Perubahan UUD 1945 mendorong terjadinya transisi ketatanegaraan Indonesia yang menyasar pada aspek-aspek fundamental negara,termasuk isu kewarganegaraan. Diskursus tampak dari segi materiil maupun formil pengaturan kewarganegaraan, serta adanya perkembangan pemahaman berlandaskan pada pendirian MK dalam sejumlah putusan MK.Â
MK adalah singkatan dari Mahkamah Konstitusi, yaitu lembaga negara yang berwenang mengadili perkara konstitusi. MK merupakan salah satu lembaga peradilan yang termasuk cabang kekuasaan yudikatif di Indonesia. Pembentukan MK melalui UU diamanatkan dalam pasal 24C ayat (6) UUD 1945 . Untuk melaksanakan pasal 24X ayat (6), pada tanggal 13 Agustus 2003 pemerintah mengundangkan UU no. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dalam kurun waktu yang terbilang singkat, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) resmi berdiri pada tanggal 15 Oktober 2003.Â
Konstitusi dan negara adalah dua jenis entitas yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena keduanya saling melengkapi. Dalam konteks demokrasi modern, konstitusi menjadi pondasi yang tak tergantikan dalam pembentukan negara. Dalam negara demokrasi, keputusan dan kebijakan yang dibuat harus dengan tujuan utama untuk mensejahterakan rakyat. Konsep kedaulatan rakyat adalah konsep yang menempatkan puncak kekuasaan di tangan warga negara dan harus ditetapkan sesuai Undang-undang Dasar. Putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi baru-baru ini telah menimbulkan berbagai macam pandangan yang bertentangan di kalangan masyarakat. Ketidak konsistenan dalam putusan tersebut memicu perdebatan dan kekhawatiran, terutama terkait dugaan bahwa keputusan itu mungkin dipengaruhi oleh faktor-faktor politik atau pribadi.Â
Perdebatan yang muncul menekankan betapa pentingnya keterbukaan, pertanggungjawaban, dan kemandirian dalam prosedur pengambilan keputusan hukum, terutama oleh lembaga-lembaga yang berfungsi vital di peradilan.Â
Pengaruh Putusan MK terhadap politik di Indonesia
Undang-undang Nomor 7 tahun 2007 tentang pemilihan umum, khususnya pasal 169 huruf q, merupakan hasil dari proses legislatif yang melibatkan kolaborasi antara pemerintah Indonesia dengan Dewan perwakilan rakyat. Dalam pasal tersebut, ditetapkan bahwa salah satu persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden adalah harus berusia minimal empat puluh tahun (Arif Sugitanata, 2003). Proses pembentukan undang-undang ini mencerminkan mekanisme demokratis di Indonesia, dimana peraturan-peraturan penting dibuat melalui musyawarah dan persetujuan antara eksekutif dan legislatif. Batasan usia ini memungkinkan untuk memastikan bahwa calon yang maju memiliki kematangan dan pengalaman yang cukup untuk memimpin negara.Â
Mahkamah konstitusi Indonesia telah menjelaskan meskipun undang-undang dasar 1945 tidak secara eksplisit mengatur batasan usia untuk calon presiden dan wakil presiden, hal ini tidak menghambat interpretasi yang lebih luas terkait syarat-syarat kelayakan untuk mencalonkan diri.Â
Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 dianggap telah berdampak negatif terhadap proses demokrasi di Indonesia. Keputusan ini memberikan kesempatan bagi pemimpin eksekutif untuk memanfaatkan popularitas mereka guna mendorong kebijakan yang potensial merusak demokrasi dan mengganggu.
Baru-baru ini yang sedang ramai diperbincangkan adalah putusan MK terkait Pilkada 2024 dengan perkara nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PUU-XXII/2024, hasil putusan tersebut berbunyi bahwa MK memutuskan untuk mengubah persyaratan pengusungan pasangan calon oleh partai politik. MK juga menolak permohonan pengujian ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah sebagaimana tercantum dalam perkara nomor 70/PUU-XXII/2024.
Keputusan tersebut tentunya berdampak yang signifikan bagi partai-partai politik, calon kepala daerah, Â serta masyarakat.Â
Putusan MK nomor 70/PUU-XXII/2024 mempertegas bahwa syarat usia calon kepala daerah harus dihitung pada saat penetapan pasangan calon. Hal ini memaksa KPU untuk mematuhi ketentuan ini dan memastikan bahwa hanya calon yang memenuhi persyaratan usia yang dapat didaftarkan.Â