Saya termasuk orang yang percaya bahwa segala sesuatu bisa dinilai dari dua sudut pandang, bahkan bisa jadi lebih. Termasuk soal prokrastinasi.
Sebagian orang merasa bahwa prokrastinasi---atau menunda-nunda untuk mengerjakan sesuatu---adalah hal yang sia-sia, tiada guna, sekaligus nirfaedah. Namun, bagi orang lain, prokrastinasi malah bisa menjadi kenikmatan tersendiri.
Saya bisa mengetahui hal tersebut, ketika mendapat tugas sewaktu kuliah. Mewawancarai beberapa mahasiswa dan rekan yang sudah bekerja, terkait pengalaman dan kiat mereka dalam melawan prokrastinasi. Apakah mereka menikmati, menghindari, atau justru sudah melakukan antisipasi sejak dini.
Setelah verbatim terkumpul, akhirnya saya coba rangkum ragam alasan mengapa seseorang (dari kalangan mahasiswa sampai dengan pekerja) melakukan prokrastinasi.
Pertama, karena ada hal lain yang lebih diprioritaskan.
Prokrastinasi sering diasosiasikan dengan sifat pemalas dan tidak bisa menentukan prioritas utama. Padahal, jika dilihat dari sisi lain, setiap orang punya alasan untuk melakukan prokrastinasi.
Misalnya saja dalam pengerjaan skripsi. Saya tidak bermaksud membela mahasiswa yang terlihat niat nggak niat dalam menyelesaikan skripsi, apalagi yang sudah kebingungan dari awal bagaimana caranya membuka percakapan yang baik dengan dosen pembimbing.
Akan tetapi, hal ini tentu tidak bisa dipukul rata. Mahasiswa pun memiliki alasan ketika melakukan prokrastinasi.
Salah satu teman kuliah saya misalnya, dia rela menunda pengerjaan skripsi karena lebih memilih fokus bekerja lebih dulu agar dapat bayar kuliah dengan penghasilan sendiri. Konsekuensinya tentu akan terlambat wisuda. Namun, dia tidak memiliki pilihan lain.
Dengan persetujuan dosen pembimbing, akhirnya dia cuti kuliah sekitar dua tahun, setelah itu langsung ngebut menyelesaikan tugas akhirnya sebagai mahasiswa.