Suatu ketika, saya sempat dibingungkan oleh banyak orang yang ketika bisa membawa air minum sendiri dari rumahnya, mereka justru lebih memilih membelinya dengan berbagai alasan.Â
Dari mulai ribet sampai dengan berat. Padahal, banyak yang sudah menyadari, minum menjadi salah satu kebutuhan dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Saya sendiri, jika masih bisa membawa air mineral dari rumah, pastinya lebih memilih melakukan hal tersebut.
Kecuali jika memang air yang dibawa dari rumah sudah betul-betul habis, mau tidak mau ketika ingin minum, saya akan membeli air mineral baru di warung atau mini market terdekat.
Setelah itu, banyak dari teman saya yang ketika haus, alih-alih berkata mau membeli air mineral, mereka justru berkata mau membeli AQUA (salah satu produk air mineral yang kita semua tahu memiliki nama besar).Â
Ketika mereka kembali dari warung, yang mereka bawa justru air mineral dengan merek lain. Saya pikir, stoknya mungkin sedang habis. Nyatanya bukan seperti itu. Bagi banyak teman saya, AQUA itu ya air minum. Apa pun merek air mineralnya, dibilangnya ya AQUA.
Saya pikir, bukan hanya teman saya yang seperti demikian. Banyak diantara masyarakat kita juga melakukan yang sama dalam hal generalisasi merek juga beberapa produk.Â
Dari sudut pandang saya, hal tersebut bisa terjadi karena beberapa faktor, paling utama sih kebiasaan. Selain itu, besar dan "menjamur"-nya penjualan sekaligus pemasaran suatu produk di lingkungan sekitar juga bisa dijadikan alasan lain.Â
Oleh karenanya, kita terbiasa melihat juga mendengar produk tersebut sampai akhirnya menyebut mereknya sebagai sesuatu yang kita konsumsi.
Kalau pun ada alasan lain, biasanya lebih kepada biar nggak ribet saja atau belum tahu sama sekali, sih. Dengan menyebut AQUA, ya semua orang pun sudah tahu itu adalah air minum. Sederhananya, bagi kebanyakan orang di Indonesia, semua air mineral adalah AQUA.
Hal serupa juga terjadi saat seseorang lebih banyak yang menyebut pasta gigi dengan sebutan odol. Padahal, perlu diketahui, Odol adalah salah satu merek pasta gigi ternama asal Jerman kepunyaan Karl August Lingner (1861-1916).Â
Melansir dari Tirto, pada masanya, Odol memproduksi obat perawatan gigi, gusi, mulut dan tenggorokan. Baik berupa obat kumur atau pasta gigi. Produk tersebut dijual ke 20 negara, salah satunya Hindia Belanda---yang kemudian menjadi Indonesia.
Dan lagi, alih-alih menyebutnya sebagai pasta gigi, kebanyakan orang Indonesia malah lebih familiar dengan nama Odol. Sekali lagi, bagi kebanyakan orang di Indonesia, semua pasta gigi adalah Odol.
Karena sudah dimaklumi oleh kebanyakan orang, rasanya sulit untuk menghilangkan kebiasaan ini. Rasa-rasanya, dalam jangka waktu yang cukup panjang, banyak orang yang akan tetap menggeneralisasi merek.Â
Bahkan untuk beberapa produk, termasuk camilan. Saya juga cukup yakin, sampai dengan saat ini masih banyak orang yang menyebut camilan ringan---apa pun itu---dengan istilah chiki. Padahal, chiki kan salah satu merek snack ternama. Hehehe.
Kendala lain, ketika ada seseorang mengatakan hal yang memang benar adanya soal penyebutan merek, biasanya malah dicap sebagai sosok kaku juga ribet. Dan bagi kebanyakan orang, intinya kan sama dan terpenting, sama-sama mengerti apa yang dimaksud.Â
Tapi, sudah sewajarnya jika memang ada yang berniat meluruskan, menyampaikan yang benar terkait penyebutan merek suatu produk. Kan, nggak selamanya kita ada dalam pusaran kesalahan yang dianggap benar hanya karena suatu informasi terus disampaikan berulang-ulang.
Merek yang sudah terlanjur dikenal sekaligus disebut oleh banyak orang kemudian digeneralisir, tentu memiliki perjalanannya sendiri dalam meraih pangsa pasar khususnya di Indonesia.Â
Bahkan, lebih dari itu, disadari atau tidak, mereka sudah menjadi pionir bagi merek lain dengan produk yang sama. Entah AQUA, Odol, Chiki, Honda (untuk kendaraan bermotor), dan lain sebagainya. Secara personal, bisa jadi ada romantisasi bagi para penggunanya.
Seperti saya misalnya, yang sewaktu kecil seringkali diminta ke warung oleh Ibu untuk membeli Rinso. Kemudian ketika tiba di rumah membawa detergen bermerek So Klin, Ibu tidak marah sama sekali.Â
Bagi beliau, yang penting itu fungsinya sama. Persoalan beda merek, bukan menjadi masalah. Ya, seperti itu mungkin gambaran banyak orang yang menggeneralisir merek dalam kehidupan sehari-hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H