Banyak kota-kota yang dulunya hidup dan berkembang kini telah berubah menjadi tanah terlantar yang terabaikan yang membiakkan penjahat dan penyakit. Ini adalah fenomena yang terjadi di seluruh dunia, dan penyebabnya ada banyak. Sosiolog menyebut fenomena ini sebagai urban decay, atau kerusakan kota.
Kerusakan kota adalah kehancuran bertahap dari sebagian atau keseluruhan kota yang sebelumnya berfungsi. Kerusakan kota dapat terdiri dari deindustrialisasi, depopulasi, restrukturisasi ekonomi, bangunan dan infrastruktur yang terbengkalai, tingkat pengangguran yang tinggi, kemiskinan yang meningkat, keluarga yang terfragmentasi, standar dan kualitas hidup yang rendah, kejahatan, dan peningkatan tingkat polusi.
Hampir semua kota yang mengalami penurunan kualitas juga mengalami penyusutan jumlah penduduk. Sampai tahun 1970-an dan 1980-an, penyusutan penduduk kota hampir secara eksklusif diamati di negara-negara maju, yang merupakan dimana sekitar 70% kota yang mengalami penyusutan berada, khususnya di Amerika Serikat, Inggris Raya, dan Jerman. Jumlah kota yang menyusut mulai meledak pada 1990-an, mempengaruhi lebih dari seperempat kota dengan populasi lebih dari 100.000. Negara-negara berkembang tidak luput, dan bahkan kota-kota mereka yang sangat besar terkadang terpengaruh. Di antara 414 aglomerasi perkotaan terbesar di dunia (dengan populasi lebih dari satu juta) yang diidentifikasi oleh PBB, 30 kota mengalami penurunan penduduk antara tahun 2000 dan 2005.
Kota-kota yang dulunya tempat kemakmuran, kedamaian, dan kebahagiaan kini menjadi mangsa berbagai fenomena seperti kehancuran ekonomi, keresahan sosial, sarang kejahatan, dan vandalisme. Kota yang terbengkalai, di gedung-gedungnya yang terbengkalai, sering menjadi rumah bagi para pengedar narkoba, pecandu, PSK, dan penjahat. Alasan lainnya adanya kerusakan kota adalah perkembangan, baik ekonomi maupun sosial, dari beberapa daerah lain yang berdekatan, sehingga penduduk bermigrasi untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik, menyebabkan berkurangnya penduduk di kota asal.
Salah satu alasan lain adalah pengendalian sewa, yaitu peraturan-peraturan yang menetapkan biaya sewa yang dapat dibebankan. Pembatasan ini dapat berlanjut di antara masa sewa, atau hanya dapat diterapkan dalam durasi masa sewa. Pengendalian sewa sering diberlakukan karena tekanan publik dan keluhan tentang tingginya biaya hidup. Para pendukung kontrol sewa berpendapat bahwa kontrol sewa memerangi inflasi, menstabilkan ekonomi penduduk kota, mencegah pencungkilan harga sewa menjadi tidak masuk akal, dan meningkatkan kualitas perumahan. Para ekonom telah mencatat bahwa pengendalian sewa mempengaruhi hubungan penawaran dan permintaan di pasar perumahan yang dapat berkontribusi pada masalah perkotaan dan tidak memberikan manfaat yang telah disebut oleh pendukungnya. Pengendalian sewa berkontribusi pada kerusakan perkotaan dengan mengurangi konstruksi dan investasi baru dalam perumahan dan mengurangi perawatan. Jika biaya pemilik untuk melakukan pemeliharaan memakan proporsi keuntungan yang terlalu besar, pemilik akan merasakan tekanan untuk mengurangi atau menghilangkan pemeliharaan seluruhnya.
Pemerintah di banyak negara di dunia telah menyadari adanya masalah kerusakan kota dan telah mengambil langkah aktif untuk memulihkan keadaan di area kota yang dianggap melahirkan masalah kota. Selain itu, langkah-langkah telah diambil untuk mengendalikan depopulasi dan memelihara suasana ekonomi dan sosial yang stabil bagi setiap individu. Deindustrialisasi telah diidentifikasi sebagai alasan utama yang menyebabkan stagnasi ekonomi, depopulasi, peningkatan aktivitas ilegal, dan kerusakan perkotaan. Rencana regenerasi terus dirumuskan untuk merevitalisasi kota-kota yang menderita akibat keadaan yang tidak menguntungkan ini.
Tanggapan utama terhadap kerusakan perkotaan telah melalui intervensi dan kebijakan publik yang positif, melalui sejumlah besar inisiatif, aliran pendanaan, dan lembaga. Gentrifikasi juga memiliki efek yang signifikan, dan tetap menjadi solusi utama untuk memperbaiki keadaan kota.
Di Amerika Serikat, kebijakan pemerintah pada awalnya termasuk pembaruan perkotaan dan pembangunan proyek perumahan skala besar untuk orang miskin. Pembaruan perkotaan melibatkan penggusuran banyak lingkungan di dalam kota. Dalam banyak hal, ini lebih merupakan penyebab kerusakan kota, bukan solusinya. Upaya pemerintah ini sekarang dianggap salah arah oleh banyak orang. Untuk berbagai alasan termasuk meningkatnya permintaan akan fasilitas perkotaan, beberapa kota telah pulih dari kesalahan kebijakan ini.
Di Eropa Barat, solusinya seringkali lebih drastis, dengan proyek perumahan tahun 1960-an dan 70-an dihancurkan total dan dibangun kembali dengan gaya perkotaan Eropa yang lebih tradisional, dengan campuran jenis, ukuran, harga, dan kepemilikan rumah, serta campuran penggunaan lain seperti ritel atau komersial.