Mohon tunggu...
Seto Wicaksono
Seto Wicaksono Mohon Tunggu... Human Resources - Recruiter

Menulis, katarsis. | Bisa disapa melalui akun Twitter dan Instagram @setowicaksono.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Hopeless of Job: Efek Laten dari Badai PHK yang Perlu Ditangani Secara Serius

16 Agustus 2024   19:00 Diperbarui: 17 Agustus 2024   19:31 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi PHK |  Freepik via Kompas.com

Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) via CNBC Indonesia, 369,5 ribu anak muda dengan rentang usia 15-29 tahun yang masuk golongan hopeless of job.

Lebih lanjut lagi, hopeless of job juga dipicu karena kurangnya lapangan pekerjaan di sektor formal, hingga tidak sesuainya antara lapangan pekerjaan dengan latar belakang pendidikan.

Tentu saja, ini bukan masalah sepele. Mengingat saat ini, normalisasi akan ketimpangan di dunia kerja banyak sekali yang dibiarkan menguap begitu saja.

Satu contoh kasus paling kontras adalah upah di bawah UMR. Ini menjadi efek laten nyata dan para pencari kerja hanya bisa pasrah menerima. Sebab, mereka tidak punya banyak pilihan, selain: daripada nganggur, nggak produktif, dan nggak kunjung dapat (pengalaman) kerja. Mending kerja dulu, lah, walaupun upah di bawah UMR.

Hal tersebut menjadi praktik yang sangat miris sekali di dunia kerja. Ditambah sebagian perusahaan medioker---untuk tidak menyebutnya bajingan---yang petantang-petenteng memanfaatkan situasi ini, sambil bergumam, "Mau nggak? Kalau mau (upah di bawah UMR ini), ambil. Yang penting bisa bekerja dulu. Kalau nggak, ya, sudah."

Pada titik tertentu, akhirnya asas saling membutuhkan, menemukan, dan saling sepakat antara perusahaan dengan calon pekerja, sulit diimplementasikan lagi. Sebab, yang tersisa di lapangan hanya gelembung kekhawatiran, "Ya, sudah. Saya terima, yang penting bisa kerja lebih dulu, walaupun upah di bawa UMR."

Tapi, jangan salah paham dulu. Saya menyampaikan secuil efek laten tersebut bukan untuk menebar kekhawatiran. Lebih dari itu, saya ingin adanya antisipasi sekaligus regulasi yang jelas dari penentu kebijakan, untuk mengatasi ketimpangan tersebut. Agar para pencari kerja maupun pekerja aktif, bisa keluar dari gelembung hopeless of job. Sekaligus memastikan bahwa praktik kecurangan bisa diredam dan dikubur dalam-dalam.

Menyedihkannya, di antara banyaknya HRD, sebagian di antaranya selalu ada yang menormalisasi ketimpangan tersebut dan tidak mau ambil pusing sambil berkata, "Ya mau gimana lagi?" Sebagai sesama pekerja yang bergelut di bidang ini, saya merasa campur aduk: sedih, miris, dan sangat marah. Apalagi jika ia adalah kerabat atau kenalan lama.

Begini. Saya selalu meyakini bahwa, pada dasarnya, baik para pencari kerja maupun pekerja aktif, layak dan berhak mendapat pekerjaan yang diinginkan, diimbangi dengan paket benefit yang lebih baik dari sebelumnya. Jika ideal adalah kata yang terlalu berat untuk digunakan, ya, normalnya demikian. Dan jika hal tersebut tidak mendapat titik temu, artinya ada yang perlu diperbaiki dari sisi regulasi. Sayangnya, celah besar ini seakan tidak dipikirkan secara serius.

Soal ini, masa harus kita-kita juga, sih, para pekerja atau pencari kerja, yang merancang solusi bagi satu dan lainnya? Sudah hopeless karena tak kunjung dapat pekerjaan (yang diinginkan dan lebih baik), sebagai rakyat biasa, selain harus memikirkan bagaimana caranya bertahan hidup dari hari ke hari, malah dapat job desc tambahan sekaligus mumet sendiri. Malang betul nasib kami sebagai rakyat biasa ini.

Maksud saya, apakah penentu kebijakan bisa lebih fokus dan serius dalam menangani masalah hopeless of job sekaligus upah layak, PHK, serta persoalan lainnya di dunia kerja? Sebab, jika dibiarkan begitu saja, dianggap sepele, dan tidak ada pergerakan pasti ke arah lebih baik, masalah di dunia kerja akan semakin menumpuk, serta berpotensi terus berulang. Dan sebagai rakyat biasa, seperti yang sudah-sudah, kami hanya bisa pasrah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun