Salah satu contoh yang mencuat baru-baru ini adalah kisah seorang anak perempuan bernama Yurika, yang menjadi viral di TikTok karena pengakuannya sebagai korban bullying di sekolah. Yurika adalah seorang siswi kelas 1 Sekolah Dasar (SD) yang setiap hari berjualan tisu untuk membantu orang tuanya. Video tentang Yurika menjadi viral setelah diunggah oleh akun TikTok @yoenik.apparel. Dalam video tersebut, Yurika menceritakan bagaimana ia sering dibully oleh teman-temannya di sekolah. "Aku di sekolah sering dibenci sama teman-teman dan di-bully," kata Yurika. Ia juga menambahkan bahwa teman-temannya sering mengejeknya dengan kata-kata kasar seperti "Yurika mah bau tai". Ejekan ini tidak hanya menyakiti perasaan Yurika tetapi juga menunjukkan betapa kejamnya perilaku bullying yang ia hadapi sehari-hari.
Meskipun Yurika telah melaporkan kejadian tersebut kepada gurunya, sayangnya laporannya tidak mendapatkan perhatian yang serius. Hal ini menunjukkan bahwa masalah bullying sering kali tidak ditangani dengan baik oleh pihak sekolah, yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi semua siswa. Kurangnya respons dari pihak sekolah menyoroti perlunya tindakan lebih tegas dan responsif dalam menangani kasus bullying untuk melindungi anak-anak dari dampak psikologis yang merusak. Viralitas video ini juga menyoroti pentingnya kesadaran masyarakat terhadap dampak bullying dan bagaimana media sosial dapat berperan dalam menyebarkan informasi serta mendukung korban.
Namun, ketika sebuah cerita menjadi viral, reaksi publik bisa sangat beragam. Di satu sisi, banyak orang yang menunjukkan simpati dan dukungan moral, yang dapat menguatkan korban dan meningkatkan kesadaran tentang isu bullying. Namun, di sisi lain, ada juga yang memanfaatkan situasi tragis tersebut untuk hiburan semata. Dalam kasus Yurika, beberapa pengguna TikTok dengan tidak bertanggung jawab membuat parodi dari kisahnya, menciptakan remix DJ, dan menggunakan cerita tersebut sebagai soundtrack untuk video mereka. Tindakan ini tidak hanya merendahkan pengalaman traumatis Yurika tetapi juga memperparah penderitaannya. Alih-alih memberikan dukungan, perilaku semacam ini menambah beban psikologis korban, menunjukkan kurangnya empati dan kesadaran sosial di kalangan pengguna media sosial.
Yang lebih mengkhawatirkan, tindakan tersebut mencerminkan sebuah budaya di mana kesedihan dan penderitaan orang lain dijadikan bahan hiburan. Fenomena ini tidak hanya memperburuk kondisi Yurika tetapi juga dapat menimbulkan ketakutan bagi korban-korban bullying lainnya untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Mereka mungkin takut bahwa cerita mereka juga akan dijadikan bahan olokan, yang pada akhirnya menghalangi mereka untuk mencari bantuan dan dukungan yang mereka butuhkan. Hal ini menciptakan lingkungan di mana korban bullying merasa semakin terisolasi dan tidak berdaya, sehingga memperkuat dampak negatif dari bullying itu sendiri.
Viralitas yang tidak terkendali dan kurangnya tanggung jawab dari pengguna media sosial dapat merusak tujuan positif dari penyebaran cerita seperti ini. Alih-alih membangun komunitas yang suportif dan penuh empati, perilaku tersebut malah mendorong budaya yang menikmati penderitaan orang lain.
Sebagai penutup, kisah Yurika dan fenomena bullying yang ia alami mengingatkan kita akan pentingnya peran setiap individu dalam menciptakan lingkungan yang aman dan penuh empati. Bullying tidak hanya meninggalkan luka psikologis yang mendalam tetapi juga dapat memperburuk kondisi korban melalui eksploitasi di media sosial. Respons yang tidak pantas dari publik, seperti menjadikan penderitaan korban sebagai bahan hiburan, hanya akan menambah beban psikologis dan menakut-nakuti korban lain untuk berbicara. Kasus Yurika menunjukkan bahwa dukungan moral dari masyarakat sangat penting, namun lebih dari itu, kita membutuhkan tindakan nyata dan sistematis untuk menangani bullying di sekolah-sekolah serta lingkungan sekitar.
Untuk menciptakan perubahan positif, semua pihak harus bekerja sama, sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk mengidentifikasi, menangani, dan mencegah bullying. Sekolah harus memperkuat kebijakan anti-bullying dan memberikan pelatihan kepada guru dan staf tentang cara menangani insiden bullying secara efektif. Keluarga harus mendukung anak-anak mereka dan menciptakan ruang di mana mereka merasa aman untuk berbicara tentang pengalaman mereka. Di era digital ini, kita juga harus menggunakan media sosial secara bijak, menyebarkan pesan dukungan, dan menghindari tindakan yang mengeksploitasi penderitaan orang lain. Dengan meningkatkan kesadaran dan empati, kita dapat membangun komunitas yang lebih suportif dan mengurangi dampak negatif bullying, sehingga setiap anak dapat merasa aman, dihargai, dan didukung dalam lingkungannya.
Referensi:
Amnda, V., Wulandari, S., Syah, S. N., Restari, Y. A., Atikah, S., dkk. (2020). Bentuk dan Dampak Perilaku Bullying terhadap Peserta Didik. Jurnal Kepemimpinan dan Pengurusan Sekolah. Vol 5, No 1, 19-32.
Copeland, W. E., Wolke, D., Angold, A., & Costello, E. J. (2013). Adult psychiatric outcomes of bullying and being bullied by peers in childhood and adolescence. JAMA Psychiatry, 70(4), 419-426. http://dx.doi.org/10.1001/jamapsychiatry.2013.504
Darmayanti, H. (2019). Bullying di Sekolah: Pengertian, Dampak, Pembagian dan Cara Menanggulanginya. Pedagogia, Vol 17, No 1, https://doi.org/10.17509/pdgia.v17i1.13980