Pernahkah kamu merasakan bosan atau jenuh yang sangat ketika justru sedang merasa produktif? Padahal, kamu selalu menganggap usaha untuk produktif sebagai hal positif yang akan sangat berguna sehingga harus dilakukan secara konsisten. Namun, meski telah istirahat dengan cukup dan makan teratur, kamu tetap merasa terbebani karena terus melakukan kegiatan yang sama berulang-ulang tanpa hasil yang benar-benar signifikan.
Hal-hal seperti ini tak hanya bisa terjadi pada kalangan pelajar atau mahasiswa, tetapi juga para pekerja hingga usia tertentu. Kita terlalu fokus mendambakan produktivitas tanpa benar-benar mengetahui, apa yang sebenarnya tengah difokuskan saat ini? Terlebih, di era pascapandemi, masih begitu banyak pekerja yang mengalami tingkat stres kerja tinggi ditambah fasilitas kesehatan mental yang belum memadai.
Secara mengerucut, American Psychological Association (APA) telah melakukan survey terkait tingkat stres para pekerja dewasa di Amerika Serikat (AS). Melalui survey "2021 Work and Well-being", Asosiasi Psikologi Amerika ini pun menemukan adanya 78 persen dari 1.501 pekerja mengalami stres yang berkaitan dengan pekerjaan. Tak cuma itu, tiga dari lima di antara mereka juga mengalami dampak negatif dari stres ini, seperti kehilangan minat, motivasi atau energi, hingga kurangnya usaha dalam bekerja.
Angka ini cukup tinggi untuk negara semaju AS. Lantas, bagaimana dengan Tanah Air kita? Survei dari Mercer Marsh Benefit (MMB) pada akhir 2021 lalu mengungkap, terdapat dua dari lima atau 37 persen karyawan Indonesia yang mengalami stres. Cukup rendah dibandingkan negara Asia lainnya, tetapi tetap perlu penanganan segera mengingat masih minimnya akses ke layanan kesehatan mental di daerah tertentu.Â
Tingkat stres meninggi dipengaruhi oleh status pandemi, ketika masyarakat tak terbiasa dengan sistem kerja work from home (WFH) atau bahkan pascapandemi kala kita lebih terbiasa bekerja dalam jumlah banyak dari rumah masing-masing. Inilah yang sering kali kita anggap sebagai "produktivitas".
Lantas, benarkah produktivitas dapat menjamin segala hal berjalan lancar, khususnya dalam mewujudkan mimpi dalam karier?
Psikolog Putu Rarasati bicara tentang pentingnya produktivitas dalam meraih mimpi. Uniknya, ternyata sikap produktif tak bisa diterapkan mentah-mentah, alias terdapat berbagai hal lain untuk membuat sikap ini berguna. Pasalnya, perlu dipahami bahwa seberapa penting pun produktivitas, ia bukanlah segalanya.
"Definisi produktifnya dulu, apa? Produktif yang kita maksud itu apa? Menurutku akan lebih bijak ketika saat kita produktif, itu tahu dulu, tujuan dari kita melakukan kegiatan itu apa?" tuturnya. Melalui wawancara daring pada Minggu (29/5), psikolog yang juga menjabat sebagai Medical Expert Manager di Komunitas Kesehatan Mental, Social Connect itu menekankan bahwa setiap bentuk produktif yang kita anggap benar haruslah memiliki kaitan dengan tujuan atau goals diri.
Menurut dia, sikap produktif perlu diberlakukan sesuai dengan kemampuan dan keahlian kita. Alasannya, manusia dianggapnya akan merasa lebih puas saat merasa lelah setelah melakukan berbagai kegiatan yang dirinya ketahui manfaatnya. Terkadang, hal mendasar inilah yang kerap terlupakan oleh generasi produktif karena terus berpikir bahwa mereka harus selalu sibuk dan melakukan berbagai hal. "Yang jadi kendala adalah ketika mulai muncul toxic productivity, di mana orang itu produktif bukan berdasarkan kualitasnya, tapi mengejar kuantitasnya," lanjutnya.
Ini kerap terjadi pada kaum muda yang memilih melakukan berbagai hal bukan karena membutuhkannya, melainkan sekadar tak rela tertinggal dari orang lain. "Itu akhirnya bikin capek," simpul Raras.