Mohon tunggu...
Setyani Alfinuha
Setyani Alfinuha Mohon Tunggu... -

Alumni ISHS 3 Kediri | Psikologi UIN Maliki Malang '13\r\n13410056

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku Ingin Pulang

1 November 2014   21:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:55 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Aku ingin pulang, ingin cepat pulang, tapi aku takut.”

“Apa yang kau takutkan, Mbak?”

“Entahlah. Lagian aku besok juga mau ngelesi Lep.”

Selalu begini. Telepon terputus. Kakak selalu melakukan segala sesuatu seenaknya. Orang yang aneh pikirku. Terakhir aku bertemu dengannya di kamar kosnya seminggu yang lalu.

Kami berdua tinggal diperantauan untuk menuntut ilmu. Kami tinggal di kota yang sama namun tinggal di tempat yang berbeda. Aku berada di ‘penjara suci’, begitu orang menyebut pondokku, sementara kakak tinggal di kos-kosan.Entah apa yang merasuki kakakku akhir-akhir ini. Sejak akhir tahun lalu, ia mulai bersikap aneh. Dia mulai susah mengendalikan emosinya.

Hari itu, akhir pekan aku memutuskan untuk menginap di kos kakakku. Aku datang ke tempatnya pagi sekali. Namun, ia tak ada disana. Untungnya aku punya kunci kamarnya jadi aku bisa menunggunya di dalam kamar. Seperti biasa, kamarnya berantakan seperti si empunya. Sore hari aku baru bertemu kakakku. Dengan suara lantang dia menyapaku.

“Udah makan, Dek? Maaf ya kamu bilangnya ndadak sih. Aku masih di tempat temenku tadi. Nih, aku bawain sate. Kamu udah masak nasi kan? Hehe, kamarku lebih rapi dari biasanya kan?”

“Sama aja tuh Mbak,” sahutku sambil mengambil nasi. “Mbak gak makan?” tanyaku kemudian.

“Hehe, nggak. Udah tadi. Kamu jadi nginep kan?”

“Iya,” jawabku pendek. Aku memang terkesan cuek menanggapi kakakku ini. Akhir-akhir ini dia kelewat aneh. Dia bicara dengan mimik sumringah, tapi terkadang dengan pandangan sedih. Enahlah. Dia makhluk yang aneh.

Usai makan, aku mulai bergelut dengan tumpukan buku-buku yang ku bawa. Aku sengaja ke tempat kakakku karena menurutku tempat ini paling nyaman untuk belajar karena hening. Aku memenuhi ranjang kakakku dengan keberadaanku dan buku-bukuku sementara kakak seperti biasa duduk di depan meja menghadap laptop kesayangannya. Katanya ia sedang dapat kerjaan menerjemahkan surat perjanjian.

Kakakku ini bisa dibilang orang yang nyantai tapi sebenarnya ambisius. Dia punya banyak mimpi dan pekerjaan. Entah apa yang membuat ia seperti itu padahal ia bisa dapat uang dengan mudah jika ia mau meminta kepada orang tua. Baru-baru ini pun ia menolak mentah-mentah uang satu juta dari ayah. Mandiri? Bukan. Ini justru pemicu masalah. Akhir-akhir ini dia sering cek-cok dengan orang rumah dengan alasan yang bermacam-macam.

Tak terasa aku tertidur lelap hingga kakak membangunkanku di pagi hari untuk sholat Subuh. Dia belum tidur!

“Dek, kamu balik ke pondok jam berapa?”

“Habis Dzuhur Mbak. Kenapa?”
“Oh, gak papa. Aku ntar ngelesi anak jam setengah satu. Ntar aku anterin ke pondok sekalian aja.”

Begitulah kakakku. Entah dia itu baik atau apa, tapi kami sering bertengkar kalau di rumah. Ya, itu tadi, dia aneh.

“Lep, Mbakmu bilang apa?” pertanyaan ayahku membangunkanku dari lamunan pertemuan minggu lalu.

“Mbak gak bisa pulang Yah. Katanya ngelesi besok.”

“Tanggal merah tetep ngelesi?”

“katanya sih gitu Yah. Tanya sendiri aja kalo gak percaya.”

Ayah terdiam sejenak kemudian mengalihkan pembicaraan. Di rumah, pembicaraan tentang kakak sudah semakin jarang. Kalau pun ada mungkin ayah yang sesekali menyinggung keberadaannya. Entah dosa apa yang telah ia perbuat, tapi ibu tak pernah mengungkit namanya. Kalaupun ia, paling juga menjelek-jelekkan kakakku.

Jujur aku pun semakin merasa tak nyaman berada di dekat kakak. Dulu aku sering mendengarkan keluh kesahnya, tapi sekarang aku mulai enggan. Dia mulai bersikap aneh seolah-olah dia dalam pengaruh obat-obatan. Aku pun jarang melihat kakakku bersama teman-temannya lagi. Sekarang temannya yang kutahu hanya satu. Lelaki yang berasal dari kota yang sama yang baru ia kenal tahun lalu. Lelaki itu terlihat normal, tapi kakakku tidak.

Aku baru selesai memasak dengan ibu di dapur dan mendapati 37 missed calls di handphoneku. Dari Aang, teman lelaki kakakku. Begitu handphone berdering kembali aku segera menyambarnya.

“Hallo, assalamu’alaikum. Ada apa mas?”

“Dek, Alep, ini mas Aang!”

“Iya tahu mas, salamnya di jawab dulu dong.” Jawabku jutek.

“Eh, iya maaf. Wa’alaikumsalam. Dek, masih di rumah? Ini aku lagi di rumah sakit sama mbakmu. Kata dokter dia overdosis.”

Seperti di sambar petir di siang bolong. Aku merasa dugaanku bahwa kakakku memakai obat-obatan terlarang terbukti. Tanpa mendengar kelanjutan cerita dari mas Aang aku segera mencari ayah dan ibu. Mereka harus tahu.

Sesampainya di rumah sakit, aku melihat kakakku itu sudah sadarkan diri. Ia dengan santainya dapat bersenda gurau dengan mas Aang sementara aku, ayah,dan ibu tergopoh-gopoh datang mengkhawatirkannya.

Ayah langsungn saja menampar kakakku.

“Kamu ini! Ayah sudah janji gak akan mukul kamu lagi karena kamu sudah gedhe, tapi kok bisa-bisanya? Kamu ini ternyata memang masih bocah. Gak bisa mikir dewasa!”

Sementara kakak terdiam dengan wajah yang bingung, ibu menyahut. “Ibu malu punya anak kayak kamu! Sudah ngobat, gak punya otak. Kok bisa sih, Lin? Ibu salah apa sama kamu?”

Kakakku seperti mulai mengerti akan situasi yang kacau itu, tersenyum kecil penuh arti dan menoleh ke arah mas Aang yang nampak bingung.

“Mas, kamu tunggu di luar dulu aja,” katanya lirih. Namun, ibu yang mendengarnya tidak ambil diam.

“Kamu! Ini pasti gara-gara kamu ya! Semenjak anakku dekat sama kamu dia jadi ruwet gini!”

“Udah, keluar sana mas!” pinta kakakku. Mas Aang pun keluar diiringi dengan caci maki ibuku. Ayah? Beliau entah sejak kapan sudah terdiam. Ia hanya memandangi kakakku tak percaya. Beliau tahu bahwa kakak sudah mulai aneh semenjak putus dengan mantannya dulu. Yah, bisa dibilang hidupnya mulai ruwet sejak itu.

“Yah, Bu, aku gak make narkoba kok,” kakakku membuat pembelaannya, “dan ini bukan salahnya Aang.” Akan tetapi orang tuaku tak mau mendengar apa pun yang ia katakan. Kakak pun kembali terdiam. Aku juga diam.

Pagi yang cerah di kamar kos kakak. Semenjak kejadian itu, aku tinggal bersama kakak sebagai pengawas gerak-geriknya. Dia tak boleh bertemu dengan mas Aang lagi. Akan tetapi aku tak tega. Ia nampak semakin kacau jika kularang tak bertemu mas Aang. Melihat kakakku yang tak punya teman itu, hatiku pun melunak. Aku diam-diam mengijinkannya bertemu dengan mas Aang walau sebentar.

Belakangan aku tahu bahwa kakak overdosis CTM. Dia sengaja mengkonsumsi pil itu karena ia terkena insomnia akut. Kata mas Aang, dia sudah 1 bulan tidak bisa tidur dan mulai mengkonsumsi CTM beberapa hari yang lalu. Insomnia. Setahuku, insomnia bisa merupakan gejala stress. Ya, dia stress. Aku yakin betul itu walau belum mendengar cerita lengkapnya. Mas Aang bilang biar kakak sendiri yang cerita padaku, tapi kakakku tak pernah cerita apa pun padaku.

“Lep,” panggil kakakku suatu malam. “Minggu depan aku sidang skripsi.”

“Wah, bagus dong Mbak!”

“Iya. Tapi mbak gak jadi ambil S2.”

Aku terdiam. Dia tak bisa melanjutkan studinya di S2 karena ibu bilang hanya mau membiayai S2 ku. Kakak harus bekerja dulu kalau mau lanjut S2. Jadi karena itu kah ia selama ini giat bekerja? Aku sendiri tak habis pikir kenapa ibu membuat keputusan demikian. Padahal aku sama sekali tak ada niatan untuk sekolah lebih lanjut. Yang ada dalam pikiranku hanya segela lulus S1 kemudian menikah dengan orang yang baik dan mapan. Cita-cita yang sederhana.

“ooh..”

“Kemarin ditawari beasiswa dari dosen, tapi mbak gak ambil.”

“Loh, kenapa?” Kalau dia dapat tawaran beasiswa, berarti bukan karena S2 dia giat bekerja. Lalu apa? Aku masih penasaran dengan alasan kenapa ia menyiksa dirinya dengan jadwal kerja yang padat. Ngajar privat, translator, sampai menjadi content writer.

“Nggak. Kayaknya udah gak mungkin aja.” Pandangan matanya sendu sejenak tapi sedetik kemudian langsung bebinar kembali. “Tapi ntar kalo aku wisuda kamu bawa bunga yang banyak ya!”

Hari wisuda kakakku telah tiba. Kami sekeluarga dandan rapi menuju gedung besar milik universitas tempat kakakku menuntut ilmu selama 4 tahun. Kakakku dinobatkan sebagai mahasiswi yang lulus dengan pujian karena nilainya yang baik. Bukan hanya aku, ibu pun kaget mendengar nama kakakku dipanggil karena hal itu karena setahu kami kakak itu anak yang terlalu nyantai dan cuek soal pendidikan. Aku pun jarang melihatnya belajar. Yang kutahu ia sering nonton film gak jelas di laptopnya. Tanpa terasa aku pun menitikkan air mata haru. Tak kusangka kakakku cukup memperhatikan nilainya. Bukan hanya aku, ibu pun sudah menangis sesenggukan di sebelahku.

Upacara wisuda telah usai, di luar gedung dengan segala hiruk-pikuknya ini, aku membawa sebuket bunga mawar putih yang kubeli dari penjual di sekitar gedung ini. Bunga yang banyak sesuai permintaan kakakku. Akan tetapi, aku bingung. Aku masih merasa tak percaya dengan kenyataan yang ada hingga mas Aang menghampiriku.

“Loh, Alep. Apa kabar?” sapanya.

“Eh, mas. Alhamdulillah baik.”

“Ayah, ibu sehat?”
“Iya mas. Mas wisuda juga ya?”

“Iya. Em.. Dek, yang sabar ya.”

“Iya.” Jawabku lirih. Sabar? Sabar untuk apa? Apakah aku sedih? Entahlah. Aku cukup kaget dengan segala sesuatu yang serba cepat karena aku tak memiliki pemikiran yang kedepan dan serba cepat seperti kakakku.

Seminggu yang lalu untuk terakhir kalinya aku melihat kakaku. Jazadnya sudah dikebumikan kini. Ia mengalami kecelakaan karena kecapaian saat mengemudi menuju rumah muridnya. Lucunya, sama sekali tak ada teman kuliahnya yang datang melayat. Kudengar dari mas Aang bahwa ia ada sedikit salah paham dengan salah satu teman kuliahnya. Sebesar itukah masalahnya hingga seluruh teman kuliahnya tak datang?

“Ini Dek,” mas Aang menyodorkan sebuah buku tabungan ke hadapanku. “Aku gak seharusnya nyimpen ini. Ini buku tabungan kakakmu. Dia bilang, dia pengen menikah kalau tabungannya sampai 10 juta.” Mas Aang tertawa kosong.

Aku menerima buku tabungan itu dan melirik nominal di dalamnya. 7 juta rupiah. Dalam 5 bulan terakhir ini dia sudah mengumpulkan uang sebanyak ini? Padahal aku hampir tak pernah melihatnya meminta uang lagi ke ayah dan ibu.

“Dia itu... hebat,” kata mas Aang lirih, “dia mengalihkan stressnya akan segala macam masalah dengan bekerja. Dia bilang dia harus mandiri. Dia bilang segala sesuatu harus selesai tepat waktu bahkan waktu kepulangannya. Padahal yang ia lakukan hanyalah lari dari segala macam tekanan yang ada. Tekanan sebagai anak pertama, tekanan skripsi yang harus selesai tepat waktu, tekanan lingkungan sosial yang lebih mendukung anak yang bersifat terbuka dari pada tertutup seperti kakakmu, tekanan dari cinta yang tak pernah ia dapat lagi dari orang terdekatnya, yang paling mengerikan adalah tekanan dari cita-cita yang ia buat sendiri.” Mas Aang mengambil nafas panjang. “Kakakmu itu, dia bilang, dia selalu ingin pulang ke rumah, tapi dia takut. Dia takut menyakiti hati orang tuanya dengan perkataannya. Tak peduli seberapa rindu ia pada orang tua nya. Dia ingin pulang. Pulang ke tempat yang mau menerimanya. Dia ingin pulang ke tempat dimana ia bisa memejamkan matanya dengan tenang tanpa khawatir akan apa pun juga.” Mas Aang menitikkan air matanya.

“Tak perlu khawatir dimarahi karena bangun kesiangan, karena mengutarakan isi hati sepuasnya, dan karena masalah sepele lainnya?” tanyaku. Mas Aang hanya mengangguk pelan.

“Dia sering datang ke tempatku hanya untuk tidur dan bilang ingin pulang. Dia.. orang tuamu harus tahu betapa ia ingin sekali pulang.”

Aku tersenyum simpul tanpa arti dengan buket bunga di tanganku.

“Dia sudah pulang.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun