[caption id="attachment_366985" align="aligncenter" width="538" caption="Foto: semastimra.wordpress.com"][/caption]
Oleh: Setyaningrum
Kota cerdas mulai muncul sudah puluhan tahun lalu. Digagas karena ada berbagai persoalan di kota mulai timbul ketika penduduknya semakin bertambah. Tahun 1950-an kota-kota di dunia, termasuk Indonesia, penduduknya masih 30-an persen dari seluruh total penduduk suatu daerah. Sekarang sudah 50 persen, sama dengan populasi penduduk di pedesaan. Pada tahun 2050 nanti di perkirakan naik menjadi 70 persen. Di pedesaan hanya akan tertinggal 30 persen.
Semakin banyak penduduk di suatu kota, sementara lahan semakin sempit, inilah yang kemudian memunculkan ide untuk mengatasi persoalan perkotaan tersebut. Tergagaslah konsep atau inisiatif kota cerdas. Demikianlah yang di katakan oleh Ignatius Kristanto Hadisaputro, Research Manager Devisi Penelitian dan Pengembangan Harian Kompas, salah satu pembicara pada acara Kompasiana Nangkring bersama Harian Kompas dan Perusahaan Gas Negara (PGN) tentang Kotaku Kota Cerdas! pada Sabtu, 25 April 2015, di Pisa Cafe Mahakam, Jakarta Selatan.
[caption id="attachment_366988" align="aligncenter" width="480" caption="Foto: koleksi pribadi"]
Acara Kompasiana Nangkring itu sendiri adalah bentuk kelanjutan dari apa yang telah digagas Harian Kompas dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dalam program Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015 (IKCI 2015) yang di luncurkan pada Selasa, 24 Maret 2015 di Cendrawasih Room, Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta.
Peluncuran Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015 tersebut dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan dihadiri oleh 98 walikota anggota Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI). Sejumlah menteri turut menghadiri antara lain: Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Apa sih kota cerdas itu? Menurut Ignatius Kristanto Hadisaputro, atau yang akrab dipanggil Mas Kris, sebuah kota dikatakan smart jika kota tersebut dapat mengetahui keadaan kotanya, termasuk kelebihan dan kekurangan yang ada didalamnya, memahami dan melakukan aksi terhadap permasalahan-permasalahannya sendiri secara cepat dan berkelanjutan.
Yang dimaksudkan adalah dimana pemerintah dan masyarakat secara aktif bersama-sama dalam mengatasi persoalan-persoalan yang ada dalam kota tersebut. Kalo di kota itu hanya pemerintah saja yang mengatasi permasalahan suatu kota sementara masyarakat di kota tersebut pasif, itu belum masuk kategori sebagai kota cerdas, imbuhnya.
[caption id="attachment_366989" align="aligncenter" width="602" caption="Ignatius Kristanto Hadisaputro, Research Manager Devisi Penelitian dan Pengembangan Harian Kompas ketika memaparkan tentang Indeks Kota Cerdas dalam Kompasiana Nangkring bersama Harian Kompas dan Perusahaan Gas Negara (PGN) tentang Kotaku Kota Cerdas! di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta. Foto: koleksi pribadi"]
Mas Kris juga menjelaskan bahwa sebuah kota dapat dikategorikan sebagai Kota Cerdas, bila kota tersebut cerdas secara ekonomi, cerdas secara sosial, dan cerdas pula secara lingkungan. Sebuah kota dikatakan Kota Cerdas secara ekonomi bila kota tersebut secara maksimal mampu memanfaatkan sumber daya atau potensi kota yang dipunyai sehingga roda perekonomian kota tersebut berjalan dengan lancar dan baik.
Sebuah kota dikatakan Kota Cerdas secara sosial, bila masyarakatnya memiliki kemudahan dan kenyamanan dalam mengakses layanan publik untuk berinteraksi dengan sesamanya maupun dengan pemerintahan terkait.
Adapun dari sisi lingkungan, sebuah Kota Cerdas jika kota tersebut sudah menjadi tempat yang layak huni bagi masyarakatnya, sehat, dan hemat dalam penggunaan energi serta pengelolaan energi.
Salah satu yang menjadi ukuran penentuan kota cerdas adalah partisipasi masyarakat dalam ikut serta mengatasi persoalan kotanya. Seberapa banyak atau seberapa sering warga suatu kota peduli terhadap kotanya. Aktifnya masyarakat ini bisa kita lihat dari banyak-sedikitnya komunitas yang terbentuk di suatu kota untuk mewadahi masyarakatnya untuk terus memantau perkembangan kotanya. Semakin banyak partisipasi masyarakat, semakin banyak komunitas terbentuk, semakin cerdas pula kota tersebut.
[caption id="attachment_366990" align="aligncenter" width="602" caption="Adi Munandir, Executive Officer Unit Manajemen Strategis PT PGN Tbk ketika menjelaskan tentang perbedaan Digital City dengan Smart City, juga tentang peran serta PGN dalam program Indeks Kota Cerdas 2015 di Pisa Kafe Mahakam, Jakarta. Foto: koleksi pribadi"]
Namun, kita selama ini relatif belum bisa membedakan Smart City atau Kota Cerdas dengan Digital City. Selama ini kita menganggap bahwa Digital City adalah Smart City. Executive Officer Unit Manajemen Strategis PT PGN Tbk, Adi Munandir, pada kesempatan itu menjelaskan perbedaan antara Smart City dan Digital City.
Menurut Adi Munandir, Digital city adalah tentang obtimasi, pemanfaatan infrastruktur/teknologi yang lebih baru sehingga membuat suatu pelayanan menjadi lebih baik. Digital City lebih fokus kepada aspek teknologinya saja. Digital City tidak secara otomatis juga disebut Smart City.
Masih menurut Adi, Smart City adalah suatu kota dikatakan cerdas kalau investasi di orangnya sama dengan infrastruktur untuk berkomunikasi baik secara tradisional maupun modern yang secara berkesinambungan mendorong pertumbuhan ekonomi. Di dalam konsep Smart City, ICT (Information and Communications Technology) hanya sebagai salah satu instrument. Terwujudnya Smart City juga tak lepas dari smart policy dari pemerintah daerah dan pusat.
[caption id="attachment_366991" align="aligncenter" width="384" caption="Acara Kompasiana Nangkring Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015 bersama Harian Kompas dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) di abadikan dalam satu halaman penuh oleh Harian Kompas edisi 28/04/2015 halaman 29, diambil dari epaper1.kompas.com. Foto: koleksi pribadi"]
Kepala Desk Nusantara Harian Kompas, Tri Agung Kristanto, mengatakan, Harian Kompas telah memulai pemberitaan ke-98 kota cerdas sejak 1 April 2015 dan masih akan berlanjut hingga 31 Juli 2015. Setiap hari kecuali hari Minggu dan Hari Libur Nasional, Harian Kompas menampilkan profil suatu kota dalam konteks kota cerdas. Tidak melulu kelebihan kota-kota tersebut, namun kelemahan dan kekurangan kota tersebut serta harapan ke depannya juga digambarkan secara gamblang.
Harian Kompas, dalam konteks ini Penelitian dan Pengembangan Harian Kompas/Litbang Kompas akan mengukur langsung bagamana tingkat tata kelola pemerintah setempat dalam hal ini Pemerintah Daerah, juga tingkat kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam mengatasi persoalan di kota tersebut. Juga tentang teknologi informasi dan komunikasi. Bagaimana pun juga, teknologi tetap diperlukan dalam mewujudkan Kota Cerdas.
Sebanyak 98 kota di Indonesia, 5 diantaranya adalah kota administratif yaitu: Jakarta utara, Jakarta barat, Jakarta pusat, Jakarta timur, dan Jakarta selatan. Menurut Mas Tra, panggilan akrab untuk Tri Agung Kristanto, bahwa penilaian ke-5 kota administratif ini tentunya berbeda dengan ke-93 kota umum lainnya.
Perangkingan ke 93 kota itu berdasarkan jumlah penduduk, dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: kota besar (dengan penduduk 800 ribu jiwa ke atas), kota sedang/menengah ( dengan penduduk 200 ribu hingga 1 juta jiwa), dan kota kecil (dengan penduduk kurang dari 200 ribu jiwa). Masing-masing kelompok akan terpilih 5 kota untuk masuk ke tahapan semifinal. Dari 15 peserta semifinal ini akan dipilih 3 kota yang mewakili masing-masing kelompok kota tadi, yang nantinya akan dijadikan contoh/role model untuk kota-kota lainnya, untuk menjadi kota cerdas.
“Indeks Kota Cerdas Indonesia 2015 ini adalah yang pertama kali diselenggarakan. Dan mudah-mudahan akan bisa menjadi agenda tahunan untuk selanjutnya. Juga, akan bisa diadakan pula untuk tingkat kabupaten. Mudah-mudahan” tutur Mas Tra.
Jakarta, 21 Mei 2015