[caption id="attachment_312448" align="aligncenter" width="238" caption="Merenung sendiri"][/caption] Hanya deretan lagu ini yang mengalun, berdendang dan bertaut pada playlistku, beberapa lagu dengan irama melow bergenre pop sampai melayu. Apa yang ku lihat tadi sore itu benar-benar meluluh lantakkan hatiku untuk kesekian kalinya, pikiranku kini melayang entah kemana. Sudah berapa liter air kuteguk, sudah dua kali seribu lima ratus mL dalam hanya sesaat tadi, rasanya haus dan haus seperti dalam dahaga yang sangat, kering seperti dipadang pasir yang tandus. Tak jauh dari keadaan ragaku, hatiku juga merasa begitu. Berkabut, kabut hitam yang tak jua hujan. Malam berlanjut menjadi kelam, meski diruanganku terpasang lampu neon extra hemat listrik berdaya 19 watt, sangat terang untuk menerangi kamar dengan ukuran 3x4 meter persegi. Alunan lagu masih berderet-deret, mendayu, memecah kegundahan hati yang kian membuncah, semakin terisis-iris kalau kata pinkan “cintaku t’lah dimutilasi”, begitu sadis kedengarannya. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas lebih, artinya hari sudah berganti menjadi pagi, jika menurut penanggalan masehi, tapi hari sudah berganti sejak maghrib tadi jika menurut perhitungan pergerakan bulan yang cahayanya hampir kembali berbulan sabit, ya, 25 Shafar. Sayup-sayup dan enggan kelaur dari peraduannya, cintanya pada sang mentari semakin terhalang bumi. *** Terheran dengan suara yang memekikkan telingaku, mata masih terpejam, batin menggerutu “itu suara apa?”. Ku buka mata dengan beratnya, “Ah, ternyata alarm dari ponselku yang berdering, mengganggu lelapku saja”. Tidak berapa lama, alarm pun mati, dan berbunyi lagi mengikuti perintah dalam setting alarm di makhluk hitam itu. Rupanya hari ini ada janji sepeda santai dengan adikku. Bergegas ku angkat badanku dengan rasa yang remuk dan berharap cahaya dan sinar mentari pagi kali ini dapat ku rasakan secara langsung dengan kesejukkannya. Ada juga alang rintang, pintu pagar dodol, sudah dikendalikan, gembok dengan gerigi yang sudah mulai tua itu tidak menurut padaku sampai tiga orang berturut-turut turut menjinakkannya, baru orang ketiga yang bisa membukanya, mungkin saatnya diganti dengan yang lebih kelihatan blink dengan gaya gotri, bukan gerigi. Ku kayuh sepeda dengan sedikit cepat menuju tempat dimana adikku menunggu. Rancu, sudah tiga kali ku itari, namun tak jua ku menemukannya. Tertegun sejenak di keramaian itu, banyak kerumunan orang bersepada jika weekend seperti ini, sekedar hobi atau hanya ingin menghirup udara pagi. Ya sudahlah, mungkin lain kali lagi, maaf, untuk pagi ini. Roda sepeda pusing bolak-balik, berputar dengan sudut yang hanya itu dan itu, berubah dan berubah mengikuti kemana ia dijalankan, ku coba tenangkan diri dengan menikmati pemandangan sekitar, riuhnya pagi dengan aktivitas jual-beli di pasar kecil yang ku lewati, ramai dengan obrolan khas tawar menawar, negosiasi sampai mendapatkan harga yang mereka inginkan dengan kata sepakat. Rupanya hati dan pikiran ini tidak bisa diajak negosiasi, sudah terlanjur terbuang dengan harga yang hampa. Kosong, tiada nyaring bunyinya. Sudah sampai kembali didepan pintu gerbang lagi, dan begitu perputaran, ia akan kembali ke tempat semula, karena itu tempatnya, disitulah peraduannya. Terjungkir, hatiku akan dikembalikan kemana, katanya tak mungkin, katanya tak bisa, katanya sudah menjadi terbuang. “Dan tak mungkin, Untuk kita bersama diatas perbedaan yang slamanya mengingkari Percayalah, cintaku, apa mungkin??” (Dygta-Tak Mungkin) Melantur dan roboh ragaku dilantai kamarku, bintang-bintang mengitar diatas kepalaku. Itu bukan bintang, itu kesakitan yang semu, kesakitan yang menghipnotis seluruh tubuh agar terlihat sedikit merendah, merendah tidak terus tegak berdiri dan angkuh, ada kalanya harus terjatuh, bukan tersungkur seperti ini. “Bukan karena ku takut salah, Tetapi, ku takut benar apa yang ku rasa. Pedih yang menghujam di sanubariku, Hancurkan keyakinan yang menjadi kekuatanku Aku jatuh lagi Sekali lagi, jatuh, Untuk sekian kali Namun kali ini, ku galau” (Titi DJ -Galau) Ku sandarkan diri pada meja kecil yang ada disudut kamarku, ku lihat sekeliling, hanya ada roommate-ku yang masih terlelap dengan tidurnya. Pukul tujuh sudah beranjak menuju pukul delapan, hari semakin siang dan Aku masih dalam balutan perasaan yang tidak juga mengenakkan. “Walau seharusnya bisa saja dulu aku menghindar Dari pahitnya cinta Namun ku pilih begini Biar ku terima sakit demi jalani cinta”. (Tangga-Tak Mungkin Berhenti) Pandanganku lurus ke depan, namun kosong, air mata jatuh seketika. “Aku kenapa, kenapa lagi?”. Sungguh pertanyaan yang tak harus dijawab, namun jawabannya juga entah apa, segar mengalir dengan seketika. “'Cause I'm broken when I'm open And I don't feel like I am strong enough 'Cause I'm broken when I'm lonesome And I don't feel right when you're gone away You've gone away You don't feel me here anymore”. (Seether & Amy Lee – Broken) Pandangan menatap lurus ke depan, namun kosong ntah apa yang dipikirkan, desir angin pun sampai tak dirasakan, berlalu begitu saja. Dan butiran air matapun masih senantiasa menetik, menemani. “Lamunanku t’lah membisu Waktu yang berlalu Tinggalkan kita Ku ada disini tanpa nuranimu Ku telah berlabuh didalam hatimu Sendiri lagi Ku tanpa dirimu”. (Ada Band-Lagu Terakhir) - Di tengah menuju siang -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H