Mohon tunggu...
irhayati harun
irhayati harun Mohon Tunggu... Freelancer - penulis lepas dan blogger yang senang traveling dan nonton film

ibu rumah tangga yang senang menulis cerpen dan browsing internet

Selanjutnya

Tutup

Money

Senandung Rendang

29 Juli 2010   08:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:29 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Aku masih berkutat di dapur. Mengolah sebuah resep yang cukup istimewa. Mempersiapkan bumbu yang lengkap mulai dari bawang merah, bawang putih, cabe merah, juga bumbu dapur lainnya. Resep turun temurun warisan keluargaku,yang masih hidup hingga kini. Dan menjadi andalan rumah makan padang milik keluarga besar kami.

Hawa panas dari api kompor yang menyala-nyala, membakar pantat wajan. Seolah-olah ikut membakar hatiku yang mendidih karena amarah tanpa bisa kupadamkan. Amarahku ini tak lain tertuju pada sebuah sosok yang selama ini begitu kucintai dan kuhormati.

“Abak benar-benar tak punya hati!” Sekali lagi kugaungkan nama itu ke udara yang penuh sesak oleh asap dan aroma bumbu yang menyengat hidungku, Entah untuk keberapa kalinya.

“Mengapa Abak begitu tega menyakiti hati Mande? Setelah begitu banyak pengorbanan yang Mande berikan selama mendampingi hidup Abak.” Aku pun semakin fokus dengan masakanku. Mencoba mendinginkan hatiku dari rasa muak dan benci ditengah hawa panas yang mengepungku.

Kuawali dengan menggiling semua bumbu dalam sebuah blender. Setelah itu memeras kelapa yang dicampur air dengan takaran yang tepat dengan sepenuh hati, agar menghasilkan santan yang pas kekentalannya. Sehingga mengeluarkan banyak dedak rendang yang nikmat. Namun tak senikmat hidupyang kini Mande jalani.

Dulu sewaktu Mande bersedia diajak menikah, Abak belum memiliki pekerjaan tetap alias masih kerja serabutan. Tapi Mande dengan hati yang luas seluas cintanya pada abak, rela hidup susah. Tak ada bulan madu bagaikan pengantin baru yang lainnya. Hidup juga masih menumpang dirumah mertua. Sementara penghasilan Abak tak pernah pasti. Kadang kalau lagi banyak objekan, uang yang Abak bawa pulang untuk Mande terbilang lumayan. Cukuplah untuk belanja dapur satu hari. Namun saat sepi, sepeserpun tak ada uang. Begitulah cerita yang kudengar dari Mande setelah beranjak remaja.

Kulanjutkan ritual memasakku dengan menumis bumbu yang sudah digiling halus tanpa perasaan. Tak ubahnya Abak, yang sampai hati menghancurkan hati Mande hingga hancur berkeping-keping. “Sreng…Sreng…Sreng…kugerak-gerakkan kesana kemari sendok penggorengan, agar bumbu masak merata. Bila sudah mengeluarkanaroma harum, berarti bumbu tumisan sudah matang. Menyusul masuknya daging yang sudah dipotong-potong dengan ukuran yang sama besarnya ke dalam wajan. Ritual terakhir menuangkan santan kental dan mengaduk-aduknya hingga menggelegak.

Gelembung-gelembung kecil yang bergolak dipermukaan santan, mengingatkanku akan gelembung-gelembung kemarahan yang disimpan rapat oleh Mande di dalam hati. Aku yakin, suatu saat golak kemarahan itusemakin besar gelegaknya. Dan Mande tak akan dapat menahan lagi, hingga suatu hari nanti akan menumpahkannya. Wanita mana sih yang ingin dimadu? Apalagi janji sang suami untuk bisa membagi perhatianhanya omong kosong belaka.

“Daripada Mande terus-menerus makan hati, lebih baik minta cerai saja pada Abak!” ungkapku penuh rasa sesal. Ketika kudapati Mande kembali menangis dikamarnya. Mungkin tangisan yang keseribu kali dalam hidup Mande, sejak Abak memutuskan untuk beristri lagi.

“Ngomong apa kamu Pik! Mande tak akan pernah minta cerai pada Abakmu. Ibarat rendang, sebuah keluarga haruslah lengkap. Tak boleh ada yang kurang. Haruskah keluarga kita kehilangan Abak untuk dikuasai oleh keluarga barunya? Sungguh! Mande tak akan rela kalau itu sampai terjadi.”

“Tapi, Abak sendiritelah menganggap Mande sebagai istri yang kurang sempurna. Tak sekomplit bumbu rendang yang selalu Mande katakan. Buktinya, hanya gara-gara Mande tidak bisa memiliki anak, Abak seenak hatinya saja menduakan Mande. Abak kurang puas karena hanya memiliki anak angkat seperti Upik,”jawabku dengan suara meninggi.

“Sudahlah Pik. Tak usah diperpanjang lagi.” Hanya itu yang mampu Mande ucapkan. Aku pun tak kuasa untuk berkata-kata lagi.

Mungkin Abak menganggap Mande adalah seorang istri yang kurang lengkap, karena tak mampu memberikan keturunan. Tapi dimataku, Mande sosok istri yang mendekati sempurna. Selain telaten mengurus keluarga, juga pintar memasak. Terutama rendang kesukaan Abak. Mande juga telah bertahun-tahun mengabdikan hidupnya pada Abak. Dengan selalu mendukung apapun yang dilakukan Abak. Dibalik kesuksesan rumah makan yang kini dipegang Abak sepenuhnya, andil Mande tak bisa dibilang remeh. Modal awal membuka usaha restoran Padang adalah hasil dari menjual perhiasan milik Mande, ditambah warisan dari keluarganya.

Sampai kapankah Mande mampu menahan rasa marah yang bergejolak? Akankah kesabaran itu ada batasnya? Mengingat Mande selalu menahan sabar bila Abak ingkar janji untuk pulang kerumah sesuai giliran. Ugh…aku lalu mengecilkan api kompor yang menjilat-jilat liar, agar daging tak cepat gosong. Hingga bumbu bisa meresap kedaging dengan sempurna.

Aku menata hidangan makan malam diatas meja dengan hati gelisah, karena sedari tadi tak kulihat Abak datang dari balik jendela. Bahkan bayangannya pun tak tampak.

“Mande...Upik sudah siapkan semuanya,” ucapku lembut sambil mengambil tempat duduk disamping Mande yang sedari tadi belum jua keluar dari kamar.

“Abak kau sudah pulang?”

“Belum Mande,” jawabku dengan berat hati.

“Kalau begitu, Upik makan saja dulu.”

“Tapi Mande, apa enaknya makan sendiri. Upik jadi kenyang,” jawabku sewot

“Ayolah Pik. Nanti kamu masuk angin.”

“Bagaimana dengan Mande?”

Mande hanya menjawab dengan senyum getirnya. Senyum yang menyiratkan keperihan hatinya. Aku pun segera hengkang dari kamar kedua orang tuaku, yang dulu masih terasa kehangatannya saat aku memasukinya. Tapi kini, suasana kamar Abak dan Mande seolah mati dari cahaya cinta dan kemesraan. Terpaksalah aku makan sendiri seperti malam-malam sebelumnya.

Bagi Mande, makan tanpa dihadiri oleh salah satu anggota keluarga terasa kurang lengkap. Apalagi orang itu Abak. Bertahun-tahun Mande tak pernah makan malam tanpa ditemani oleh Abak. Dimana semua aktifitas telah dituntaskan disiang hari. Maka tak ada alasan bagi anggota keluarga untuk absen makan malam bersama.

Akh..Mande…Tak selamanya hidup harus sekomplit yang Mande inginkan.Hidup tak bisa disamakan dengan bumbu masakan. Bila ada yang kurang, maka mempengaruhi semuanya. Contohnya dalam membuat rendang. Ada bumbu utama dan ada bumbu tambahan. Kalau bawang dan cabe merah tak ada, maka tak jadi bumbu yang diinginkan. Tapi semisal bumbu tambahan seperti daun salam, maka tak ada pun tak akan mempengaruhi rasanya, sebab hanya sebagai penambah harum masakan saja. Begitu pula dengan kelangsungan nasib keluarga kita.

Aku pikir, tanpa Abak pun hidup aku dan Mande tetap bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dari segi keuangan? aku bisa kok hidup mandiri dengan bekerja. Dan Mande juga punya keahlian memasak yang hebat seputar lauk padang. Hingga bisa membuka rumah makan sendiri tanpa bantuan siapapun. Disamping modal materi yang Mande miliki cukup memadai. Ditambah pengalaman Mande yang malang melintang mengurusi rumah makan keluarga.

Sejujurnya, aku tak pernah menginginkan Abak bercerai dari Mande. Tapi bila kehadiran Abak tak lagi berfungsi sebagai ayah dan suami yang baik, untuk apa dipertahankan?Namun,aku tak kuasa untuk menghapus begitu saja asumsi yang sudah melekat kuat di pikiran Mande. Asumsi bahwa hidup ini tak ubahnya daging rendang. Harus diramu dengan sempurna dan lengkap komposisinya. Padahal aku sendiri memandang hidup ini dengan cara sederhana.

Hari ini sepulang sekolah, aku kembali mendengar suara-suara miring itu. Suara yang membuat luka hati Mande semakin hari semakin meradang. Para tetangga mulai kasak kusuk tentang kepulangan Abak yang semakin jarang. Padahal dulu orang-orang sering melihat Abak dan Mande menunjukkan kemesraan mereka. Terutama saat Mande melepas Abak bekerja mengelola rumah makan dikota Padang. Kecup mesra dan sayang selalu singgah dikening Mande yang kini mulai keriput. Namun ritual romantis tersebut tak pernah lagi Abak lakukan. Sejak Abak lebih banyak menghabiskan waktu di rumah madunya. Benar-benar Kelewatan!

“Jangan-jangan sudah punya bini baru! Pasti lebih cantik dan muda dari si Zuraidah.” Kupingku begitu panas mendengar nama Mande kembali disebut-sebut. Meski aku berusaha agar gossip santer tersebut tak sampai ke kuping Mande. Namun mulut ibu-ibu penyebar gossip tersebut tak mudah untuk disumpal begitu saja. Lama lama akhirnya Mande tahu juga kalau perkawinan kedua Abak, menjadi pembicaraan hangat para ibu-ibu disekitar rumah kami.

Semakin teririslah luka dihati Mande. Mande pun mulai menderita insomnia. Dia tak bisa terlelap sebelum meminum obat tidur dari dokter. Aku begitu takut Mande menjadi tergantung dengan obat-obatan tersebut. Sampai akhirnya Mande sering bolak-balik ke psikiater dan didiagnosa mengalami depresi berat. Ketika Abak pulang, aku tak lagi bisa menahan diri untuk tak menceritakan keadaan Mande yang sebenarnya. Berharap Abak bisa mengerti dan mau lebih bersimpati pada keadaan psikis Mande. Yang begitu down dengan kelakuan Abak yang sudah berubah seratus delapan puluh derajat itu. Dari yang tadinya begitu perhatian dan memanjakan Mande, menjadi suami yang tak lagi perduli pada istrinya sendiri.

“Kita harus bicara Bak!” ucapku tegas, saat Mande sudah tertidur dikamar.

“Kayaknya penting sekali Pik! Tentang masalah apa?”

“Ini tentang Mande. Abak jangan pura-pura menutup mata dan telinga. Upik yakin, Abak sudah tahu tentang keadaan Mande yang sebenarnya. Sejak Abak menikah lagi, Mande mulai terlihat lebih murung dan suka menyendiri. Tidakkah abak kasihan melihat kondisi Mande sekarang? Yang mulai tergantung pada obat-obat penenang dari dokter.”

“Sudahlah Pik. Tak usah dibesar-besarkan.Mungkin Mande belum siap mental Abak menikah lagi. Lama-lama juga Mandemu bisa menerima. Hanya masalah waktu saja,” jawab Abak santai.

“Bagaimana mungkin Upik bisa tenang, kalau setiap hari Mande tak bisa tidur memikirkan Abak!” nada suaraku mulai meninggi. Stok kesabaranku habis mendengar jawaban Abak yang tak pernah kuharapkan itu.

“Abak benar-benar tak cinta lagi pada Mande. Inikah balasan Abak pada kesetiaan dan pengabdian Mande selama ini?”

“Tak pantas Upik berkata begitu pada Abak. Masih ingusan sudah berani menggurui orang tua!” jawab Abak tak kalah marahnya.

“Upik sudah dewasa Bak! sudah bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dan keputusan Abak untuk beristri dua adalah sebuah kesalahan! Apalagi Abak tak pernah bisa berbuat adil pada kedua istri Abak. Upik benar-benar kecewa Bak! ucapku sambil membanting pintu kamar sekeras-kerasnya. Tak dapat lagi kubendung emosiku yang sudah lama kutahan. Lalu mendaratkan kepalaku diatas bantal dan menumpahkan air mata kemarahan diatasnya.

Kini keluargaku tak lagi sekomplit dulu. Masing-masing merasa kurang lengkap dalam menjalani hidup. Abak! mengangggap mande tak lagi istri yang bisa melengkapi hidupnya hanya gara-gara Mande tak bisa memberikan Abak seorang anak. Mande juga sama, menganggap keputusan untuk berpisah dari Abak akan mengurangi kelengkapan hidupnya sebagai wanita dewasa. Dan aku sendirikini merasa tidaklah lengkap sebagai seorang anak. Sejak Abak tak lagi menyayangi dan memperhatikanku seperti dulu. Senandung rendang yang begitu memilukan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun