Akhir -akhir ini sekolah di Indonesia disibukkan dengan model pembelajaran menggunakan sistem pendidikan model baru. Tepatnya sejak Menteri pendidikan dijabat oleh orang yang tidak memiliki basis pendidikan. Sehingga dalam filsafat, ini merupakan awal kegagalan dari sebuah konsep, yang darinya lahir sebuah gagasan kehidupan.
Jika kita mencermati perkembangan kurikulum pendidikan, kurikulum merdeka merupakan wujud kurikulum yang paling jauh dari tujuan awal pendidikan, yakni terwujudnya generasi bangsa yang cerdas dan berbudaya. Baik dari aspek kognitif maupun afektif.Â
Kurikulum Merdeka, diluncurkan pada tahun 2022, membawa angin segar dalam dunia pendidikan Indonesia. Mengusung semangat kemerdekaan belajar, kurikulum ini memberikan fleksibilitas dan otonomi yang lebih luas bagi sekolah dan guru dalam merancang pembelajaran.
Namun, di balik semangat merdeka belajar, terdapat beberapa dilema yang perlu dipertimbangkan:
1. Beban Kerja Guru:
- Merancang Pembelajaran: Kurikulum Merdeka memberikan keleluasaan bagi guru untuk menyusun modul ajarnya sendiri. Hal ini, di satu sisi, memberikan ruang kreativitas dan penyesuaian dengan kebutuhan murid. Namun, di sisi lain, dapat menambah beban kerja guru, terutama bagi mereka yang belum terbiasa dengan merancang pembelajaran secara mandiri.
- Asesmen: Kurikulum Merdeka menekankan asesmen yang berkelanjutan dan berbasis performa. Hal ini membutuhkan guru untuk memiliki keterampilan asesmen yang mumpuni, yang mungkin belum dimiliki semua guru.
2. Ketersediaan Sumber Daya:
- Modul Ajar: Ketersediaan modul ajar yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan murid masih menjadi kendala. Guru harus kreatif dalam mencari dan mengembangkan modul ajar yang tepat.
- Teknologi: Implementasi Kurikulum Merdeka membutuhkan dukungan teknologi yang memadai. Namun, infrastruktur teknologi di beberapa daerah masih belum memadai, sehingga menjadi kendala bagi sekolah dan guru.
3. Ketimpangan Mutu Pendidikan:
- Kesiapan Sekolah: Kesiapan sekolah dalam mengimplementasikan Kurikulum Merdeka bervariasi. Sekolah dengan sumber daya yang memadai, seperti guru yang terlatih dan infrastruktur yang mumpuni, mungkin lebih mudah beradaptasi. Namun, sekolah di daerah tertinggal mungkin menghadapi lebih banyak kendala.
- Akses Pendidikan: Kekhawatiran terdapat kesenjangan akses terhadap pendidikan berkualitas dengan diterapkannya Kurikulum Merdeka. Murid di sekolah dengan sumber daya terbatas mungkin tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.
4. Penilaian dan Evaluasi:
- Standar Penilaian: Belum jelasnya standar penilaian dan evaluasi dalam Kurikulum Merdeka dapat menimbulkan kebingungan bagi guru dan murid.
- Objektivitas Penilaian: Sistem penilaian yang menekankan asesmen berbasis performa perlu dirancang dengan cermat untuk memastikan objektivitas dan keadilan dalam penilaian.
5. Perubahan Budaya Sekolah:
- Mindset Guru: Kurikulum Merdeka menuntut perubahan mindset guru dari pengajar menjadi fasilitator belajar. Hal ini membutuhkan pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan bagi guru untuk dapat beradaptasi dengan peran baru mereka.
- Budaya Belajar Murid: Kurikulum Merdeka mendorong murid untuk belajar secara mandiri dan aktif. Hal ini membutuhkan perubahan budaya belajar murid yang terbiasa dengan pembelajaran tradisional yang berpusat pada guru.
Menyikapi Dilema: