Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dan berpenduduk terbesar keempat di dunia. Dari Sabang sampai Merauke, Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan agama. Berdasarkan rumpun bangsa (ras), Indonesia terdiri dari bangsa asli pribumi yakni Mongoloid Selatan/Austronesia dan Melanesia dimana bangsa Austronesia lebih banyak mendiami Indonesia bagian barat. Secara lebih spesifik, suku bangsa Jawa adalah suku bangsa terbesar dengan populasi mencapai 41,7% dari seluruh penduduk Indonesia. Tak heran moto yang dipakai oleh bangsa ini adalah “Bhinneka Tunggal Ika” yang diambil dari bahasa Jawa kuno berarti berbeda-beda tetapi tetap satu.
Moto ini seakan hilang belakangan ini karena banyaknya isu dan kasus berkaitan dengan agama dan ras. Seperti kasus yang terjadi saat kerusuhan Mei 1998 merupakan kasus mengenai SARA yang paling kejam. Awal mula permasalahannya adalah ketika para mahasiswa ingin menurunkan rezim kepemimpinan Soeharto, tapi pada akhirnya terjadi banyak kerusuhan yang didasari karena perbedaan etnis. Banyak orang pribumi menjarah dan merusak toko yang dimiliki oleh orang keturunan Tionghoa. Selain dirusak dan dijarah, banyak orang keturunan Tionghoa diperkosa dan dibunuh oleh orang Pribumi.
JIka terus menerus mementingkan ras atau agama kita sendiri, bagaimana Indonesia bisa maju? Mengapa kita tidak dapat menjunjung moto bangsa kita yaitu Bhinneka Tunggal Ika dengan menjunjung tinggi nilai-nilai pluralisme. Padahal Bapak Proklamator kita sendiri sudah memberikan suatu sarana untuk menjunjung pluralisme yaitu dengan membangun Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral berdekatan. Kita pasti mendambakan kekompakan antar agama seperti saling melindungi saat hari raya masing-masing.
Marilah kita semua saling menghargai orang lain meskipun berbeda agama ataupun berbeda suku dari kita. Hanya dengan melakukan ini lah Indonesia dapat maju dan dapat menjadi Negara yang lebih besar dari sekarang. Kami siswa SMA Kanisius telah menerapkan prinsip pluralisme melalui pertemanan yang tidak melihat suku dan saling menghormati hari raya masing-masing.
Kita sudah, Kalian Kapan?
Jakarta, 11 Februari 2017
Sevaldy Gozal
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H