Saya memutuskan untuk menikahi seorang wanita yang saya cintai pada usia 24 tahun. Saat memutuskan untuk menikah di usia yang tergolong muda, ada pro dan kontra di antara beberapa kerabat.
Pertanyaan berbau penolakan seperti, "Yakin, mau nikah di usia segitu? Nggak mau ngejar karir dulu aja?" Atau "Yakin, perempuan itu adalah pilihan terakhir? Jangan sampai setelah menikah, malah masih lirik sana-sini!", dan seterusnya dan seterusnya kerap saya dengar. Meski tidak sedikit pula yang mendukung keputusan saya. Mau bagaimana pun, hal ini sudah menjadi bagian dari pilihan hidup.
Dalam prosesnya, hingga saat ini, tidak terbesit sedikit pun penyesalan bagi saya. Begitu pula dengan pasangan saya yang, sejak awal berpacaran, kami sudah punya kebiasaan untuk berdiskusi tentang beragam hal.
Kebiasaan diskusi atau brainstorming tetap kami lakukan sampai dengan saat ini. Bahkan ketika kami sudah dianugerahi seorang sahabat kecil, yang saat ini usianya sudah empat tahun.
Berdasarkan diskusi dan kesepakatan yang sudah kami lakukan, soal jumlah anak, kami berencana memiliki dua anak. Tiga menjadi angka maksimal.
Paling tidak, itu menjadi bagian dari rencana kami. Kalaupun tidak terwujud, bukan masalah. Lantaran, hal tersebut menjadi bagian dari hak prerogatif Tuhan yang tidak bisa diganggu gugat.
Kendati demikian, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan sekaligus bahan brainstorming saya dan istri, sebelum merencanakan kehamilan yang kedua sampai dengan anak tersebut lahir. Beberapa diantaranya:
Pertama, pembagian waktu mengasuh anak antara saya dan pasangan agar bisa mendapatkan bonding yang cukup dan tepat.
Tidak bisa tidak. Memiliki satu, dua, atau berapa pun anak, orang tua harus bisa membagi waktunya dengan anak. Apalagi pada masa usia keemasan (golden age). Tujuannya agar bisa memaksimalkan segala potensi anak dan mendapatkan kasih sayang yang pas.
Kedua, tabungan yang cukup untuk hidup; termasuk dana pendidikan, dana tak terduga, dan lain sebagainya.