Mohon tunggu...
Dwi Setyowati
Dwi Setyowati Mohon Tunggu... -

Bersyukur itu bukan membatasi diri, melainkan berterimakasih pada Tuhan dengan mengoptimalkan segala potensi. Mari bersyukur...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kado Paling Menyeramkan di Hari Bahagia

2 November 2015   17:44 Diperbarui: 2 November 2015   17:44 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bedak dan foundationku luntur berantakan--ini lebih tragis dari insiden istri presiden Tiongkok yang salah make up. Aku dan segenap hati luntur jua di hari pelepasan masa lajang ini. Pecah seperti balon yang mendapat tekanan udara dari dalam. Kau!


Tak ada firasat apa-apa semalam. Aku bertekad memulai hidup baru. Melupakan kau dan segala masa lalu yang kuharap luruh terbawa angin musim kemarau. Puisimu telah menjadi abu. Cintaku tergantikan yang baru. Lihatlah aku menjelma jadi ratu yang katamu dulu tak tertandingi meski oleh Cleopatra sekalipun! Tapi kenapa? Kenapa kau datang hari ini? Hari yang menjadi pembatas garis finish sekaligus start-ku.


Kau datang tanpa pasangan. Padahal aku sering membayangkan bahwa kita akan saling pamer kebahagiaan—aku dengan pasanganku dan kau dengan pasanganmu. Impas bukan? Tapi kali ini sungguh kedatanganmu telah disusul aliran keringat dinginku. Dari ubun-ubun merambahi pipi yang mengkilat-kilat.


Awalnya kukira aku sedang berhalusinasi. Melihat langkahmu yang gontai memasuki gerbang pestaku. Kukerjapkan mata sekali lagi, meyakinkan bahwa kau nyata. Kau dengan sandal jepitmu, kaos oblong dan figura photo ukuran 10 R dalam dekapan. Kau terus melangkah maju, membuat degupan jantungku makin kuat.


Tuhan… Lututku seperti sudah tak sanggup menopang tubuh ini. Lihatlah, rambutmu yang kusut lebih cenderung gimbal. Wajahmu. Wajahmu yang dulu memancarkan cahaya neptunus, kini menjadi senja di musim hujan.


Pelan, Kau terus mendekat ke arah pelaminan. Sesekali kau tertawa sambil terus menimang-nimang figura. Kau menggumam tak jelas. Sekilas seperti sedang membacakan bait-bait puisi, lalu terdiam, kemudian tertawa. Remuk. Hatiku ingin berteriak agar semua orang segera menangkapmu, mengusirmu. Tapi mulutku terkunci. Hanya butiran air yang semburat dari sudut mataku. Beradu dengan keringat dingin di pipi. “Kau mau apa..?” bisiku lirih tanpa tenaga.


Tanpa kata, tanpa tatap mata. Kau serahkan figura yang kau dekap sedari tadi. Dengan senyum sumringah kau lalu berjalan memunggungiku. Menjauh dan terus menjauh... Tapi kali ini gumamanmu terdengar jelas bahkan lantang, “Aku ingin hidup besamamu seperti rerumputan liar yang kokoh menancapkan akar. Hujan, kemarau dan ribuan musim mungkin silih berganti, tapi kita akan terus menjalar…” Setelah sekian tahun, kau bacakan lagi puisi pertama yang kutulis untukmu itu. Kau tertawa membacanya berulang-ulang, lalu tersedu, dan kini menghilang.


Sekarang giliran aku terbengong-bengong. Tak bisa tertawa, tak mampu menangis. Pecahan kaca figura berserakan di kakiku. Ada foto sepasang kekasih lengkap dengan cap darah disana, aku dan kau.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun