Sebagai orang yang lahir dan besar di Samarinda, mesti mencintai dengan tulus sepenuh hati kota kelahiran. Tapi aku yang sebenarnya berdarah jawa tulen ini tidak sama sekali cinta. Oke, mungkin karena aku bukan penduduk asli dan atau karena kurang piknik, sehingga mengakibatkanku seperti ini.Â
Namun, ada yang bikin sedikit bergembira dengan mengumpulkan foto-foto (yang-katanya-bisa-menjadi-aset-wisata). Baik aku ikuti kata hati untuk foto sana-sini di seputaran kota Samarinda. Ketimbang merengut dengan nggak ada apa-apa, lebih baik mencari-cari yang ada.Â
Waktu itu saya bertanya dengan salah seorang senior, "Kak kenapa Samarinda kok gini-gini aja? Nggak ada yang istimewa daripadanya." Kataku kepo.
"Memang begitu namanya juga banyak pendatang. Mereka ke sini sibuk mencari uang dan orang-orang pada sibuk bekerja, menjadi pengusaha dan agak mengabaikan yang namanya tempat rekreasi."
"Lho, setidaknya pemerintah kota dong yang turun tangan,Kak!"
"Ya maunya begitu, mau bagaimana lagi?"
"Seharusnya sebagai ibukota provinsi itu punya museum gitu lho, biar banyak yang makin cinta sama kota sendiri. Kayak saya ini kan sebenarnya dibilang pendatang juga nggak, dibilang penduduk asli juga bukan. Tidak bisa mencintai Samarinda sebagaimana mestinya."
"Ya mau nggak mau kita harus belajar mencintai,"
"Ah, bosen Kak! Nggak ada yang patut dicintai."
Setelah itu senior hanya membalas dengan senyuman.
Tidak berhenti sampai disitu , aku mencari jawaban. Aku juga bertanya sama beberapa teman backpacker yang kebetulan mereka pendatang. Dan harus tinggal di Samarinda dan sekitarnya. Sebut saja mereka Putu dan David.