[caption id="attachment_360069" align="alignnone" width="590" caption="Terapi obat dan dukungan dari keluarga, sahabat, dan tetangga amat diperlukan untuk kesembuhan ODHA. Foto: koleksi pribadi"][/caption]
Oleh: Setyaningrum
Minimnya sosialisasi tentang apa itu HIV (Human Immunodeficiency Virus), apa itu AIDS (Aquired Immune Deficiency Syndrome), membuat masyarakat masih memperlakukan ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dengan tidak manusiawi. Masyarakat masih menganggap bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kutukan. Tidak hanya tetangga, kerabat sendiri pun menolak ODHA. Mereka dikucilkan, diasingkan bahkan tak diakui lagi sebagai keluarga. Sungguh miris.
Kekurangpahaman masyarakat tentang HIV/AIDS juga tak lepas dari penggunaan bahasa. Kalangan masyarakat kita pada umumnya, agak susah mengerti dan memahami bahasa ilmiah meski itu terkait dengan sesuatu yang penting. Masyarakat kita tidak mengerti kalau kita tanya apa itu Aquired Immune Deficiency Syndrome? Atau, test Human Immunodeficiency Virus, yuk. Akan lebih mudah diterima kalau kita bilang, test HIV yuk.
“Bahasa punya peran penting dalampemahaman tentang penyakit ini. Makanya, kita usahakan sesederhana mungkin penggunaan bahasa dalam penyampaian materi kepada publik. Supaya mudah dimengerti dan dipahami. Agar publik tidak bertele-tele untuk tahu, apa sih HIV, apa sih AIDS” jelas Lola Lamanda, Business Development Manajer dari Limaplus Komunika, dalam diskusi tentang HIV/AIDS, di Kantor PKBI Jl. Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin 06/04/2015 lalu.
One Hug One Life
Dalam upaya menghapus stigma dan diskriminasi terhadap ODHA, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) bekerja sama dengan Limaplus Komunika menyelenggarakan acara Hugging Run 2015 dengan tema “Keluarga adalah Rumah Terbaik untuk ODHA”. Event ini merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional 29 Juni 2015. Rencananya akan diadakan serentak di tiga kota yaitu Jakarta (di Plaza Taman Parkir Timur Senayan), Bandung (di Gedung Sate), dan Denpasar (di Lapangan Renon), pada Sabtu-Minggu, 30-31 Mei 2015.
Seperti dituturkan oleh Devi Fitriana Anggraheni ( Public Relation PKBI), di Kantor PKBI Jl. Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Senin 06/04/2015 lalu, bahwa HIV/AIDS sudah begitu mewabah. Dari yang semula menyerang para pecandu narkoba, danpekerja seks, kini HIV/AIDS sudah mulai menyerang ibu rumah tangga. Semakin hari semakin bertambah banyak ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV-AIDS. Untuk itulah, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, yang didirikan pada tahun 1957 dan telah memiliki kantor daerah di 27 provinsi di Indonesia, menginisiasi acara ini.
“Diharapkan dengan bentuk kegiatan seperti ini masyarakat dapat lebih paham isu HIV/AIDS dan terutama bagi keluarga yang mempunyai anggota keluarga HIV+ tidak lagi melakukan stigma dan diskriminasi karena pada prinsipnya keluarga adalah rumah terbaik bagi ODHA” jelas Inang Winarso ( Direktur Eksekutif PKBI).
Dalam acara Hugging Run 2015 itu nantinya akan ada kegiatan seru seperti lomba futsal dan basket, test HIV gratis, talk show tentang HIV/AIDS, bazaar dan masih banyak lagi. Dan tentunya akan dimeriahkan oleh artis ibu kota. Akan ada pula Malam Renungan AIDS (MRAN), pada Sabtu malam.
Dalam kegiatan sosialisasi HIV-AIDS ini, PKBI sudah mewadahi sekitar 400 orang kader pendamping atau lebih dikenal dengan Kader PIKM, yang tersebar di 12 Provinsi di Indonesia, yang kebanyakan mereka adalah kader dari Posyandu maupun kader PKK. Jadi, para kader yang kebanyakan juga para ibu rumah tangga, mensosialisasikan dan mengajak para ibu rumah tangga lainnya untuk aware terhadap HIV/AIDS. Para kader PIKM ini, telah berhasil setidaknya mengajak 200 000 orang untuk ikut test HIV. Suatu capaian yang menggembirakan, bukan.
Para kader PIKM tersebut, yang mereka itu tidak dibayar, tapi aktif memberikan informasi terkait HIV-AIDS disela-sela arisan, majlis taklim, dan di mana saja ada kegiatan sosial tempat masyarakat berkumpul. Tujuannya hanya satu, supaya masyarakat tahu dan sadar bahwa, HIV/AIDS sudah sedemikian cepat masuk ke wilayah rumah tangga. Agar masyarakat memiliki pengetahuan yang memadai tentang HIV/AIDS sehingga bisa melindungi diri dan keluarga mereka dari HIV/AIDS.
Namun bukan pula berarti bahwa bila sudah terinfeksi maka dunia kiamat. Masih ada jalan untuk kembali normal, untuk sehat kembali meski dengan harus minum obat terus-menerus. Dukungan dari keluarga, sahabat, dan tetangga amat perlu untuk kesembuhan ODHA.
Diskriminasi ODHA, masihkah?
Seperti kisah yang diceritakan kader pendamping dari Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat (PIKM) Medan, Maria lili. Seorang istri terbaring tak berdaya di rumah sakit, sedang hamil 6 bulan, dan menyandang HIV+. Dia harus berjuang sendirian melawan penyakitnya, sekaligus melindungi dan menyelamatkan si jabang bayi dalam rahimnya supaya tidak tertular. Belum lagi guncangan psikis karena ternyata status suaminya negatif dan memilih berpisah dan kembali ke tempat asalnya. Keluarga besarnya pun menolaknya, bahkan meminta dia untuk tidak kembali ke kampung halaman.
Sang kader pendamping, yang juga ODHA, dengan sabar dan telaten menjelaskan informasi tentang HIV dan AIDS kepada pasien beserta keluarga besar, juga kepada suami pasien dan keluarganya. Bahwa, orang dengan HIV+ tetap bisa hidup normal, tetap bisa hidup berdampingan dengan anggota keluarga lainnya. Bahwa, ia, sang kader pendamping, ODHA sudah 6 tahun dan tinggal bersama keluarga, namun tak ada yang tertular, termasuk anak dan suaminya. ODHAbutuh semacam terapi obat dan dukungan keluarga untuk sembuh.
Dengan pendampingan sang kader, akhirnya sang istri melahirkan prematur. Bayi laki-laki sehat telah lahir dari seorang ibu dengan HIV+, tanpa perlu masuk incubator. Menangis bahagialah sang ibu. Meski tanpa didampingi suami, ia telah berhasil menyelamatkan masa depan sang bayi.
Akhirnya, keluarga besarnya datang dan meminta maaf telah menolak dan mengucilkan. Mereka sadar bahwa mereka salah, telah meninggalkannya disaat dia membutuhkan semangat dan dukungan keluarga atas penyakitnya. Sang suami pun yang ternyata masih mencintai istrinya, meminta maaf dan akhirnya mereka rujuk.
Sang kader pendamping dengan sabar menjelaskan kepada mereka tentang hubungan pasangan diskordan (pasangan yang salah satunya positif HIV). Bahwa, meski salah satu pasangan atau bahkan keduanya positif HIV, anak-anak mereka belum tentu akan tertular HIV. Terbukti bahwa seorang ibu yang positif HIV bisa melahirkan seorang anak yang negatif HIV. Lalu, masihkah kita mengkotak-kotak kan ODHA? Jawabannya ada di nurani kita masing-masing.
Jakarta, 10-04-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H