Saya mencintai profesi saya sebagai rekruter dengan segala deskripsi pekerjaan yang dilakukan. Screening CV, menghubungi/mewawancara kandidat, dan memberikan serangkaian tes sesuai kebutuhan.
Semuanya tergabung menjadi satu kesatuan dan sulit terpisahkan. Meski sulit dimungkiri, beberapa hal seperti: menyusun report, berhadapan dengan target sekaligus deadline, terkadang menjadi momok yang bikin pening ubun-ubun.
Namun, di sisi lain, saya sangat menyadari bahwa segala yang saya alami dan hadapi, merupakan bagian dari pekerjaan yang tidak mungkin dihindari. Mau nggak mau, suka atau tidak, harus diselesaikan.
Selama bekerja sebagai rekruter, saya terbiasa melakukan serangkaian proses end to end secara offline-konvensional-bertatap muka dengan para pelamar kerja.
Rasanya sangat menyenangkan, seakan ini adalah passion yang sulit tergantikan. Sampai akhirnya badai covid-19 datang tanpa diundang dan bikin susah banyak perusahaan, juga segala lini di ruang lingkup pekerjaan. Termasuk para HRD, karyawan, dan pelamar kerja.
Kalau covid-19 serupa pelamar kerja, sumpah demi apa pun, nggak akan saya proses sama sekali dan nggak lolos screening awal. Semisal terlanjur lolos screening dan harus diwawancara, prosesnya nggak akan saya teruskan untuk bertemu dengan user. Kalaupun ternyata lolos sampai diterima kerja, haqulyakin, pasti akan dibenci orang sekantor karena hobi bikin masalah. Toxic. Sampai akhirnya kena SP-3 lalu dikeluarkan dari kantor dengan tidak hormat.
Nggak, deng. Canda. Hehehe.
Lha, gimana. Karena covid-19 yang menyengsarakan banyak orang itu, proses seleksi karyawan secara langsung dan tatap muka yang saya sukai pun harus ikut beradaptasi.
Secara perlahan prosesnya beralih menjadi online atau dalam format digital. Termasuk wawancara tahap awal, psikotes, sampai dengan sosialisasi kontrak kerja.
Jujur saja, saat ini, saya merasa kehilangan sekaligus merindukan beberapa momen ketika melakukan proses seleksi karyawan secara langsung/tatap muka.