Mohon tunggu...
Seto Permada
Seto Permada Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Penulis Konten

Penulis Cerpen

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Siapakah yang Bisa Disebut Berpendidikan?

7 September 2017   20:49 Diperbarui: 7 September 2017   21:00 1342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam buku "You Can Win", Shiv Khera mengatakan kalau orang baru bisa disebut berpendidikan setelah memenuhi dua kriteria ini.

Pertama, mereka yang bisa mengelola dengan baik kesempatan yang didapatkan setiap hari. Ini artinya hari-hari yang dilalui oleh seseorang merupakan kesempatan. Secara sederhana, waktu adalah kesempatan untuk siapa pun. Pada hari-hari tersebut ia yang berpendidikan bisa menilai situasi dengan tepat saat timbulnya dan jarang melenceng dari jalur yang benar. Ini kriteria yang pertama.

Kriteria yang kedua, mereka yang dihormati dalam hubungannya dengan semua orang. Semua, tidak terkecuali. Semua orang berpendidikan pasti bisa menempatkan posisi di mana pun berada. Apakah ia ada di sekeliling orang berperangai buruk, orang intelek, dan lain sebagainya. Ia selalu tampil jadi pribadi yang menyenangkan.

Banyak yang masih beranggapan bahwa "pendidikan" memiliki padanan kata "sekolah". Dengan kata lain, orang-orang yang bersekolah dialah yang berpendidikan. Jadi, inilah yang menjadi patokan ketika suatu badan usaha atau perusahaan akan merekrut pegawai baru. Padahal tidak begitu.

Di sekolah memang diajarkan cara mencapai nilai bagus. Tapi bukan itu yang penting. Dalam sekolah yang maju seperti Finlandia, pendidikan moral lebih banyak diterapkan daripada pendidikan akademis. Ketika sebuah sekolah atau universitas lebih memberlakukan pendidikan moral daripada segalanya, akan ada dua keuntungan besar: pertama, para peserta didik akan selalu dirangsang untuk memiliki sikap positif; kedua, dengan pendidikan moral yang baik mereka akan lebih menghargai diri sendiri.

Inilah yang kerap hilang dan jarang diajarkan secara rutin di sekolah-sekolah. Bahkan masih banyak yang mengklaim bahwa murid yang memiliki nilai rapor tertinggi, pertanda dia berhasil. Sebagai akibatnya, ia akan mendapat banyak perhatian berupa beasiswa prestasi, dan suntikan dana untuk biaya sekolah tingkat lanjut.

Lalu, bagaimana dengan murid yang berperilaku baik dan selalu berupaya menghargai usaha sendiri namun hasil nilai akademisnya kurang begitu baik? Biasanya banyak yang mengabaikan dan menganggapnya tidak penting alias tidak istimewa.

Namun saya bersyukur sekali pendidikan sekolah yang sekarang mengalami kemajuan. Terutama dalam membentuk nilai-nilai moral. Ini terjadi pada keponakan saya sendiri. Ketika ia pulang sekolah, saya hadang. Jadi, ia belum boleh masuk rumahnya sebelum menjawab pertanyaan saya. Jawaban yang ia dapat betul-betul mengejutkan saya. Jawaban yang ia katakan jauh berbeda dengan apa yang saya alami ketika masih mengenakan seragam selama 12 tahun. Begini curhatnya:

"Dek, tadi di sekolah ngapain aja?" tanya saya.

"Bermain, Paman. Kata Bu Guru bermain sambil belajar."

Mulai dari penuturan itu, saya semakin tertarik bertanya lebih lanjut. Dengan jawaban itu saya yakin kalau keponakan saya siap menjalani masa-masa pembinaan di Sekolah Dasar kelas 1. Selamat berjuang. Ini lanjutan pertanyaan saya.

"Wah, caranya bagaimana?"

"Macam-macam, Paman. Tadi anak-anak di kelas dibagi menjadi berbagai grup. Aku masuk grup Melati."

"Terus?"

"Di grup itu Bu Guru ngasih buku satu-satu. Terus kami disuruh ngapain aja sesukanya. Ada yang baca, ada yang bermain pesawat-pesawatan pakai buku yang dikasih Bu Guru. Ada yang nggambar di buku. Ada yang bercakap-cakap seperti dongeng yang dibaca. Pokoknya banyak, Paman."

"Bu Guru tidak marah ada temenmu yang tidak membaca?"

Dia hanya menggeleng.

Sebagai gambaran, keponakan saya berumur 7 tahun belum genap. Ketika belum masuk sekolah dia sudah pandai membaca dan menulis. Tak heran kalau gaya deskripsi dalam berceritanya runut sekali. Setelah itu saya peluk. Berarti gurunya perhatian. Kata dia, pada saat yang sama, ia membaca cerita yang panjang sekali. Katanya capek, soalnya dia baca yang paling banyak di antara seluruh kelas.

Langsung saja saya peluk. Terus saya biarkan masuk. Saya suruh cerita itu diceritakan ulang pada mamanya biar senang.

Inilah pendidikan yang hilang pada zaman saya sekolah. Pada waktu itu, seluruh anak di sekolah seakan-akan dipaksa untuk belajar, dipaksa untuk membaca. Bahkan ada yang menakut-nakuti kalau tidak belajar tidak akan lulus Ujian Nasional. Seakan-akan Ujian Nasional adalah bagian terpenting dalam suatu pembelajaran di sekolah. Alhasil, saya hanya belajar ketika akan menghadapi tes dan ujian saja. Selebihnya? Saya tidak berminat sama sekali. Saya menganggap membaca buku adalah hal yang merepotkan, lebih asyik bermain.

Pada masa saya sekolah, pikiran sudah dicuci agar menganggap sekolah bertujuan untuk mendapatkan ijazah. Padahal, bukan itu yang penting, melainkan prosesnya. Saya baru menyadari arti pendidikan di sekolah yang penting. Ialah persahabatan, bermain bersama kawan-kawan, dan kelenturan dalam belajar. Itu yang sebenarnya saya dambakan pada masa itu. Jadi, ketika ingin belajar memang benar-benar ingin belajar, bukan karena terpaksa.

Oleh karena itu, saya berani mengatakan bahwa guru terbaik di sekolah adalah ia yang bisa memberikan kenyamanan untuk murid-muridnya. Ia yang bisa mengetahui keinginan dari mayoritas muridnya. Ia yang bisa mengambil perhatian murid-muridnya. Bukan ia yang menakut-nakuti dengan hasil rapor buruk, tidak naik sekolah, dan tidak lulus Ujian Nasional? Bukan.

Menurut saya bahkan rapor buruk, tidak naik sekolah, dan tidak lulus bukan hal yang penting. Ketika seseorang sudah lulus dalam penerapan nilai moral, berarti dia sudah lulus menurut versi yang lebih luas. Yakni lulus ujian kehidupan. Dari sana, seseorang akan membentuk dirinya jadi apa dan mau bagaimana.

Upaya menakut-nakuti memang efektif untuk membuat peserta didik mematuhi setiap perintahnya. Tetapi itu hanya sebatas lingkup penglihatan saja. Jauh di dasar hati, mereka tidak senang. Mereka merasa terpaksa. Apa artinya kalau terpaksa? Efek pembelajaran akan mudah dilupakan dan tidak maksimal. Ketika seorang pendidik telah membuat muridnya jatuh cinta dengan gayanya mendidik, maka hasilnya pun jauh lebih optimal. Jauh daripada itu, seumur hidup sang murid akan selalu mengenang setiap momen terbaik itu.

Dalam kehidupan saya sendiri, selama 12 tahun belajar di sekolah hanya menemukan satu guru yang benar-benar membuat saya nyaman di kelas. Namanya tidak perlu disebutkan. Efek yang ditimbulkan sangat besar. Bahkan semua teman di kelas turut merasakannya. Jangan ditanya ketika ulangan harian dan tugas lainnya. Sebelum diberi materi, kami sudah paham, soalnya lebih dulu mencarinya di internet. Kami menganggap nilai pembelajaran yang lebih penting sehingga pelajaran Matematika yang menurut sebagian orang susah pun di mata kami sangat menarik. Itulah guru yang berhasil menurut saya.

Jika merujuk apa yang dikatakan oleh Shiv Khera di atas, apakah orang yang bersekolah berarti semuanya berpendidikan? Tidak semuanya. Mereka yang berpendidikan baru kelihatan ketika sudah terjun ke dalam masyarakat. Dari sanalah letak kualifikasinya.

Apakah orang yang tidak pernah bersekolah punya potensi disebut sebagai orang berpendidikan? Sangat. Apakah sekolah itu penting? Penting, sejauh rutin berupaya menanamkan pesan moral peserta didiknya. Sehingga begitu mereka lulus atau keluar sekolah akan menjadi generasi penerus bangsa yang cemerlang lahir-batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun