Pers Sebagai Alat Propaganda Pemerintah pada Masa Orde Baru: Antara Kontrol, Kepatuhan dan Legitimasi Kekuasaan
Â
Pers merupakan lembaga untuk menyuarakan gagasan pikiran yang terangkum dalam sebuah tulisan. Oleh karenanya fungsi pers menjadi wadah penyaluran informasi untuk masyarakat. Bahkan kebijakan kebebasan pers juga diatur dalam UUD 1945 dalam pasal 28 F yang isinya memuat bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk memberikan opini pribadi serta lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah serta menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis media yang tersedia.
Namun lain halnya saat masa Orde Baru berkuasa di Indonesia. Pers yang semula berfungsi untuk menyampaikan informasi mengenai apa saja yang terjadi di negeri Indonesia ini berakhir menjadi alat kontrol pemerintah. Dalam artian apa yang dibawakan oleh media massa, kala itu berupa hasil racikan dari para penguasa demi menjaga stabilitas politik dan mempertahankan legitimasi kekuasaannya.Melalui kontrol ketat pemberitaan yang diberlakukan oleh pemerintah, hal ini tentunya akan membatasi kebebasan pers dan juga menghambat pers untuk menyampaikan pemberitaan untuk mengkritik hal-hal yang berkaitan dengan kejanggalan pemerintah pada masa itu.
Kebusukan pemerintah Orde Baru mulai terendus sejak dikeluarkannya undang-undang Pokok Pers Pasal 4 Nomor 11 Tahun 1966, yang didalamnya disebutkan bahwa Terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Namun seakan tong kosong nyaring bunyinya, isi undang-undang itu tidak dapat direalisasikan oleh pemerintah, nyatanya pemerintah malah membuat peraturan mengenai perizinan pers yang dimuat dalam Undang-undang No. 11 Tahun 1966 Pasal 20 ayat 1 yang berbunyi Untuk menerbitkan pers diperlukan Surat Izin Terbit.Terjadi pengembangan pers nasional dalam penyempurnaan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966, dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Pers Nomor 21 Tahun 1982 yang berisi pemberlakuan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), membuktikan adanya pembatasan kebebasan pers yang di kontrol oleh pemerintah.
SIUPP ini dapat sewaktu-waktu dicabut oleh pemerintah apabila media yang bersangkutan dianggap tidak sejalan lagi dengan kepentingan politik negara. Akibatnya banyak media yang memilih untuk mengikuti kemauan pemberitaan dari pemerintah agar terhindar dari resiko pencabutan izin. Selain ancaman dari SIUPP, terdapat juga sensor ketat yang diberlakukan untuk menciptakan media yang mendukung pemerintahan. Pemberitaan-pemberitaan yang condong ke arah sensitif mengenai pemerintah akan mendapatkan pembredelan oleh pemerintah, salah satu contohnya pemberitaan mengenai korupsi yang dilakukan oleh wakil presiden B.J Habibie tentang pemanipulasian pembelian kapal perang eks Jerman Timur yang diterbitkan oleh majalah Tempo pada Tahun 1994. Tidak hanya majalah Tempo yang mengalami pembredelan, terdapat Tabloid Delik dan Majalah Editor yang juga mengalami pembredelan pada tahun 1994.
Selain pembukaman dan kontrol ketat, pemerintah juga mengatur media seperti TVRI dan RRI untuk membangun narasi apik. Kedua media ini digunakan untuk menyebarkan informasi yang pro pemerintah terutama dalam pembangunan. Salah berita yang disiarkan berupa keberhasilan program-program seperti Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Dan pembangunan infrastruktur nasional, tanpa mengangkat isu-siu problematik seperti ketimpangan sosial atau ketidakadilan pemerintah
Citra Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan turut melibatkan media sebagai sarana legitimasi kekuasaan pada masa Orde Baru. Sedangkan hal-hal ataupun berita yang mengandung sisi lain dari kebijakan Soeharto, seperti salah satunya praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) berusaha dihilangkan dan diabaikan. Pada masa Orde Baru, pers juga wajib melaporkan program militer sebagai bagian dari strategi mempromosikan militer sebagai penjaga stabilitas negara. Narasi yang diciptakan mampu meningkatkan citra pemerintah.
Lantas apa dampaknya bagi pers? Dampak adanya semua kecurangan itu sangat dirasakan oleh pers, dimana pers kehilangan kritik terhadap pemerintah. Sistem pemerintah yang otoriter malah menciptakan kesemana-menaan terhadap Hak Asasi yang berlaku di negara demokrasi ini. Pelanggaran Hak Asasi manusia dapat dengan gampang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru kepada siapapun yang menentang kebijakannya, tidak terkecuali kepada para jurnalis. Tidak segan, para jurnalis yang tidak mematuhi peraturan yang dibuat akan mulai diancam dengan ditayangkannya surat ancaman, selain ancaman surat jurnalis-jurnalis juga kerap mendapatkan telepon dari pengendali pers,dan nyawa mereka akan terancam.
Selain dampak yang dirasakan oleh para jurnalis media pers, terdapat elemen yang luas yang merasakan dampak dari adanya propaganda ini yaitu masyarakat. Dengan adanya propaganda terus-terusan menciptakan distorsi informasi. Masyarakat menjadi tidak mampu melakukan kritis kepada berita yang diterimanya, dikarenakan berita-berita yang disalurkan telah disaring ketat dan penuh kemunafikan pemerintah. Masyarakat juga akan cenderung menjadi pasif terhadap kebijakan-kebijakan yang seharusnya tidak sesuai dengan norma kenegaraan.
Ketimpangan akses terhadap informasi juga menjadi salah satu dampaknya. Media dilarang memberikan ruang kepada kelompok oposisi atau pandangan alternatif. Bahkan, wacana reformasi politik yang berkembang secara global pada akhir 1980-an cenderung diabaikan oleh media arus utama di Indonesia, sehingga publik hanya mendapatkan gambaran yang terbatas mengenai realitas politik di luar negeri.
Meskipun demikian, masih terdapat sejumlah media independen yang berani melawan propaganda masa Orde Baru, seperti media mahasiswa yang menjadi alternatif menyampaikan informasi kritis yang disensor oleh pemerintah. Atas keberanian tersebut, mereka juga dihadapkan oleh resiko seperti penangkapan atau intimidasi karena menyebarkan informasi yang bertentangan dengan pemerintah.