peluang untuk bebas dari jeratan korupsi amat mudah, tanpa harus sampai disidangkan dan dibuktikan segala di tingkat pengadilan Tipikor. Cukup dengan berbekal beberapa definisi kontroversial dalam undang-undang, sudah bisa menjadi bahan pertimbangan kuat bagi hakim praperadilan untuk membebaskan calon penghuni istana pordeo. Ternyata KPK dapat mudah dikalahkan bahkan sebelum pertandingan sesungguhnya dimulai.

Namun, efek perlawanan koruptor ke depan terhadap KPK tersebut belum seberapa jika dibandingkan dengan efek psikologis terhadap para komisioner dan penyidik KPK. Setelah putusan praperadilan ini, yang diperkuat sebelumnya dengan upaya kriminalisasi dan teror terhadap KPK, maka jangan harapkan lagi ke depan kita masih memiliki KPK yang mandiri, berwibawa, dan berani melawan koruptor dari kalangan manapun, apalagi dari kalangan korps baju cokelat. Jangan bermimpi lagi tentang Polri yang bersih, sebab bagi para anggota Polri, ego korps jauh lebih  layak diperjuangkan dibandingkan cita-cita Polri yang bersih. Kepercayaan diri KPK untuk melawan koruptor telah jatuh ke titik yang paling rendah. Sebaliknya, kepercayaan diri para koruptor meningkat tajam.

Ke depan, para koruptor yang tertangkap hanyalah para titipan dan korban permainan politik yang tidak punya pengaruh dan kekuasaan apa-apa. Para komisioner dan penyidik pun akan pilih-pilih kasus, yang aman-aman saja dan tidak akan membahayakan nasib mereka. Tidak ada jaminan sama sekali bagi mereka untuk tidak terjerumus dalam upaya kriminalisasi seperti sekarang. Hanya orang dungu yang secara sadar dan mau membahayakan diri dan keluarganya.

Yang membuat kebanyakan rakyat semakin kecewa adalah bahwa peristiwa pelemahan KPK ini justeru terjadi di jaman Presiden Joko Widodo. Euforia kemenangan memiliki seorang pemimpin yang sederhana, merakyat, dan bersih harus redup padam, sebab sama sekali tidak cukup untuk mewujudkan negara yang bersih. Padahal upaya pelemahan ini tidak perlu terjadi kalau kita memiliki presiden yang tegas dan berani mengambil keputusan sejak awal. Perhitungan politis dan tarik ulur yang kelewat lama, hanya semakin memperburuk keadaan. Alih-alih keluar dari kemelut ini dengan citra positif sebagai politisi handal dan bersih, yang terjadi malah terjebak dan terjepit dalam pilihan yang jauh lebih sulit dan dilematis. Bagaikan buah simalakama, dimakan ibu mati; tidak dimakan anak mati.

Pada akhirnya,  kita harus legowo untuk mengatakan bahwa jaman keemasan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah berakhir. Kita harus legowo mengucapkan provisiat kepada para (calon) koruptor: Selamat, Kalian Menang!

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun