Mohon tunggu...
Setyani Alfinuha
Setyani Alfinuha Mohon Tunggu... -

Alumni ISHS 3 Kediri | Psikologi UIN Maliki Malang '13\r\n13410056

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia; Pemikiran Socrates dan Aristoteles

9 Mei 2014   03:17 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:42 3380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Sebelum kita berbicara tentang hakikat manusia, hendaknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu hakikat. Secara sederhana hakikat sering disamakan sebagai sesuatu yang mendasar atau esensi yang substansial, yang hakiki, yang penting, yang diutamakan dan berbagai makna sepadan dengan pengertian itu. Namun memahami hakikat tidak tepat hanya dengan mengacu pada pengertian sederhana. Hakikat dapat dan semestinya memang dipahami secara hakikat pula. Memahami istilah hakikat secara hakikat.

Dari sudut sejarah filsafat, Socrates dapat dinilai sebagai filsuf Yunani pertama yang begitu serius dan insentif menjadikan manusia sebagai salah satu tema sentral dalam pemikiran. Oleh karen aitu ia sering dianggap sebagai tokoh yang telah berhasil menurunkan filsafat dari langit ke bumi. Sebelumnya manusia lebih bergairah mengajukan pertanyaan metafisika di luar dirinya. Bagi Socrates yang pertama harus diselesaikan adalah kenalilah dirimu, siapa saya? Mengenal dengan baik siapa saya dapat mengatar pada pengenalan terhadap di luar saya yang lebih asasi dan menjadi penentu segalanya.

Hanya dengan menegtahui terutama mengenal siapa manusia, kita menjadi sadar tentang kedirian kita. Bukan itu saja, mengenal diri (manusia) penting artinya dalam membebaskan manusia dari keterasingan. Karena hakikatnya manusia dapat menemukan ‘hakikat’ ketika pikiran telah keluar dari manusia (Latief, 2006, p. 14).

Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya (the animal that reasons). Manusia adalah hewan yang berpolitik (zoon politicon, political animal), hewan yang berfamili dan bermasyarakat, mempunyai kampung halaman dan negara.

Aristoteles (dalam Anshari, 1982, p. 5) mengidentifikasi sejumlah kelebihan manusia yang tidak dimiliki oleh hewan; menusia berakal, berbicara, berpolitik, berkeluarga, bermasyarakat. Kemampuan berpolitik dimungkinkan karena manusia mempunyai bahasa yang di dalamnya dapat diungkap simbol-simbol. Cara yang sama memahami manusia dilakukan oleh William Ernest Hichking dengan menyetakan, “Manusia adalah hewan yang ketawa. Manusia adalah hewan yang menggambarkan lukisan. Manusia adalah hewan yang sadar diri. Manusia adalah hewan yang dapat merasa malu, sementara tidak ada makhluk lain yang memperhatikan tanda-tanda pembelaan untuk protes naturalnya”.

Sumber:

Anshari, E.S. (1982). Sains Falsafah dan Agama. Kualalumpur: Abadi Sdn. Bhd.

Latief, J.A. (2006). Manusia, Filsafat, dan Sejarah. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun