“Maaaak, aku ketrima di MAN Bina Bangsa!” seruku sambil bergegas menghampiri Emak yang sedang sibuk di dapur. Tak sabar lagi rasanya memeluk Emak sambil memamerkan pengumuman hasil seleksi ini. Terlihat raut gembira Emak, senyum diwajahnya pun mulai mengembang setelah seharian payah di dapur. Peluk hangat dan tawa lepas pun menyelimuti sudut dapur sore itu.
“Bapak mana, Pak?” tanyaku.
“Bapakmu di belakang sedang menyervis radionya Mbak Tumi. Cepat beri tahu kabar gembira ini pada bapakmu, pasti Beliau bangga.” kata Emak sambil mendekap lenganku.
Perlahan tapi pasti ku langkahkan kaki ke sebuah ruangan yang terletak di sudut rumahku. Sebuah ruang kecil dengan cat yang mulai pudar, di sana lah bapak mencari rupiah. Bapakku adalah seorang tukang servis alat elektronik, kabel-kabel dan serpihan alat elektronik yang lain sudah menjadi barang wajib ada di sini. Dari pintu yang terbuka, terlihat bapak sedang duduk dengan tangan penuh kabel dan alat yang lain. Aku pun menghampiri bapak dan duduk di pangkuannya.
“Bapak, coba lihat ini, aku ketrima di MAN Bina Bangsa.” ucapku manja dengan menyodorkan secarik kertas.
“Benarkah? Alhamdulillah... doa bapak akhirnya dikabulkan, Nak.” kata Bapak seraya sujud syukur.
“Nak, itu sekolah yang sangat favorit dan terkenal bagus dalam ilmu agama dan ilmu umumnya. Bukan hal yang mudah bisa lolos ke sana. Bapak bangga denganmu, Nak” lanjut bapak sambil mengecup keningku.
Sebagai anak dari keluarga yang sederhana, dapat diterima di sekolah negeri yang favorit merupakan kebanggaan tersendiri bagiku dan keluargaku. Bagaimana tidak, di saat aku tinggal di pedesaan dimana masyarakatnya sangat awam dengan pendidikan, aku mendapat kesempatan untuk belajar di salah satu sekolah favorit di kota. Namun jauh di libuk hatiku aku merasa gundah, jarak sekolah yang jauh dengan tempat tinggalku tentu akan memisahkan aku dengan kedua orang tuaku karena aku harus tinggal di asrama sekolah. Sebagai anak tunggal, tentu kehadiranku di rumah ini menjadi pengobat lelah Emak dan Bapak setelah seharian penat bekerja. Bukan hanya itu, masalah ekonomi? Itu pasti. Bukan hal yang baru untuk keluarga sederhana kami. Menjadi seorang penyedia jasa servis alat elektronik tentu berpenghasilan tidak seberapa. Beruntung Emak juga ikut membantu meringankan beban bapak dengan menjual nasil pecel setiap pagi. Setidaknya hasil jualan emak cukup untuk menutup kekurangan uang belanja bulanan.
***
Kucium tangan Emak yang sedang berdiri di depan pintu. Meski tanpa kata, tapi aku bisa memahami perasaan emak. Bangga bercampur sedih, itu yang emak rasakan. Bagaimana tidak bangga melihat anaknya memiliki kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan di sekolah berbasis agama yang favorit di kota. Tapi bagaimana mungkin emak tidak sedih, ketika anak semata wayangnya harus tinggal terpisah darinya demi mencari ilmu. Aku harus tinggal di asrama, jarak rumah yang jauh memaksaku untuk meninggalkan rumah kecil yang peuh kehangatan ini. “Setiap hari Minggu kan sekolahku libur, Mak, jadi setiap hari Sabtu sore Nadia bisa pulang.” Bisikku pada Emak. Senyum pun mulai mengembang di sudut bibir Emak. “Belajar yang rajin ya, Nak. Emak selalu mendoakanmu.” kata emak sambil menguasap keningku.
Terlihat bapak sedang mengikatkan kardus-kardus yang berisi pakaian dan barang-barangku di ujung motor. Menggunakan motor tua yang catnya mulai pudar, bapak mengantarkanku pergi ke kota, ke sekolah baruku. Di sepanjang perjalanan aku hanya terdiam, kulihat bahu ayah dari belakang, “Bahu ini yang selama ini menjadi sandaran hidup keluargaku. Bahu ini yang telah susah payah lebur menyervis ridio, mesin cuci, dan banyak alat elektronik lain untuk dapat membayar uang daftar ulangku tepat waktu. Aku tidak akan mengecewakanmu Pak, aku akan belajar sungguh-sungguh untuk menyejahterakan Bapak dan Emak suatu hari nanti.” ucapku dalam hati.
***
Bajuku telah tertata rapi di almari. Mulai hari ini aku tinggal di sini, di sebuah kamar yang beranjang susun. Tidak perlu banyak waktu untuk beradaptasi di sini. Kehangatan ustadzah asrama dan keramahan teman-teman asrama sangat menyenangkan. Apalagi ayat-ayat suci Al-Qur’an selalu di kumandangkan setiap saat, semakin menyejukkan hati. Suasana sekolah? Tidak kalah tentunya. Setiap pagi, 15 menit sebelum memulai pelajaran, ada tradisi membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Tidak salah bapak begitu menginginkan aku dapat duduk di sini, pikirku.
Namun tetap saja, senyaman dan sedamai apapun aku ada di sini tetap tidak dapat menggantikan kehangatan suasana rumahku. Aku selalu menunggu hari sabtu tiba, itu tandanya aku bisa pulang ke rumah. Siang itu begitu terik, namun teriknya matahari tidak menyurutkan semangatku untuk berdiri di pinggir jalan raya demi mendapatkan angkot yang akan mengantarkan aku pada hangatnya dekapan ibu dan belaian kasih bapak. Kulambaikan tangan sambil menggendong tas ranselku, megisyarakatkan pada supir angkot untuk membawaku pulang. Di sepanjang perjalanan rasa rindu ini semakin menjadi. Padahal baru satu minggu tidak berjumpa dengan emak dan bapak.
***
“Assalamualaikum, Mak.” Ucapku sambil mencium tangan Emak yang berdiri di dekat pintu. “Pasti Emak menungguku pulang ya?” lanjutaku sambil menggoda Emak.
“Waalaikumsalam, Nak. Tentu, Nak. Emak sangat merindukanmu. Bagaimana sekolahmu, Nak? Kamu nyaman kan tinggal di sana?” balas Emak sambil mencium keningku.
“Alhamdulillah, Nadia tidak kesulitan beradaptasi, Mak. Bapak mana, Mak?” ucapku manja.
“Bapak di ruang belakang. Segera temui Bapakmu, Nak. Beliau pasti juga merindukanmu.”
Kulepaskan gendongan tas ranselku dan bergegas menuju ke ruangan bapak. Aku sengaja tidak melepas seragamku. Aku ingin bapak melihat aku mengenakan seragam ini dan membuat bapak bangga. Terlihat bapak sedang serius mengutak-atik kulkas rusak. “Bapaaak!” seruku ceria sambil duduk di pangkuan bapak. Aku tidak pernah malu bermanja-manja dengan bapak meski usiaku sudah 16 tahun. Bahkan aku masih sering duduk di pangkuan bapak. Sorotan mata penuh cinta bapak ini yang aku rindukan. Aku tak mau kehilangan tiap detik waktu bersama bapak dan emak di rumah. Aku berharap hari Senin masih lama agar aku dapat membantu dan bermanja-manja lagi dengan bapak dan emak.
***
“Nadia, cepat kemasi buku-bukumu, nanti kamu terlambat. Bapak sudah menunggumu dari tadi.” seru Emak sambil menyiapkan nasi pecel. Ah, hari Senin pun tiba. Aku harus kembali lagi ke asrama sekolah. Rasanya baru beberapa jam aku di rumah, sekarang harus ke kota lagi. Kupercepat langkah kakiku. Kuhampiri emak yang berada di teras rumah menjajakan nasi pecelnya. Kucium tangan emak dan kulihat bapak sudah siap mengantarku dengan motor tuanya saat itu. “Nadia berangkat, Mak. Assalamualaikum.” ucapku pada emak sambil melangkahkan kaki menghampiri bapak.
Pagi ini bapak mengantarku pergi ke sekolah.Bapak khawatir jika aku harus naik angkut bisa-bisa aku terlambat. Setelah kurang lebih satu jam duduk di sepeda motor tua itu, aku pun tiba di depan gerbang sekolah. Aku turun dari motor sambil membenahi gendongan tas ransel hitamku. “Nadia sekolah dulu, Pak. Assalamualaikum.” Kataku sambil mencium tangan bapak. “Waalaikumsalam, belajar yang rajin ya, Nak. Semoga ini cukup untuk keperluanmu satu minggu ke depan.” balas bapak sambil menyodorkan uang saku untukku. Kutatap terus mata bapak yang penuh kasih itu. Aku masih tetap berdiri di depan pintu gerbang sambil menunggu bapak memumar arah motornya untuk pulang.
Teeeet..teeet..teeet... bel itu berbunyi tiga kali, tanda semua siswa harus sudah berada di dalam kelas. Aku pun segera berlari menuju kelas. Seperti biasa, 15 menit pertama digunakan untuk membaca ayat suci Al-Qur’an. Lantunan ayat suci ini membuat hatiku damai, setidaknya mendamaikanku dari rindu yang berkecambuk pada emak dan bapak. Teeet...teeet.. bel itu berbunyi lagi. Tapi kali ini berbunyi dua kali, tanda bahwa pelajaran siap dimulai. Tapi tunggu dulu, bukannya sekarang waktu pelajaran Geografi? Tetapi kenapa bukan bu Iin yang masuk kelas? Kenapa justru Bu Rina? Deg! Jantungku berdebar. Jangan-jangan aku semalam salah melihat jadwal, pikirku. “Fafa, bukannya hari ini waktunya bu Iin untuk mengajar geografi ya? Kok yang masuk bu Rina?” tanyaku pada Fafa, teman sebangkuku. “Hari ini kan bu Rini menjadi guru piket, mungkin bu Iin tidak bisa masuk kelas dan ada tugas yang dititipkan piket.” jawabnya. Huh, syukurlah. Jawaban Fafa membuatku lega. Tapi tunggu dulu, bu Rini menghampiriku dan mengajakku keluar kelas. Kenapa? Pikirku dalam hati.
“Nak, ayo sekarang ibu antarkan kamu pulang.” ucap bu Rini sambil memegang bahuku.
“Pulang? Kenapa, Bu?” tanyaku sambil berdiri di depan daun pintu kelas.
“Nak, bapakmu meninggal. Beliau ditabrak bus di persimpangan jalan ketika hendak pulang. Kamu yang sabar ya, Nak. Sekarang ayo ibu antarkan kamu pulang.” ucap bu Rini lirih.
Seperti disambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin? Baru beberapa menit yang lalu aku mengecup tangan bapak, dan sekarang? Tatapan mataku kosong, kaki dan tanganku bergetar, keringat dingin mulai bercucuran, bibirku kaku, seolah tak percaya dengan apa yang bu Rini katakan. Butiran-butiran air itu pun jatuh dari pelupuk mataku tanpa kusadari. Kepalaku pusing, dan tiba-tiba semua gelap.
***
Perlahan kubuta mataku, perih. Terlihat emak terisak di samping jenazah bapak yang akan disholatkan. Kudekati emak. Aku duduk di samping emak dan menyandarkan kepalaku pada bahu emak, seakan tak kuat rasanya menerima kenyataan ini. Meski tanpa kata, meski hanya air mata, tapi aku dan emak saling mengerti bagaimana kesedihan kami satu sama lain. Kesedihan yang sama.
Kubuka kembali memori dulu. Terekam dengan jelas semua perjuangan bapak. Teringat ketika bapak sering kali tidak tidur dan tetap bergelut dengan kabel-kabel itu demi menghidupki keluarga.Teringatjugaketikabapak harus bekerja serabutan saat tidak ada orang yang menyerviskan alat elektroniknya.Butiran air yang jatuh dari pelupuk mata ini semakin deras. Semakin teringat semua pengorbanan bapak. Perjuangan untuk tetap bertahan hidup dan mampu menghidupi keluarga. Sungguh perjuangan yang sangat luar biasa. Bapak, aku bangga memilikimu, aku bangga menjadi anakmu. Aku berjnji akan belajar sungguh-sungguh. Aku tak akan mengecewakanmu. Aku berjanji akan menjadi anak yang baik, menjadi anak yang solehah dan menjadi anak yang berbakti seperti yang kau harapkan.
Bapak, kini aku tak dapat lagi melihat sorot mata yang penuh kasih. Aku tak dapat duduk di pangkuanmu, tak dapat lagi bermanja-manja denganmu. Kusangat merindukanmu, Bapak. Teramat sangat. Merindukan kebersamaan itu lagi. Bermanja dipangkuanmu. Aku rindu dekap hangat tubuhmu, tatapan penuh kasih yang selalu kauberi. Kini hanya keikhlasan dan lantunan doa yang dapat kuberi untukmu. Semoga bapak diberi tempat yang layak di sana. Nadia pasti akan sangat merindukanmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H