Karena non tunai itu simple, kapanpun, di manapun. Foto: dailyworth.cdn.speedyrails.net
Oleh: Setyaningrum
Gerakan Nasional Non Tunai resmi dicanangkan oleh Gubernur Bank Indonesia, Agus D.W. Martowardojo, pada tanggal 14 Agustus 2014, bertepatan dengan bulan Kemerdekan Republik Indonesia. Pencanangan ini ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman atau MoU antara Bank Indonesia dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah DKI Jakarta serta Asosiasi Pemerintahan Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) sebagai komitmen untuk mendukung Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT).
Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan sarana pembayaran non tunai dalam melakukan transaksi kegiatan ekonomi, baik melalui debet card, kredit card maupun e-money.
Di dunia, transaksi non tunai didominasi oleh negara-negara maju seperti Perancis, Kanada, Inggris , dan Swedia. Saat ini Belgia menjadi negara dengan penduduk paling aktif melakukan transaksi non tunai.
Hingga saat ini, penggunaan transaksi pembayaran berbasis elektronik yang dilakukan masyarakat Indonesia relatif masih rendah, dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Persentase transaksi dengan uang tunai di Indonesia paling tinggi yakni sebesar 99,4%, Thailand dengan 97,2%, Malaysia dengan 92,3%, dan Singapura denga 55,5%.
Seperti yang dikatakan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Ronald Waas, dalam acara Tokoh Bicara Kompasiana dengan tema Saatnya Non Tunai pada Kamis, 11 Juni 2015, di Ruang Bioskop, Lantai 4, Gedung Thamrin, Bank Indonesia, Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta Pusat, bahwa sebagian masyarakat kita masih mendewakan uang. Kalau tidak memegang uang serasa tidak punya uang. Kalau tidak ada ada rupiah di dalam dompet serasa miskin.
Stigma itulah yang harus digerus habis di era sekarang ini. Dengan kita simpan uang tunai, otomatis peredaran uang di negeri ini tidak lancar. Selain itu, ancaman kriminalitas akan selalu ada selagi kita menyimpan uang tunai, karena rawan sekali dengan perampokan. Belum lagi sangat rawannya pemalsuan uang oleh oknum-oknum tak bertanggungjawab. Juga, potensi uang rusak di masyarakat sangat tinggi.
Kita sesungguhnya tahu bahwa uang tunai memiliki banyak kelemahan, antara lain, bagi pemerintahan membutuhkan biaya yang besar untuk pengelolaan uang rupiah (mulai dari perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, dan pemusnahan uang oleh BI). Dari sisi kita sebagai pengguna juga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bertransaksi, apalagi bila bertransaksi dalam jumlah kecil tapi menggunakan pecahan nominal yang besar. Ada waktu tunggu untuk uang kembalian dan human error seringkali terjadi disini.