Hari Raya Idul Fitri atau lebaran identik dengan makan-makan. Berbagai jenis masakan enak dan lezat tersaji di hari yang spesial ini. Ketupat, opor ayam, rendang, sambal goreng ati adalah beberapa menu wajib tersaji saat lebaran.
Saya tidak ingat, atau tidak tahu secara pasti, kapan tradisi berpesta makanan tersebut mulai diberlakukan. Dari semenjak kecil, di pertengahan bulan ramadan, saya selalu melihat tayangan-tayangan berpesta makanan saat lebaran di televisi. Meski dalam tayangan itu diikuti juga dengan adegan kumpul keluarga dan sungkeman anak kepada orangtua.
Namun begitu, keluarga saya tidak mempunyai tradisi berpesta makanan seperti itu. Dalam keluarga saya, lebaran adalah momen berkumpulnya semua anggota keluarga untuk saling bermaafan. Ritual sungkem ibu kepada bapak, diikuti dengan anak tertua hingga si bungsu. Momen mendatangi tetangga dan keluarga jauh untuk mempererat tali kekeluargaan dan silaturahmi. Mendekatkan yang jauh, merekatkan yang dekat. Barulah disusul dengan momen makan bersama.
Menu yang disajikan ibu pun tak sama dengan yang diputar di televisi. Lebih jelasnya, makanan seperti ketupat dan opor ayam tidak ada dalam menu tersaji ketika lebaran. Setiap lebaran, kami terbiasa dengan menu lebaran ala ibu: soto ayam kuah bening dan pecel.
Di antara kami ada yang suka pecel, ada yang suka soto. Maka, ibu membuat dua menu tersebut tersaji di atas meja ketika lebaran. Dengan suwiran daging ayam kampung sembelihan ayah, atau adonan sambal pecel bikinan ibu, kami menikmati lebaran dengan penuh suka cita. Meski tak sama dengan tayangan di televisi, itu tak mengurangi secuil pun kebahagiaan kami, atas lebaran.
Selesai makan, biasanya kami ngemil jajanan yang sudah ditata rapi di atas meja. Tak ada nastar dan kastangel di toples. Kacang oleng (kacang bawang), kacang telur, keripik pisang kepok adalah camilan lebaran yang selalu dibuat oleh ibu. Kadang dari kacang simpanan panen kemarin. Pun pisang yang ditebas bapak dari kebon. Sayasih, kebagian mengocok telur, mengupas kacang dan pisang serta mencucinya. Setelah jadi, saya yang paling cepat menghabiskan keripiknya. Hahaha
Keluarga saya cukup sederhana. Maka, kami merayakan Idul Fitri dengan cara yang sederhana pula. Saya tak pernah melihat ibu atau bapak saya mengeluh harus beli ini dan itu untuk menyambut hari istimewa tersebut. Atau setidaknya menyamakan menu dengan tayangan di televisi. Dan kami, anak-anaknya, tak pernah meminta ataupun menggerutu atas hal itu. Hanya satu kebiasaan yang diadaptasi dan selalu dilakukan oleh ibu saya ketika lebaran, memakaikan baju baru untuk semua anggota keluarga.
Dengan berbekal mesin jahit tua dan keterampilan membuat pola, ibu saya membuat sendiri baju untuk kami anak-anaknya. Juga untuk bapak saya tentunya. Kalau pun membeli, hanyalah celana untuk bapak dan kakak/adik lelaki saya. Dan seringnya, ibu membuatkan baju lebaran kembar untuk saya dan adik perempuan saya, sama motif dan model. Kadang, sama motif beda model. Menghemat, kata ibu saya. Namun menginjak remaja atau SMP, saya menolak disamakan dengan adik saya. Mulai ada rasa risih ketika dibilang kembar. Kembar bajunya. Hehehe
Lebaran, kok Tidak Ada Ketupat?
Seiring kedewasaan kami, kebiasaan itu masih tetap ibu lakukan. Ibu tetap menyajikan ketupat ketika syawal, bukan saat lebaran. Yang membedakan, sekarang ibu membuat ketupat tergantung request kami anak-anaknya. Dikondisikan dengan waktu kami saat berkumpul bersama. Karena kami tak lagi serumah dengan orangtua. Setelah dewasa dan menikah, kami berpindah mengikuti suami/istri masing-masing. Ibu dan bapak di rumah di temani si bungsu. Jadi tidak pas di syawal hari ke-7, tapi bisa di antara syawal hari ke-3 sampai hari ke-7, tergantung kesepakatan bersama. Pernah suatu waktu, ketika mudik lebaran, saya yang menyesuaikan waktu dengan kupatan syawal di rumah.