Mohon tunggu...
Seto Galih Pratomo
Seto Galih Pratomo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis - Jurnalis - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Anggota Parlemen Remaja DPR-RI

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Evaluasi Aksi Tolak Omnibus Law: Presiden Mengusulkan, Rakyat Menolak

9 Oktober 2020   13:52 Diperbarui: 9 Oktober 2020   19:38 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Massa aksi Tolak Omnibus di sekitar Istana Negara (foto: Arsip Penulis)

Indonesia mengalami kejolak baru selepas penolakan besar-besaran terutama oleh Mahasiswa dan Buruh. RUU KUHP dan RUU KPK pada akhir tahun 2019 yang lalu yang bertajuk #reformasidikorupsi yang memakan korban jiwa, setidaknya ada 10 korban meninggal dunia. RUU KUHP yang mampu dijegal dan ditunda namun RUU KPK lolos dan disahkan. Banyak polemik dan penolakan hadir dengan disahkan UU KPK. Setelah itu muncul kembali pembahasan kontroversial yang ditolak oleh rakyat yaitu UU Omnibus law Cipta Kerja. Sejak 7 Februari 2020, Presiden RI Joko Widodo meminta dan mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan nomor R-06/Pres/02/2020 dengan sifat segera kepada DPR-RI untuk dibahas dan disahkan secara prioritas utama. Hal ini Presiden Joko Widodo menugaskan Menteri-Menterinya untuk mewakilinya dalam keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut yaitu Menko Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Bappenas, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Menteri PUPR, dan Menteri Pertanian. Serta ditanda tangani langsung oleh Presiden Joko Widodo. Dalam Pidatonya pada Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan 2020, Presiden Joko Widodo mengungkapkan angkat mengangkat dua jempolnya kalau DPR RI dapat menyelesaikan RUU Cipta Kerja dalam 100 hari yang terdapat 1244 pasal yang harus diselesaikan. Menurutnya akan ada perubahan besar nantinya.

Serta dikutip dari laman dpr.go.id yang dalam hal ini disampaikan oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani yang menerima draf Rancangan Undang-Undang Omnibus law Cipta Kerja dari Pemerintah lewat Menteri-Menterinya yang terdiri dari 79 Rancangan Undang-Undang meliputi 15 Bab dengan 174 Pasal yang akan dibahas dan disahkan di DPR RI bersama Pemerintah dan DPD RI. Namun tidak menunggu lama pada bulan Oktober tanggal 3, Undang-Undang ini sudah naik ke tahap Keputusan Tingkat 1 dan disetujui naik ke Paripurna. Pada hari Senin, 6 Oktober 2020 DPR RI menggelar Sidang Paripurna dengan salah satu agendanya untuk mengesahkan RUU Omnibus law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang sidang dipimpin oleh Azis Syamsudin sebagai Wakil Ketua DPR RI. Turut hadir Airlangga Hartanto sebagai Menko Perekonomian yang mewakili Pemerintah.

Sejak pengajuan draf RUU sampai pengesahan menjadi Undang-Undang tersebut banyak menuai protes dari berbagai kalangan masyarakat dan organisasi terutama organisasi buruh serta organisasi keagamaan seperti yang disampaikan oleh PBNU dan PP Muhammadiyah yang menyebut Undang-Undang ini penuh kezaliman kepada rakyat biasa dan hanya menguntungkan segolongan pihak --investor. Puncak daripada protes tersebut ketika pengesahan pada Senin, 5 Oktober 2020 yang sebelumnya dijadwalkan pada 8 Oktober 2020. Pada saat itu ramai-ramai rakyat turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasi mereka dalam menolak UU Cipta Kerja. Rakyat dari berbagai lapisan menolak hal tersebut dan banyak yang turun ke jalan pada paska pengesahan yang dilakukan oleh Buruh, Petani, Mahasiswa, hingga Pelajar di berbagai daerah. Banyak tindakan represif aparat yang dilakukan kepada para demonstran. Dan Aksi Seruan Nasional dengan tajuk Tolak Omnibus law dengan mengajukan Mosi Tidak Percaya yang dilaksanakan pada Kamis, 8 Oktober 2020 yang dipusatkan pada Istana Negara dan sebagian ada di gedung DPR-RI serta digelar di berbagai daerah penjuru Indonesia dengan serentak mengemukakan aspirasinya ke DPRD masing-masing. Penulis yang juga ikut turun aksi melihat berbagai elemen masyarakat yang bergabung dengan membawa mobil komando masing-masing yang tersebar dibeberapa titik.

Namun tidak berselang lama meletus tembakan gas air mata secara membabi buta dari aparat pada pukul 15.00 WIB ketika para demonstran mengemukakan pendapatnya. Sejak itulah terjadi chaos yang tidak bisa dihindarkan yang memaksa para demonstran untuk mundur, namun kembali lagi untuk melakukan perlawanan kepada aparat. Kejadian-kejadian anarkis terjadi, baik yang dilakukan oleh demonstran maupun aparat. Mulai dari aparat yang mempersekusi para demonstran sampai menangkapnya. Padahal negara Indonesia adalah negara demokrasi berarti dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat yang di dalamnya menjamin kebebasan rakyat untuk bersuara yang dijamin dalam UUD 1945 Pasal 28 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan” serta UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat. Tapi pada kenyataannya masih banyak yang dibungkam dan dilarang untuk menyalurkan aspirasinya, salah satunya pelarangan menggelar demonstrasi Omnibus law yang dikeluarkan oleh Polri, namun rakyat Indonesia tetap menggelar demonstrasi. Maka banyak penyegatan oleh aparat kepada demonstran untuk mengikuti Aksi tersebut salah satunya dicegat di Stasiun dan perbatasan-perbatasan sekitar Jakarta.

Menurut Kabid Humas Polda Jaya, Kombes Yusri Yunus mengungkapkan Polisi telah meringkus hampir 1.000 orang terkait kerusuhan disaat demonstrasi dilangsungkan dengan dalih anarko dan perusuh. Namun jika ditelaah lebih lanjut, kerusuhan tersebut tidak akan terjadi jika Presiden Joko Widodo menemui demonstran dan mengadakan audiensi. Disayangkan Presiden Joko Widodo ketika rakyatnya datang kepadanya, ia malah pergi ke Kalimantan Tengah dengan dalih meninjau lumbung pangan atau food estate. Hal ini mengemukakan kekecewaan oleh para demonstran yang ditinggal pergi ketika mereka ingin menemuinya di Istana Negara. Muncul pertanyaan, apakah peninjauan tersebut tidak bisa diwakilkan kepada para Menteri-Menterinya atau jajarannya disamping begitu urgennya keadaan bangsa Indonesia yang sedang membara serta menimbulkan kesan lebih mementingkan proyek daripada rakyatnya sendiri.

Hal ini menimbulkan kesamaan sewaktu demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok Umat Islam yang bertajuk Aksi 411 yang juga ditinggal Presiden untuk meninjau proyek di Cengkareng seperti dikatakan oleh mantan Menko Kemaritiman, Dr. Rizal Ramli yang beliau dalam tweetannya menanyakan keberanian Presiden untuk menemui pimpinan-pimpinan demonstran serta beliau menghimbau agar tidak kabur-kaburan ketika ada massa yang menemuinya seperti Aksi 411 yang menurutnya pergi karena ditakut-takuti, namun tidak ada apa-ada. Hal ini menuai respon dari berbagai kalangan, ada yang membandingkan dengan Presiden Soeharto yang berani menemui massa walaupun pada masa orde baru tindakkan represif pemerintah lebih kejam. Sama halnya Aksi 411 dan Aksi Tolak Omnibus law yang berujung chaos karena tidak ditemui oleh Presiden. Padahal banyak korban yang berjatuhan pada dari korban luka-luka sampai kritis. Pemerintah terkesan semngaja mengajukan aparat untuk dibenturkan kepada rakyat.

Pada Aksi Tolak Omnibus law ketika tindakan represif aparat semakin membabi buta, maka Mahasiswa terpaksa mundur, serta meluapkan emosinya dalam membakar-bakar yang salah satu sasarannya Pos Polisi yang ada di Tugu Tani yang habis terbakar. Hal itu semua tidak akan terjadi jika Presiden bersikap bijak untuk menemui massa aksi dan menemukan kesepemahaman diantara keduanya yang mana para demonstran mendesak tanggung jawab Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu atas UU Cipta Kerja yang banyak ditolak dari berbagai kalangan masyarakat. Namun mustahil sepertinya untuk mengeluarkan Perppu, karena seperti pembahasan diawal, beliau sendiri yang mengusulkannya. Dan upaya kedua untuk melakukan Judicial Review ke MK, namun dirasa susah karena hakim MK ada yang termasuk DPR seperti diungkapkan oleh Ahli Hukum, Haris Azhar. Maka diperlukan kembali kekuatan rakyat untuk bersatu dalam memberantas kezaliman di negeri ini. Berkaca pada zaman reformasi yang dengan kegigihan dan pantang menyerah mempu menggulingkan rezim orde baru kala itu dan saat ini dengan semangat reformasi untuk melawan reformasi dikorupsi dalam membangun keadilan bagi segenap rakyat Indonesia bukan hanya sebagian rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun