Mohon tunggu...
Setyani Alfinuha
Setyani Alfinuha Mohon Tunggu... -

Alumni ISHS 3 Kediri | Psikologi UIN Maliki Malang '13\r\n13410056

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Mentari yang Tak Terbalaskan

12 Oktober 2014   01:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:26 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mulai sekarang kau akan tumbuh di sini.” kata gadis berambut pirang yang sedang memindahkan Mentari dengan sangat hati-hati. Mentari, nama yang diberikan oleh gadis berambut pirang kepada pohon mungil yang baru tumbuh itu. Mentari adalah sebuah nama yang diberikan oleh seorang gadis yang telah menyelamatkannya dari kejahilan tangan manusia yang hendak memusnahkannya. Gadis itu tidak tega melihat Mentari yang masih seusia jagung harus mati karena ulah tangan jahil beberapamanusia. Dengan sangat hati-hati gadis itu memindahkan Mentari ke tempat ini. Ia menaman Mentari sangat dalam, agar Mentari dapat menyerap sebanyak-banyaknya mineral dan air untuknya tumbuh. Dan gadis itu memberinya nama ‘Mentari’, dengan harapan ia akan menjadi sumber kehidupan untuk manusia laksana cahaya mentari yang selalu menerangi bumi.

***

Siang itu begitu terik. Seperti biasa, gadis pirang selalu mengunjungi Mentari setiap siang sepulang sekolah. Gadis itu pun menyandarkan tumbuhnya pada Mentari sambil bercerita tentang apa yang ia lalui hari ini.

“Hai, Mentari!” sapanya sambil duduk di dekat pohon yang ia tanam beberapa waktu lalu.

“Mentari, kau tahu? Hari ini aku sangat senang. Tadi di sekolah aku diajarkan tentangmu, Mentari. Bu guru bercerita panjang lebar tentang pohon dan manfaatnya. Ketika bu guru hendak bercerita tentang tumbuhan, aku sudah menduga, pasti menyenangkan. Karena selama ini aku nyaman sekali ada dekat denganmu. Kau juga merasa senang kan dekat denganku, Mentari?” kata gadis pirang itu dengan riang.

“Kau tahu Mentari, aku begitu nyaman dekat denganmu. Aku bisa bersandar ditubuhmu, aku bisa duduk di rumput hijau yang mengelilingimu, bahkan aku dapat mendengarkan kicauan burung yang riang. Ditambah lagi aku bisa menghirup udara yang sejuk.” lanjutnya.

“Dengarkan aku, Mentari. Ibu guru bilang kehadiranmu sangat penting untuk kami sebagai manusia. Aku berharap kau akan menjadi sosok yang menyenangkan bagi siapapun yang ada di sekitarmu. Aku tidak ingin kau membuat makhluk lain bersedih. Karena kamu tahu, Mentari? Kehadiranmu sangat penting bagi kelangsungan hidup makhluk di sekitarmu, termasuk makhluk sepertiku, manusia. Tanpamu dan mentari-mentari yang lain, manusia tidak akan pernah hidup. Karena kamu sumber kehidupan untuk kami. Kamu yang menyimpan cadangan air, kamu yang menyediakan oksigen untuk kami bernafas, belum lagi batang, daun, dan buahmu yang bermanfaat. Untuk itu, Mentari, aku berharap kau akan selalu ramah pada siapapun yang menyapamu” nasihat gadis pirang sambil menepuk-nepuk tubuh Mentari.

***

Waktu demi waktu dilalui Mentari di sudut jalan tempat ia tumbuh. Mentari tumbuh dengan siraman kasih sayang gadis pirang itu yang selalu mengunjunginya. Hingga suatu saat, gadis pirang itu mendatangi Mentari dengan wajah murung. Dengan lesu gadis pirang itu berjalan ke arah Mentari. Ia pun duduk bersandar ditubuh Mentari.

“Mentari, bagaimana keadaanmu? Kau pasti baik-baik saja kan? Aku rasa kau cocok tinggal di sini. Lihatlah, tubuhmu semakin berisi, daunmu semakin lebat, bahkan calon buahmu pun mulai tumbuh.” ucap gadis pirang itu sambil membelai tubuh Mentari.

“Kau sangat beruntung, Mentari. Kau punya banyak teman di sini. Ada banyak rumput yang mendampingimu, burung-burung yang singgah di rantingmu, hingga ulat-ulat kecil yang kadang menggelitik tubuhmu. Pastinya kau tak pernah kesepian kan Mentari?” lanjutnya.

Setelah berkata panjang lebar, gadis itu dian sejenak. Ia menghela nafas dalam-dalam lalu melanjutkan pembicaraannya.

“Berbeda denganku Mentari. Aku merasa sangat kesepian di rumah. Sebagai anak satu-satunya, aku tak punya teman bermain. Apalagi ayah dan ibuku selalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing, kalaupun mereka di rumah, pasti bertengkar.” keluh gadis pirang itu pada Mentari.

Meski tidak dapat berucap pada gadis pirang itu, sebenarnya Mentari juga ikut bersedih. Bagaimana tidak? Orang yang pernah berjasa menyelamatkan nyawanya kini bersedih. Keheningan pun terasa usai kalimat terakhir yang keluar dari mulut si gadis pirang itu.

***

Kini Mentari sudah cukup kuat untuk hidup. Akarnya yang mulai kuat tertanam dalam tanah. Ia pun mulai punya banyak teman. Burung-burung yang biasa singgah di dahannya, pasukan semut yang terkadang menggelitikinya, rombongan ulat musiman yang sering menggerogoti daunnya, deretan rumput yang selalu setia menggelilinga. Semua ia sambut dengan ramah. Tidak pernah sekalipun Mentari mengeluhkan kehadiran mereka.

Namun sayang, beberapa waktu terakhir gadis berambut pirang yang telah menyelamatkan hidupnya tidak pernah mengunjungi Mentari lagi. Padahal rasa cinta dan kasih Mentari mulai tumbuh seiring dengan perawatan sang gadis selama ini.

“Halo Mentari!” sapa ketua rombongan ulat musiman sambil terus merayap ke tubuh Mentari.

“Iya. Kau dan rombonganmu datang lagi?” jawab Mentari.

“Tentu, sekarang kan sudah musim untuk kami datang.” ucap ketua pasukan ulat sambil bergelantungan di helaian daun Mentari.

“Oooh, tidak terasa ya sudah satu tahun.” kata Mentari dengan wajah murung.

“Kepana Mentari? Tidak biasanya kamu seperti ini. Biasanya kamu menyambut riang siapapun yang datang padamu, termasuk ketika kami datang. Apakah kamu sudah tidak mau lagi merelakan beberapa helai daun untuk kami makan?” protes ulat.

“Tidak. Bukan begitu.”

“Lalu? Apakah kamu terganggu dengan kehadiran kami?”

“Bukan juga.”

“Lalu kenapa, Mentari? Kenapa kamu terlihat sedih dan murung?”

“Aku sedih. Gadis yang telah menyelamatkanku dari kejahilan tangan manusia beberapa tahun yang lalu sudah tidak pernah lagi bermain-main denganku. Bahkan untuk sekedar mengunjungiku pun tidak.” tutur Mentari.

“Oooh jadi begitu rupanya. Mungkin dia sedang banyak urusan Mentari sehingga ia tidak sempat mengunjungimu. Kamu kan tahu sendiri bagaimana manusia itu. Mereka selalu merasa sok sibuk dengan urusan mereka.” celetuk salah satu ulat yang sedang asik berjoged ria di daun Mentari.

“Tidak mungkin, gadis itu sangat baik. Dia pasti tidak akan melupakanku. Apalagi dia dengan mudah bisa menjumpaiku karena letakku tidak jauh dari sekolahnya. Andai saja aku dapat berpindah tempat, aku ingin sekali mencari tahu bagaimana kabarnya.”

“Tenanglah Mentari, kami dan teman-teman yang lain pasti akan berusaha membantu mencari tahu dimana dan bagaimana keadaan gadis berambut pirang itu.” kata ketua ulat sambil terus menggeliat di ranting Mentari.

Mentari terdiam. Beberapa hari terakhir ia lalui dengan kemurungan. Tidak biasanya merpati bersika seperti ini. Mentari yang dikenal sangat ramah oleh beberapa kawannya punmulai berubah. Mentari yang dulu selalu menyambut dengan suka cita pada siapapun yang datang padanya kini menjadi sosok yang pemurung.

“Haloo, Mentari! Aku sangat lelah menjelajahi angkasa hari ini.” ujar seeokor burung sambil bertengger di ranting pohon Merpati.

“Iya.” jawab Mentari lesu.

“Hey Mentari, kau kenapa nampak lesu seperti ini. Biasanya kamu riang ketika aku bertengger si rantingmu.”

“Dia rindu pada gadis pirang yang menyelamatkannya beberapa tahun yang lalu.” ucap salah satu tumput yang ada di sekitar Merpati.

“Ooh ternyata begitu, tenanglah Mentari. Aku pasti akan membantumu.”

“Seandainya aku bisa berpindah tempat, sudah sejak lama aku akan mencari gadis itu. Aku sangat merindukannya. Biasanya ia mengunjungiku tiap siang. Ia juga sering duduk-duduk santai di sini sambil bercerita dan bersandar di tubuhku.” Ucap Mentari dengan lesu.

“Tenanglah, kawan. Kami semua pasti akan membantumu mencari tahu keberadaan gadis pirangmu itu.” Kata ulat yang menari di ranting Mentari.

***

Siang pun kini berganti malam. Sahabat-sahabat Mentari sepakat untuk berkumpul malam ini. Pasukan burung, rumput, gerombolan ulat, bahkan kejarajaan semut pun saat ini berkumpul untuk Mentari.

“Baiklah, mari kita susun rencara untuk mencari gadis pirang yang pernah menyelamatkan Mentari. ada yang punya usul untuk misi pencarian kita?” ucap ketua rombongan ulat.

“Tunggu dulu, apa Mentari tahu di mana letak rumah gadis pirang itu? Kalau tahu akan lebih baik jika diantara kita langsung ke rumahnya untuk mencari tahu” celetuk seekor burung.

“Ya, benar sekali. Kita kan bisa terbang, pasti tidak akan sulit untuk pergi ke sana.” Ucap salah satu burung.

“Bagaimana, Mentari? Kau tahu tidak di mana ia tinggal?” kata ketua pasukan burung.

“Bagaimana mungkin aku tahu tempat tinggalnya. Bukankah kalian tahu sendiri, selama ini aku hidup di sini tanpa berpindah tempat. Mana mungkin aku tahu rumahnya!” gerutu Mentari.

“Baiklah, mungkin kau mengetahui tempat yang sering ia kunjungi, Mentari?” kata ketua rombongan ulat sambil mengerutkan keningnya.

“Atau mungkin kau tahu di mana sekolahnya, Mentari?” celetuk rumput.

“Iya, sepertinya aku tahu. Karena setiap siang pulang sekolah dia selalu ke mari. Dia selalu datang dari arah timur. Dan yang paling penting dia jalan kaki, pasti letak sekolahnya tidak jauh dari sini.” kata Mentari.

“Baiklah, mulai besok kita bagi tugas untuk mencari informasi di sekolah gadis pirang itu. Aku dan pasukanku akan terbang ke sana besok.” ujar ketua rombongan burung.

Tatapan mata Mentari mulai berbinar. Seolah ada harapan untuk bertemu atau sekedar mengetahui kabar gadis berambut pirang yang menolongnya beberapa tahun lalu.

***

“Mentariiii!!!!” teriak seekor burung dari kejauhan.

Sambil terus terbang menuju ranting, burung itu berkata, “Mentari!! dengarkan aku. Aku punya kabar tentang gadis pirang itu.”

“Apa? Aku tidak salah dengar kan?” sahut Mentari.

“Tentu. Ketika aku mencari tahu tentang gadis itu di sekolah, aku mendengar dua orang guru membicarakan dia. Mereka berkata bahwa gaduis pirang itu telah pindah ke kota lain.” kata burung dengan nafas yang terengah-engah.

“Bagimana mungkin? Kenapa dia pindah? Kenapa ia tidak mengunjungi aku terlebih dahulu?” gerutu Mentari.

“Ia ikut ibunya. Orang tuanya telah bercerai. Dan ibunya memutuskan untuk pindah ke Bogor.” jelas burung itu.

Mentari menundukkan kepalanya. Ia sangat sedih mendengar kabar itu. Harapan untuk bertemu dengan gadis berambut pirang yang pernah menolongnya pun kandas.

“Sudalah, Mentari. Tak usah bersedih seperti itu. Masih ada kami yang selalu setia menemanimu.” sahut salah satu rumput.

“Benar, Mentari. lagi pula ia pasti tidak akan melupakanmu. Kamu ingat kan, Mentari? banyak pesan yang ia berikan untukmu, banyak harapan yang ia titipkan padamu.” kata rumput yang lain.

“Mentari, kamu tidak boleh putus asa. Apa kau lupa tugasmu? Kehadiranmu sangat dibutuhkan banyak makhluk hidup. Bukan hanya rumput, burung, atau pasukan ulat saja, tapi manusia juga sangat membutuhkanmu. Iya, manusia, seperti gadis berambut pirang itu.” kata seekor burung mencoba menghibur.

Mentari hanya tertunduk siang itu, dia merenungi ucapan sahabat-sahabatnya sambil terus mengingat nasihat gadis berambut pirang itu. Bagi Mentari, gadis berambutpirang itu tidak hanya pernah menyelamatkan nyawanya, tapi ia juga telah memberikan banyak pelajaran pada Mentari. Dia sadar bahwa keberadaannya sangat penting bagi kehidupan makhluk hidup, terutama manusia. Tanpa kehadirannya dan mentari-mentari yang lain, entah apa yang akan terjadi pada manusia. Bagaimana tidak, merekalah yang selalu memberikan oksigen untuk bernafas bagi manusia, mereka juga yang memiliki cadangan air yang menjadi salah satu sumber utama kehidupan.

“Kau benar, Kawan. Aku tidak boleh terus bersedih. Aku akan mengenang jasa gadis berambut pirang itu dengan caraku sendiri. Akan aku abdikan jiwa dan ragaku untuk kelangsungan hidup makhluk hidup yang lain, terutama manusia.” ujar Mentari.

***

Waktu pun terus berjalan. Tak terasa tahun demi tahun pun terlewati. Mentari kini tumbuh menjadi pohon yang sangat besar dan kuat.

“Horeee! Sekarang aku sudah benar-benar kuat.” Sorak Mentari kegirangan.

“Nampaknya kau sangat senang, Mentari.” celetuk rumput.

“Tentu aku senang. Bagaimana tidak. Kini tubuhku semakin tinggi dan besar. Daunku pun semakin lebat. Selain itu akarku pun semakin dalam.” kata Mentari dengan girangnya.

“Dengan begini, aku bisa memenuhi semua harapan yang disampaikan gadis berambut pirang itu beberapa waktu silam. Aku akan menjadi pelindung untuk siapa saja yang berteduh dari derasnya hujan dan teriknya matahari. Akarku akan kutancapkan dalam-dalam agar aku dapat menyerap lebih banyak lagi air. Aku akan berbuah lebat. Dan daun-daunku akan menghasilkan oksigen untuk makhluk hidup lain bernafas.” kata Mentari dengan bangga.

Kini Mentari telah tubuh menjadi pohon yang cukup besar dan tua karena usianya mencapai puluhan tahun. Mentari memang pohon yang baik hati. Ia begitu ramah menyambut siapapun yang datang padanya. Bahkan ia tidak pernah keberatan apalagi mengeluh ketika gerombolan ulat datang menyerbu daunnya. Ia juga tidak pernah marah ketika pasukan semut yang menggelitiki buahnya, meminta Mentari untuk berbagai sedikit dengan mereka.

Hingga suatu ketika, ada tiga orang laki-laki yang berteduh di rimbunnya daun Mentari. Mentari sangat senang karena keberadaannya bermanfaat untuk manusia. Tapi tunggu dulu, apa yang mereka lakukan. Salah satu dari mereka mengeluarkan empat buah paku dan selembar poster. Satu orang yang lain membawa palu yang siap menerjang tubuh Mentari. rasa senang itu pun berganti dengan rasa takut. “Apa yang akan mereka lakukan padaku?” jerit Mentari dalam hati. Tok..tok..tok.. satu-persatu tubuh Mentari dihujani dengan paku hingga poster berisi iklan itu terpasang. “Aaah, tidaaak.. Jangan lakukan itu. Sakit!” keluh Mentari. usai memasang iklan itu, tiga orang itu pun pergi begitu saja.

Tubuh Mentari yang besar dan terletak di pinggir jalan menjadikannya sebagai sasaran empuk bagi para tangan tidak bertanggung jawab. Sejak saat itu, tidak jarang Mentari harus menahan sakitnya dipaku. Ia sering ditempeli berbagai macam iklan mulai dari iklan badut, baju, hingga iklan tambal ban. Alangkah kecewanya Mentari ketika pengabdiannya selama ini dibalas dengan kejahilan tangan manusia yang tidak bertanggung jawab.

“Manusia benar-benar sudah keterlaluan. Mereka tidak bisa menghormati makhluk hidup lain.” kata Mentari dengan geramnya. Tak lama kemudian Mentari harus merasakan rasa sakit lagi. “Aduuh.. panas.. Apa ini? Hentikan!” rintih Mentari. Mentari merasa kepanasan ketika sulutan api mulai berkobar di rantingnya. “Astaga.. di mana hati orang itu, kenapa ia membakar sampah di sini? Apakah ia tidak tahu bahwa aku kesakitan.” Terlihat seseorang dengan santai membakar sampah yang diletakkan pada akar Mentari.

“Kenapa manusia begitu berulah? Beberpa waktu yang lalu tubuhku dihujani paku, tadi pagi akarku disulut api, dan sekarang? Oh tidak. asap kendaraan bermotor dan pabrik ini mengharuskanku untuk bekerja ekstra.” gerutu Mentari. Akhir-akhir ini ulah manusia memang semakin kelewatan. Tapi Mentari tetap bertahan demi tugas mulai yang ia emban. “Jika aku menyerah, bagaimana kelangsungan hidup mereka? Bukankah aku pernah berjanji pada gadis berambut pirang itu untuk memenuhi semua harapannya? Baiklah, aku akan bertahan.” Kata Mentari dalam hati.

***

Nampaknya cuaca buruk yang terjadi akhir-akhir ini benar-benar menguji rasa cinta Mentari pada kelangsungan hidup manusia. Hujan lebar yang datang setiap sore seolah merobohkan pertahanan Mentari. apalagi angin kencang dan petir yang menyambar menjadi teman baru Mentari. Namun sore ini, perjuangan yang telah dilakukan Mentari puluhan tahun telah berakhir. Ia telah mati bersama dua orang korban di persimpangan jalan itu. Sesaat setelah angin yang bertiup kencang dan petir yang menyambar, Mentari yang tidak kuat lagi menahan terpaannya. Mentari pun tumbang dan menimpa dua orang pengendara bermotor yang melintas di persimpangan jalan itu. Keheningan sore itu seketika pecah ketika tangisan orang yang keluarganya menjadi korban pada tragedi melilukan ini. Tidak hanya manusia, tapi gerombolan rumput, rombongan ulat, pasukan burung dan semua sahabt Mentari pun ikut bersedih atas kepergian Mentari.

“Mentari benar-benar telah lelah, dia tidak dapat lagi menahan rasa sakitnya.” ucapku rumput lirih. Sebagai rumput yang telah lama tumbuh dan berdampingan dengan Mentari tentunya tidak mudah menerima kenyataan bahwa perjuangan Mentari mempertahankan hidupnya demi kelangsungan hidup manusia usai cukup di sini.

Sejenak aku berfikir, jika kita mengabaikan mengabaikan ‘mentari-mentari’ yang lain, bagaimana kelangsungan hidup kita? Akankah kita masih tetap mengabaikan rasa cinta dari salah satu makhluk Tuhan yang sering kita sebut dengan ‘pohon’ ini? Apakah kita lupa jika menjaga dan merawatnya sama dengan menjaga kelangsungan hidup anak cucu kita? Semoga rasa cinta Mentari pada kita terbalaskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun