Bullying kini menjadi istilah yang akrab di telinga masyarakat Indonesia. Berasal dari kata "bull" dalam bahasa Inggris, yang berarti banteng, bullying menggambarkan perilaku agresif yang menakut-nakuti dan menyerang pihak yang lebih lemah. Dalam bahasa Indonesia, kata "bully" merujuk pada penggertak atau orang yang suka mengganggu orang lain yang lebih lemah.
Menurut Ken Rigby, bullying adalah tindakan yang sengaja dilakukan untuk menyakiti orang lain, dilakukan oleh individu atau kelompok yang lebih kuat, dan dilakukan berulang kali dengan perasaan senang. Bullying mencakup kekerasan baik secara psikologis maupun fisik, di mana pelaku merasa memiliki kekuasaan dan kendali atas korbannya, sementara korban merasa tidak berdaya dan selalu terancam. Fenomena ini menciptakan dinamika kekuasaan yang merusak, di mana pelaku mempersepsikan diri sebagai pihak yang dominan dan superior, sedangkan korban merasa terintimidasi dan terbelenggu oleh rasa takut.
Dampak Bullying Secara Umum
Bullying dapat memiliki berbagai dampak yang serius dan berkepanjangan terhadap korban, baik dari segi psikologis, emosional, sosial, maupun akademis. Dampak ini dapat berlangsung jauh setelah perilaku bullying berhenti, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan korban.
Korban bullying sering kali mengalami berbagai gangguan psikologis dan emosional. Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics oleh Gini dan Pozzoli (2009), anak-anak yang dibully lebih rentan mengalami depresi, kecemasan, dan rendahnya harga diri. Mereka sering merasa tidak berharga dan takut, yang dapat menyebabkan gangguan kecemasan sosial. Selain itu, dampak emosional ini bisa berlanjut hingga dewasa, mempengaruhi kemampuan mereka untuk membentuk hubungan interpersonal yang sehat.
Secara sosial, korban bullying sering kali mengalami isolasi. Mereka mungkin merasa malu atau takut untuk berinteraksi dengan teman sebaya, yang dapat mengarah pada perasaan kesepian dan isolasi sosial. Studi yang diterbitkan oleh American Psychological Association menunjukkan bahwa anak-anak yang dibully cenderung memiliki kesulitan dalam membentuk dan menjaga hubungan pertemanan (Hawker & Boulton, 2000). Isolasi sosial ini dapat memperburuk perasaan depresi dan kecemasan, menciptakan lingkaran setan yang sulit untuk dihentikan.
Bullying juga berdampak negatif pada prestasi akademis korban. Mereka sering merasa tidak aman di lingkungan sekolah, yang dapat mengganggu konsentrasi dan motivasi mereka untuk belajar. Penelitian oleh Glew et al. (2005) dalam jurnal Journal of Pediatrics menemukan bahwa anak-anak yang menjadi korban bullying memiliki kecenderungan untuk prestasi akademis yang lebih rendah, lebih sering bolos sekolah, dan mengalami kesulitan belajar. Rasa takut dan stres yang dialami di sekolah dapat menyebabkan penurunan signifikan dalam kinerja akademis.
Selain dampak psikologis dan sosial, bullying juga dapat mempengaruhi kesehatan fisik korban. Stres yang berkepanjangan akibat bullying dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti sakit kepala, masalah pencernaan, dan gangguan tidur. Studi dalam Journal of Adolescent Health oleh Wolke dan Lereya (2015) menunjukkan bahwa korban bullying cenderung memiliki lebih banyak keluhan fisik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak dibully, yang menunjukkan adanya hubungan antara stres psikologis dan kesehatan fisik.
Dampak bullying tidak berhenti saat perilaku bullying berakhir. Banyak korban membawa luka psikologis dan emosional ini ke masa dewasa. Menurut penelitian dalam Journal of the American Medical Association (JAMA) Psychiatry oleh Copeland et al. (2013), orang dewasa yang pernah menjadi korban bullying di masa kanak-kanak memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami gangguan mental seperti depresi, kecemasan, dan bahkan pikiran untuk bunuh diri. Mereka juga cenderung memiliki kesulitan dalam mempertahankan pekerjaan dan hubungan interpersonal yang sehat.
Kisah Yurika