Mohon tunggu...
Setyani Alfinuha
Setyani Alfinuha Mohon Tunggu... -

Alumni ISHS 3 Kediri | Psikologi UIN Maliki Malang '13\r\n13410056

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jadi Ibu Harus Pinter

8 November 2014   23:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:17 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Iqbal terus mondar-mandir di depan pintu itu. Wajahnya pucat berbalut cemas. Mulutnya komat-kamit sejak tadi, segala macam doa ia panjatkan untuk Risma, istrinya yang sedang berjuang melahirkan anak pertama mereka. Terlihat dokter yang keluar dari balik pintu dam berkata “Selamat, Pak. Anak bapak laki-laki. Kondisi ibu dan anak sehat.” Kalimat dokter seketika merubah raut wajah Iqbal yang cemas menjadi tersenyum lega. “Alhamdulillah...” ucap Iqbal sambil bergegas menuju ruang istrinya seolah tak sabar melihat jagoan kecil buah cinta pernikahan mereka dua tahun yang lalu lahir dengan selamat. Diciumlah kening istrinya kemudian ia menggendong anaknya serta mengadzaninya. Raut bahagia terlihat jelas di wajah Iqbal. Sekarang ia mempunyai status baru, yaitu sebagai Ayah.

***

“Selamat datang di rumah, sayangku” kata Iqbal sambil menyiapkan tempat tidur untuk bayi mungilnya yang ia beri nama Faiz.Direbahkannya Faiz di kasur mungil. Iqbal selalu memandangi Faiz sambil terus berkata “Jagoan kecilku yang pintar, nanti kamu jadi anak yang sholeh dan pinter, ya, seperti Ayah”. Sesekali ia menggoda Iqbal, disentuh-sentuhkan jari tangannya ke dekat mulut Iqbal. Secara refleks, Iqbal pun membuka dan menutup mulutnya seakan ingin menghisap tangan ayahnya, lucu sekali. “Bunda, lihat ekspresi Iqbal, lucu sekali saat aku dekatkan jariku ke mulutnya. Dia membuka mulutnya, seakan ingin menghisap jariku, Bunda. Pintar, ya, Bunda.” kata Iqbal pada istrinya. Risma hanya tersenyum melihat ulah suaminya sembari merapikan baju si kecil.

“Itulah yang disebut dengan perkembangan kognitif bayi, Ayah.” kata Risma lembut.

“Kognitif? Berpikir maksut, Bunda? Ah, Bunda bisa aja. Kan dedek Iqbal masih bayi, mana mungkin dia berkognisi?” sahut Iqbal.

“Loh, Ayah jangan salah. Perkembangan kognisi manusia itu sejak bayi lo, Yah.” lanjut Risma.

“Masak sih, Bun?” tanya Iqbal penasaran sambil duduk mendekati istrinya.

“Iya, Yah.. Bayi sudah mampu membangun skema untuk mengenali dunianya” jelas Risma.

“Skema? Ah, apa itu, Bunda? Bunda kan tahu sendiri kalau Ayah dulu kuliah di jurusan Bea Cukai, mana tahu ayah istilah-istilah seperti itu? Yang ayah tahu ya cuma pasal-pasal tentang bea dan cukai, Bun.” kata Iqbal sambil tertawa.

“Ah, Ayah. Itu semua panjang sekali penjelasannya. Ketika seorang bayi mencoba mambangun pemahamannya mengenai dunia, maka otak mereka yang sedang berkembang itu menciptakan skema, yakni berbagai tindakan atau representasi mantal yang mengorganisasikan pengetahuan. Skema bayi dibangun dengan tindakan-tindakan sederhana yang dapat ditampilkan terhadap objek-objek, seperti menghisap, melihat, dan menggenggam. Nah, itu dia skema, Yah. Makanya si kecil membuka mulutnya ketika jari-jari ayah disentuhkan disekitar mulutnya. Karena ia mengira bahwa itu adalah puting yang akan mengeluarkan susu, seperti yang ia ketahui sebelumnya...” penjelasan Risma pun terpotong sampai di situ karena mendengar tangisan Faiz yang lapar. Dengan sigap Risma menggendong bayinya dan menyusuinya.

***

Sudah beberapa bulan setelah kelahiran Faiz, putra pertamanya, Iqbal tetap saja suka bermain-main dengannya. Tak pernah ketinggalan ia selalu menyentuhkan jari-jarinya di sekitar mulut Faiz karena ia senang melihat ekspresi Faiz yang menggelikan saat membuka-buka mulutnya. Tapi kali ini berbeda, Faiz tak lagi membuka-buka mulutnya saat jari-jari Iqbal menyentuh pipinya.

“Bundaaaa.. Bundaaa.. sini cepat, Bun!” seru Iqbal. Terlihat sosok wanita berparas ayu berjalan mendekati suaminya.

“Bunda, lihat. Faiz tak lagi membuka mulutnya saat didekatkan dengan jariku, Bun. Apa yang terjadi padanya? Apakah ia tidak suka lagi bermain-main denganku?” tanya Iqbal bingung. Risma hanya tersenyum kecil, seolah memahami apa yang terjadi. “Tentu saja Faiz tidak mau membuka mulutnya, Yah. Dia kan sudah pintar.” Jelas Risma.

“Pintar?” tanya Iqbal dengan wajah yang makin bingung.

“Iya, Yah. Sebenarnya ia sedang melakukan asimilasi dan akomodasi.”

“Asimilasi dan akomodasi? Apa itu? Lanjutan dari penjelasan Bunda kemarin?”

“Iya, Yah. Asimilasi dan akomodasi sebenarnya bisa digunakan untuk menjelaskan mengenai bagaimana anak-anak menggunakan dan mengadaptasi skema-skema yang telah dimilikinya untuk menangani informasi atau pengalaman baru. Akomodasi terjadi ketika anak menyesuaikan skema-skemanya agar sesuai untuk mengolah informasi dan pengalaman baru. Asimilasi dan akomodasi sudah berfungsi ketika bayi masih berusia sangat dini, seperti Faiz. Bayi baru lahir secara refleks akan mengisap segala sesuatu yang mengenai bibirnya. Mereka melakukan asimilasi terhadap semua jenis objek ke dalam skema menghisapnya. Nah, makanya Faiz juga ingin menghisap jari Ayah saat Ayah mendekatkan jari pada mulutnya. Setelah itu ia telah belajar menghisap berbagai objek, nah, dengan menghisap berbagai objek yang berbeda-beda itu, dia belajar mengenai cita rasa, tekstur, bentuk, dan seterusnya. Setelah memperoleh pengalaman selama beberapa bulan, dia membangun suatu pemahaman menganai dunia secara berbeda. Sejumlah objek seperti payudara ibu dapat diisap, sementara sebaliknya, objek-objek lainnya, seperti selimut yang berbulu halus, tidak dapat diisap, sama halnya dengan jari ayah yang tidak bisa ia hisap. Dengan kata lain, dia melakukan akomodasi terhadap skema mengisapnya. Makanya sekarang ia tidak mau lagi mengisap jari Ayah.” jelas Risma panjang lebar.

Faiz pun menganggukkan kepalanya pertanda mengerti penjelasan dari Risma.

***

“Tiiin..tiiin..tiiin..” suara klakson mobil Iqbal berbunyi. “Bunda, ayo!” teriak Iqbal dari dalam mobil. Hari ini adalah hari minggu, Iqbal dan Faiz berencana pergi jalan-jalan ke sebuah taman bermain. Terlihat Risma yang sedang menggendong Faiz berjalan menuju mobil keluarga. “Ayo sayang, kita naik mobil.” ucap Risma pada Faiz. “Moobil, moobiiil..” ucap Faiz sambil terbata-bata. Kini ia sudah mampu berbicara. Ia sudah bisa mengucapkan kata mobil untuk mengidentifikasi mobil keluarganya. Risma duduk di samping Iqbal sambil memangku Faiz. Mereka pun siap berangkat menuju taman bermain untuk menghabiskan akhir pekan.

Disepanjang perjalanan, Faiz melihat begitu banyak kendaraan yang berlalu lalang di sekitarnya. Lucunya, setiap kali ada kendaraan yang melintas, ia selalu mengatakan “Moobiiil.. moobil..” dengan terbata-bata. Tak peduli apakah itu sepeda motor, becak, atau bahkan truk, ia tetap bilang bahwa itu mobil. “Itu namanya truk, sayang. Kalau yang ini namanya becak.” kata Risma dengan lembut sambil menunjuk ke arah truk dan becak. Rupanya Faiz memahami instruksi dari ibunya. Ia pun mengikuti kata-kata ibunya meski dengan terbata-bata “Tluuuk, tluk.. bee..caaak..”.

“Bunda, Ayah tahu.” kata Iqbal sambil tersenyum riang.

“Tahu apa, Yah?” tanya Risma kaget.

“Dedek sedang melakukan asimilasi dan akomodasi, kan? Awalnya kan Faiz Cuma tahu kata mobil untuk mengidentifikasikan mobil keluarga. Kemudian dia menjuluki semua kendaraan yang melintasi jalan sebagai mobil, termasuk sepeda becak dan truk. Ia melakukan asimilasi terhadap objek-objek ini dalam skemanya. Namun segera setelah Faiz belajar dari Bunda bahwa becak dan truk tidak bisa disebut sebagai mobil. Nah, usaha Faiz untuk memperluas kategori dengan cara tidak mengikutsertakan becak dan truk, merupakan bentuk akomodasi terhadap skema. Begitu, kan, Bunda?” jelas Iqbal panjang lebar sambil tersenyum puas.

Nampak senyum yang mengembang di sudut bibir Risma. “Ayah pintar juga.” Kata Risma sambil mencubit lengan suaminya. “Bagaimana mungkin Ayah tidak pintar jika punya istri yang begitu cerdas dan hebat. Istri yang begitu istimewa karena rela tidak bekerja di luar rumah meski bergelar sarjana demi keluarga. Wanita lembut yang selalu mengerti dan memenuhi segala kebutuhan bayinya (Iqbal) dan bayi berkumisnya (suaminya)” canda Iqbal sambil mengelus kepala jagoan kecilnya. Risma pun tersipu malu dibuatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun